RUNNER-UP by
KENzeira
Enjoy!
***
Kyuhyun’s
Point of View
—Asrama Schrodinger’s House, Winchester, Inggris.
Dia sangat membenci laki-laki itu, laki-laki pemilik
julukan Si Jenius. Aku tidak tahu dari mana semuanya berawal. Aku hanya
pendatang baru di asrama ini, tak banyak yang kutahu—selain masalah dia dan Si
Jenius itu.
Dia, sebut saja Hyomi, Lee Hyomi. Gadis yang tak pernah
rela gelar nomor satunya jatuh ke tangan Kim Kibum—Si Jenius. Meski terkenal
dengan kecerdasannya, hal itu bukan berarti Hyomi adalah gambaran gadis
berkacamata tebal dengan buku yang tak kalah tebal. Tidak. Dia tidak seperti
itu. Dia justru lebih terkesan seenaknya.
Lee Hyomi, rambutnya yang sebahu ia warnai pirang, di
telinganya tak hanya terdapat satu tindikan, ada dua—bahkan lebih, lingkar di
bawah matanya dapat kulihat kala ia berusaha keras untuk belajar demi mengambil
kembali gelarnya sebagai nomor satu di asrama. Ia menghabiskan malam dengan melahap
berbagai macam buku. Kupikir, akan sangat pantas apabila kusebut ia dengan
julukan Ratu Ambisius.
Ambisinya terkadang membuat gadis itu terlihat begitu
menyedihkan.
Aku bukan anak yang rajin seperti teman satu kamarku—Kim
Kibum. Aku lebih senang menghabiskan waktu dengan memainkan berbagai macam
permainan dalam PSP-ku. Akan tetapi, suatu keberuntungan besar karena aku tak
pernah terkalahkan sebagai Si Nomor Tiga. Selama aku masuk di asrama
ini—tepatnya dua tahun lalu, posisiku tak pernah bergeser. Aku bukanlah Hyomi
si ambisius itu, aku tak peduli dengan sebuah gelar nomor satu.
Aku adalah aku. Cho Kyuhyun yang cukup jenius untuk
mempertahankan posisinya di nomor tiga tanpa mengurangi waktu bermain PSP. Aku
hanya akan belajar jika aku ingin.
Suatu hari, aku pernah bertanya pada Kibum. Apa alasannya
bersikeras tidak mau mengalah pada Hyomi yang sudah sangat membencinya itu. Aku
tidak mengerti jalan pikiran laki-laki meski aku sendiri laki-laki, Kibum
menjawab bahwa ia senang menunggu Hyomi terus mengejarnya—mengejar gelar nomor
satu miliknya.
Kim Kibum mengatakan bahwa ia merasa bahagia. Aku tidak
mengerti ketika ia mengatakan ada jutaan kupu-kupu yang menggelitik perutnya
ketika ia melihat Hyomi terjatuh, merangkak, tertatih, dan berlari lagi. Hyomi
melakukan itu hanya untuk mencapai satu tujuan. Menggapai dirinya—menggapai Kim
Kibum.
Baru aku tahu beberapa hari kemudian bahwa sebenarnya
teman satu kamarku itu menyimpan perasaan pada Si Ratu Ambisius. Aku ingin
menertawainya, sungguh. Kupikir dia Si Jenius yang terlalu bodoh untuk berkata
jujur. Kibum mengakui satu hal yang aneh padaku, dia bilang, semakin dia
menyukai gadis itu, semakin ia ingin membuatnya terjatuh dan terlihat lemah.
Alasannya? Agar dia menjadi satu-satunya laki-laki yang terlihat kuat bagi
gadis yang disukainya.
Aneh? Ya. Jangan tanyakan padaku kenapa pemikiran bodoh
itu keluar dari otak jeniusnya. Aku bukan dia.
Sebenarnya aku pun tak kalah bodoh dari Kibum. Dalam hati
aku menertawakan tindakan bodoh Kibum yang memilih jalan seperti itu untuk
meraih hati Hyomi, namun sesungguhnya aku sendiri menyukai gadis itu. Kebodohanku
adalah tidak melakukan tindakan apapun. Sedikit pun.
Kupikir aku lebih terlihat menyedihkan daripada Lee Hyomi
yang terus mengejar gelar dengan ambisi bodohnya. Melihat ia terjatuh dan
berusaha untuk bangkit dan berlari lagi semakin membuatku mengagumi sosoknya.
Tak peduli emosinya yang meluap-luap itu.
***
‘Klak’
Suara cokelat batangan yang ia patahkan dengan giginya
terdengar sampai ke telingaku. Akhir-akhir ini Si Ratu Ambisius itu sering
terlihat menikmati cokelat. Aku tidak tahu alasannya. Kudengar, cokelat bisa
memperlambat penuaan—tapi aku yakin bukan itu alasannya memakan cokelat.
Mungkin ia hanya ingin meredam keresahan hatinya dengan makanan manis itu.
Aku melihatnya di ujung lorong tak jauh dari tempatku
berdiri. Ia melangkah bersama teman satu kamarnya—yang juga merupakan saudara
kembarnya, Lee Hyojin. Mereka bukan kembar identik. Ketika pertama kali aku
menginjakkan kaki di asrama ini, aku tak pernah berpikir bahwa mereka adalah
saudara kembar, sungguh.
Lee Hyomi berbeda jauh dengan Lee Hyojin. Hyomi ahli
dalam segala jenis pelajaran. IQ-nya pun lebih tinggi dariku. Sedangkan Hyojin,
aku tak yakin akan menceritakan keanehan saudara kembarnya itu. Ia terkesan
kelam. Dan katanya, ia bisa melihat
hantu.
Dua gadis itu berhenti di depanku, tidak, kurasa hanya
Hyomi yang berhenti, saudaranya hanya mengikuti. Gadis yang warna rambutnya
terlihat mencolok itu memandangku dengan pandangan penuh intimidasi.
‘Klak’
Sekali lagi, ia mematahkan cokelat batangan dengan
giginya. Ia mengunyahnya seraya memperhatikanku dari bawah sampai atas.
“Kau—“ ia menunjuk wajahku dengan jari telunjuk. Tidak
sopan. “Si Nomor Tiga, katakan pada teman satu kamarmu, aku tidak akan kalah
darinya. Dua minggu lagi akan ada tes ujian, akan kupastikan aku yang akan
menjadi nomor satu.” Ia melanjutkan kalimatnya dengan penuh penekanan.
“Aku mungkin memang Si Nomor Tiga, tapi kukatakan padamu,
sekali lagi. Jangan panggil aku
seperti itu. Namaku Cho Kyuhyun, aku memberitahumu sebagai antisipasi takut
kepalamu lupa dengan namaku,” ujarku sarkastik.
“Shireo. Itu
membuat mulutku ingin muntah ketika mengatakannya. Bagaimana kalau aku
mengganti julukanmu itu, hm? Aku yakin kau merasa terhina dengan julukan Si
Nomor Tiga. Menyedihkan. Bagaimana kalau kupanggil kau dengan sebutan Si Pemuda
PSP? Kurasa itu jauh lebih baik.”
Aku lupa mengatakan hal ini. Lee Hyomi bukan gadis yang
lembut. Dia menyebalkan, sangat. Tapi itulah yang membuatnya terlihat unik. Ia
gadis yang jenius namun terdengar sama sekali tidak menyekolahkan mulutnya. Ia
selalu mengatakan apapun semaunya. Seenaknya.
“Mau kuberitahu sesuatu, nona? Kurasa aku tahu kenapa
selama ini kau selalu menjadi nomor dua. Mulutmu. Kau tidak menjaga mulutmu.
Aku yakin Kibum akan mempertahankan gelar nomor satunya. Ia tidak akan kalah
oleh seorang gadis aneh yang ambisius sepertimu. Baginya, mungkin saja kau
hanya seekor anjing yang beradu balap dengan kuda. Kau akan kalah. Selalu. Selamanya.” Aku mengatakannya dengan
penuh penekanan.
Aku juga lupa mengatakan ini. Hubunganku dengannya tidak
baik. Kami sering kali beradu mulut. Bagiku inilah hal yang paling menyenangkan
tinggal di asrama orang-orang jenius.
“Aku tidak dapat memercayai kata-kata bodoh dari orang
yang bahkan gelarnya berada di bawahku. Aku akan menjadi nomor satu dan aku
yakin itu.” Ia tetap keukeuh. Ia memang seperti itu. Keras kepala.
“Bagaimana kalau aku yang merebut gelar nomor satu
Kibum?”
Tidak. Aku ingin membuang mulutku yang berani-beraninya
mengatakan itu. Aku terus merutuk dalam hati tanpa mengubah ekspresi wajahku.
“Kau mengalahkan Kibum? Jangan berkhayal. Kau bahkan
tidak bisa mengalahkanku. Jangan membuat lelucon bodoh.”
“Kau mengatakan itu apa karena kau takut?”
Sial. Kenapa mulutku tak bisa kukendalikan?!
“Jangan bercanda. Aku hanya tidak ingin membuatmu malu.
Tidak akan ada yang bisa merubah posisimu di sana. Tidak sama sekali.”
“Baiklah. Ayo bertaruh! Aku atau kau yang menjadi nomor
satu. Jika aku berhasil, aku boleh meminta satu permintaan apapun padamu—kau pun begitu.”
Sepertinya aku benar-benar harus membuang mulutku sejauh
mungkin.
Lee Hyomi menarik ujung bibirnya, ia menyeringai. Dan
suara ‘Klak’ kembali terdengar kala ia kembali menggigit cokelat batangan itu.
“Menarik. Tidak sabar rasanya melihatmu berteriak tanpa
sehelai baju. Akan kupastikan kau akan bermimpi buruk selama kau tinggal di
asrama ini.” Ia menyetujui tantangan bodohku. Hyomi melirik ke arah Hyojin
lewat ekor matanya. “Apa yang kau lihat?” tanyanya, sepertinya ia bertanya pada
saudara kembarnya.
“Hanya seonggok makhluk kerdil yang menempeli kaki kanannya.”
Hyojin menjawab dengan wajah menyeramkan. Kaki kanan siapa yang ia maksud?
“Baiklah, Si Pemuda PSP, persiapkan dirimu menerima
kekalahan dan menanggung malu.” Ia mengatakan itu sambil berlalu.
Aku terpaku. Apa-apaan ini?
Bagaimana kalau aku kalah? Kenapa aku mengatakan hal
bodoh?! Rasanya dunia berputar 180 derajat. Aku terjatuh. Aku jatuh sungguhan.
Tersungkur ke lantai dengan kesadaran yang semakin menipis. Samar-samar
kudengar suara tawa mengerikan.
Seonggok makhluk kerdil. Di kaki kanan.
Tidak. Tidak. Tidak!
***
Aku tersadar.
Sosok pertama yang kulihat adalah teman satu kamarku—Si
Jenius. Ia hanya duduk dengan sebuah kotak di tangannya, kotak yang jika diputar-putarkan
akan membentuk warna yang serupa. Kalau tidak salah namanya adalah rubik. Kibum
sama sekali tidak melirik ke arahku yang susah payah berusaha bangun dari
posisiku berbaring. Ia justru sibuk menyibukkan dirinya sendiri.
“Kibum-ah, apa
kau melihat sesuatu yang aneh di kaki kananku?”
Aku tidak tahu kenapa kata-kata Hyojin terus menghantui
telingaku. Aku tidak percaya dengan hal-hal mistis seperti hantu, bagiku jenis
semacam itu hanya tipuan mata. Tapi… ketika telingaku samar-samar mendengar
tawa mengerikan itu, aku jadi ragu dengan pendapatku sendiri.
“Ya.”
Jawaban Kibum membuat bulu di belakang leherku meremang.
“Apa yang kau lihat?”
“Sebuah bekas luka,” jawabnya tetap tanpa melirik ke
arahku. Tanpa sadar, aku menghela napas lega. Bukan sesuatu yang buruk.
“Apa kau mendengar percakapanku dengan Hyomi?” aku
bertanya.
“Saya yakin Kyuhyun-ssi
tahu keberadaan saya.”
Jangan kaget. Kibum memang seperti itu. Ia selalu
berbicara dengan bahasa formal. Hal itu semakin mempertegas kesan jenius pada
sosoknya.
Dan, yeah… aku tahu. Ketika aku beradu mulut dengan
Hyomi, aku tahu tak jauh dari tempatku berdiri ada Kibum. Dan aku yakin seratus
persen, laki-laki itu sedang menggunakan headset.
Tubuhnya terhalang oleh rak buku yang menjulang tinggi. Tapi aku yakin Hyomi
pun tahu bahwa tak jauh darinya ada Kibum di sana.
“Bagaimana pendapatmu?”
“Saya rasa Kyuhyun-ssi
harus lebih giat belajar. Saya yakin Kyuhyun-ssi tidak mau dipermalukan dua kali berturut-turut. Dia bukan gadis
sembarangan.”
Aku tahu maksud dari kata ‘dua kali’. Pingsan merupakan
tragedi memalukan, dan itu masuk dalam hitungannya—hitungan Kibum.
“Apa barusan kau mendukungku?”
Gotcha! Kali
ini ia melirikku lewat ekor matanya, hanya sekilas. “Sama sekali tidak,”
jawabnya. Menyebalkan. Ia kembali membolak-balik kotak itu.
“Tapi kata-katamu terdengar seperti mendukungku.” Aku
tetap beranggapan seperti itu.
Kibum berdiri dari duduknya. “Kyuhyun-ssi bukan siapa-siapa bagi saya. Tak ada
alasan kuat untuk saya mendukung tantangan bodoh yang Kyuhyun-ssi ajukan pada Hyomi-ssi. Saya hanya berpikir betapa
menyedihkannya seseorang kalah dalam taruhan yang diajukannya sendiri.”
Setelah mengatakan itu ia berlalu keluar ruangan di mana
aku berbaring. Kupikir, Kibum lebih
menyebalkan daripada Hyomi. Dia memang Si Jenius yang kelewat datar. Ia sungguh
pelit ekspresi. Aku bertaruh, jika suatu hari Hyomi mengatakan menyukai Kibum,
mata laki-laki itu tidak akan melebar satu inchi pun.
Aku tidak tertidur, tapi aku merasa hari ini seperti
mimpi buruk.
***
Tiga hari menuju tes ujian.
Aku tidak tahu bagaimana keadaanku sekarang. Aku tidak
akrab dengan siapapun di asrama ini, tapi ketika mereka melihatku, aku tahu ada
hal yang buruk pada diriku. Tak lain dan tak bukan adalah lingkaran mata yang
mulai terlukis di bawah mataku. Seperti inikah rasanya menjadi Hyomi?
Menyedihkan.
Aku bahkan tertawa ketika memandang cermin. Aku tidak
terlihat seperti aku. Aku seolah melihat orang lain di sana, sangat terasa
asing. Alasannya karena aku tak pernah belajar seserius ini selama
berturut-turut. Perlahan aku menyadari, sosok asliku sudah pergi. Tak ada lagi
PSP yang akan kumainkan setiap ada kesempatan. Jika ada waktu luang, akan
kugunakan untuk membaca buku mengerikan perihal tes ujian.
Tak berbeda jauh dengan Si Ratu Ambisius itu. Aku tidak
tahu alasannya mempertebal lingkaran di bawah matanya dengan eyeliner. Tetapi kupikir ia mencoba
menyembunyikan lingkaran itu dengan meleburkannya bersama kosmetik yang
menghitamkan bawah mata.
Namun, ia tetap terlihat yakin akan menjadi nomor satu.
Tidak sepertiku.
Pandangan matanya masih mengintimidasiku. Kibum benar,
Hyomi bukan gadis sembarangan. Tapi sebenarnya Kibum pun bukan laki-laki
sembarangan. Aku takjub. Ternyata Kibum cukup kuat mempertahankan gelarnya
meski dihantui hal-hal mengerikan setiap waktu. Seringaian gadis itu contohnya.
Atau yang lebih parah, ancamannya.
Aku pernah berpikir, teman satu kamarku itu sedikit gila.
Bagaimana tidak, ia hanya terdiam sambil berlalu ketika melihat buku
pelajarannya dipenuhi kalimat mengerikan dengan tinta merah. Aku akan mengalahkanmu. Tak perlu
bertanya siapa yang menulisnya, ia pun tak cukup bodoh untuk membalas perbuatan
gadis itu.
“Kau tahu hal apa yang sangat menyenangkan di dunia ini?”
Hyomi bertanya padaku, kali ini Hyojin tak ada di belakangnya seperti biasa.
Entah ada di mana anak indigo itu.
Aku hanya terdiam. Pura-pura tak acuh.
Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dekat, terlalu dekat.
“Bagiku, hal yang paling menyenangkan di dunia ini adalah melihatmu hidup dalam
kematian total. Akan kubuat kau menyesal sudah pernah dilahirkan ke dunia.”
Mengerikan. Tiga kali dalam sehari ini ia terus
membombardir diriku dengan kalimat-kalimatnya yang mengerikan. Aku bahkan tak sadar
sudah menghitungnya.
“Begitukah? Kupikir akan sangat menyenangkan apabila
membuatmu merasa senang.”
Jika diartikan lebih jauh, aku secara tidak langsung
menyerahkan diriku padanya. Aku tidak menyerah, sungguh. Aku hanya… pasrah.
“Melihat caramu berbicara, sepertinya aku sudah tahu
siapa yang akan keluar sebagai pemenang.” Ia menjauhkan wajahnya.
“Tidak banyak hal yang kupikir menyenangkan dalam hidupku
selain membuatmu merasa senang dan menang.” Kalau saja Hyomi menelisik lebih
jauh kata-kataku, ia akan menemukan sebuah pengakuan. Aku menyukainya—kalau
saja ia menelisiknya. Tapi sepertinya ia menganggap kalimatku barusan sebagai
kalimat sarkasme.
Sekilas aku melihat kedua bola matanya membesar, kuharap
itu bukan kesalahan pengelihatan pada mataku. Lalu matanya memicing dengan
sudut bibir yang ia tarik ke atas.
‘Klak’
Ia tak pernah lupa membawa cokelat batangannya. Bunyi itu
terdengar kala ia menggigitnya. Debuman keras seolah terdengar dari jantungku.
Aku berdebar. Aku berpikir bagaimana jadinya kalau aku bermutasi menjadi
sebatang cokelat? Aku akan digigitnya sampai habis tak bersisa.
Aku semakin jatuh dalam kegelapan mimpi burukku. Aku
semakin menjauh dari posisiku selama ini; zona aman.
***
Satu hari menuju tes ujian.
Gelisah. Tentu saja. Aku terus berpikir cara-cara terbaik
mengalahkan gadis itu tanpa memikirkan si posisi utama—Kim Kibum. Aku melupakan
posisinya karena sibuk dengan buku-buku. AH! Mengerikan! Aku baru menyadari
bahwa lawanku yang paling mengerikan adalah teman satu kamarku sendiri.
“Kau terlihat lebih kurus.” Kibum berpendapat. Jangan
harap matanya memandangku saat mengatakan itu, ia sibuk menyibukkan diri
menyusun puzzle rumit di lantai
tempatnya berbaring menelungkup.
“Kau tahu kenapa.” Itu bukan sebuah pertanyaan, tapi
pernyataan.
Hening kembali hinggap di kamar ini. Aku baru sadar satu
hal, Kim Kibum bahkan tak pernah terlihat belajar. Ia lebih suka bergelut
dengan balok-balok, puzzle, dan
hal-hal lain yang sama membosankannya. Otaknya terbuat dari apa? Pertanyaan
bodoh. Tak akan ada yang menjawab terbuat dari tepung dan telur. Idiot.
Tunggu… Kibum tak pernah belajar?
Kenapa? Apa secara tidak langsung ia membiarkan aku atau
Hyomi yang menempati posisinya? Jika dipikir lebih matang, Kibum akan menjadi
satu-satunya orang yang melakukan hal itu. Tapi apa alasannya?
‘Aku atau kau yang
menjadi nomor satu. Jika aku berhasil, aku boleh meminta satu permintaan apapun padamu—kau pun begitu.’
Sebuah permintaan. Apakah Kibum takut aku meminta
hal macam-macam pada Hyomi? Tidak. Ia tidak sebodoh itu—kecuali kalau perasaan
sukanya pada gadis itu sudah menguasai dirinya.
Hei, kenapa aku tidak memanfaatkan hal itu dengan membuat
kesepakatan? Setelah gelisah berkepanjangan, akhirnya untuk pertama kalinya
dalam dua minggu ini, bibirku menyunggingkan sebuah seringaian.
“Kibum-ah,
boleh aku meminta satu hal padamu?”
Ia tak menjawab yang itu berarti ia mengizinkanku
melanjutkan kalimat.
“Aku ingin kau…”
Setelah mengatakan itu, tangannya yang memegang kepingan puzzle terjatuh. Haruskah aku bersorak
karena berhasil membuatnya kaget? Dan OH! Ia menoleh ke arahku—satu-satunya hal
yang mustahil dilakukannya.
Dari caranya memandangku, aku tidak yakin dia mau memenuhi
keinginanku, sungguh.
***
Dua minggu kemudian.
Tunggu. Aku tidak harus menceritakan kisahku selama ujian
berlangsung, bukan? Tidak menarik, sungguh. Tes ujian di asrama ini berbeda
dari asrama pada umumnya. Tak ada hitungan matematika ataupun fisika, terlebih
sastra. Tidak ada. Hanya ada seratus pertanyaan perihal suatu yang bahkan tak
semua bisa dijawab orang dewasa.
Psikologi, menyangkut normal atau tidak normalnya isi
kepala anak-anak asrama. Hukum liberalisme, analisis Spatial, Code Breaker, dan terakhir sebagai
pelajaran tambahan… membedakan jenis dan keunggulan berbagai macam senjata api.
Aneh? Tapi itulah asrama ini. Asrama yang akan melahirkan berbagai macam
detektif, agen FBI ataupun CIA.
Ah, sedikit cerita, ada alumni asrama ini yang menjadi top news di Los Angeles—bahkan beritanya
ditayangkan di seluruh dunia. Hebat sekali, ya? Jangan salah. Ia terkenal
karena kasus pembunuhan berantai. Kebanyakan korban yang dibunuhnya adalah
laki-laki muda, sama sepertinya. Dia mengalami gangguan kejiwaan saking
jeniusnya.
Dialah Beyond Birthday sang psikopat keji. Mengerikan.
Entah kenapa aku jadi teringat dengan Hyomi, gadis itu juga tak kalah
mengerikan—kurasa.
Pengumuman hasil tes ujian sudah keluar dua hari yang lalu.
Aku tidak tahu harus mengatakan hal ini sebagai berita baik atau buruk, melihat
ekspresi wajah Hyomi membuat bulu kudukku berdiri dan itu merupakan hal yang
buruk untuk hidupku.
“Merasa sombong, huh?” ia bertanya dengan tatapan penuh
kebencian.
“Hyomi-ssi,
kita setara sekarang. Aku bukan lagi Si Nomor Tiga, aku sudah mengambil bagian
darimu. Jadi jangan bersikap seolah posisiku masih berada di bawahmu.”
Aku melihat gadis itu menggeram kesal. Dan suara ‘Klak’
kembali terdengar saat ia menggigit cokelat batangannya. Ia terlihat seperti
sedang menahan tangannya untuk tidak menghantam wajahku.
Tak ada yang berubah pada Si Jenius. Kim Kibum masih
menempati nomor satu. Sementara aku dan Hyomi memiliki skor sama, jadi kami
berdua sama-sama mendapat gelar nomor dua. Mengejutkan. Aku bahkan tak pernah
berpikir akan bergeser dari zona amanku—sebagai nomor tiga.
Aku melihat Kibum melangkahkan kakinya ke arah kami. Ia
memandang Hyomi datar, sedangkan gadis itu memandang Kibum sengit. Begitulah
mereka.
“Jangan kau pikir aku akan terus kalah darimu! Akan
kuambil kembali gelar nomor satu milikku! Enyahlah!”
Dia emosi, giginya gemelutukkan. Sementara teman satu
kamarku masih setia dengan wajah datarnya.
“Saya akan terus menunggu Hyomi-ssi untuk sampai pada posisi saya.”
Aku merasa jadi penonton. Gila, kupikir mereka terlihat
seperti sepasang pemeran dalam sinetron. Antagonis dan protagonis. Bagaimana
dengan peranku? Aku hanya dianggap pemeran pembantu. Lucu sekali.
Pandangan mengintimidasi itu tertuju padaku. Tidak.
Jangan lakukan apapun yang bisa membahayakan nyawaku! Sedetik kemudian aku
merasakan ada tangan yang menarik paksa pergelangan tanganku. Tangan yang tak
lain dan tak bukan adalah milik Hyomi. Apa gadis ambisius itu akan melemparku
ke neraka?
“Hey, Si Pemuda PSP, kaubilang kau setara denganku. Ayo
kita sama-sama hancurkan makhluk ini!” Hyomi berkata seraya menunjuk ke arah
Kibum.
Apa-apaan ini? Apa Si Ratu Ambisius itu sedang
membicarakan kerjasama?
Sepasang mata obsidian milikku terarah pada Kibum,
menelisik perubahan ekspresinya walau hanya sedetik. Tidak ada. Wajahnya tetap
sama. Tak menujukkan kekagetan. Sebenarnya dia itu manusia atau robot?
“Kau diam berarti kau setuju. Kau harus ikuti aturanku.”
Aku yakin gadis itu mengatakan hal tersebut padaku. Ia melepas genggamannya di
pergelangan tanganku. Hyomi berbalik dan berlalu.
Aku tidak bilang ya,
tapi kenapa gadis itu seenaknya? Aku tidak tahu apakah ‘aturan’ yang
dikatakannya akan membawaku menuju jurang atau lembah neraka. Keyakinanku saat
itu adalah… aku tidak akan baik-baik saja selama masih bernapas di asrama ini.
Kejadian itu sudah dua hari berlalu. Dan seperti inilah
aku dan Lee Hyomi. Kami terasa dekat—kurasa. Dia memang terkadang
memerintahkanku semaunya, layaknya budak yang selamanya takkan merdeka. Dia
juga kerap kali meluapkan kata-kata kasarnya sambil menunjuk-nunjuk wajahku.
Sebenarnya yang laki-laki itu aku atau dia?
Aargh!
Akan tetapi, aku tak menyesali ini. Baru aku tahu
ternyata di balik sikap menyebalkannya, Hyomi memiliki sisi baik. Dan ia
terlihat jauh lebih manis ketika ia—tak sengaja—menunjukkan sisi baiknya
padaku. Ibarat orang idiot, aku semakin jatuh dalam pesonanya.
Err… aku benci mengatakan ini, tapi, aku masih waspada
dengan saudara kembarnya. Ia kerap kali berada di belakang Lee Hyomi seraya
menundukkan kepalanya, hal itu membuat wajahnya tertutup rambut hitam
panjangnya. Mengerikan.
“Cokelat adalah sesuatu hal yang penting untukku setelah
Kibum mengambil gelar nomor satu milikku.”
Malam itu, untuk pertama kalinya, aku rela mencuri
cokelat milik Roger—kakek tua yang bertanggung jawab atas asrama— di dapur
asrama hanya untuk gadis itu. Selama ini memang Roger-lah yang membawa
persediaan cokelat untuk Hyomi—sebagai titipan dari keluarganya di Korea. Ah,
aku lupa mengatakan ini, asrama tempatku menetap ini berada di Inggris, bukan
Korea. Maka jangan heran apabila kebanyakan dari mereka memiliki nama yang
terdengar aneh di telinga orang Korea.
Dan dengan bangga kukatakan, malam itu juga pertama
kalinya Hyomi membuka cerita tentang cokelat kesayangannya. Semacam bertukar
pikiran.
“Kenapa?” tanyaku.
‘Klak’ ia menggigit cokelat batangannya. “Aku benci
menjadi nomor dua. Selama aku tinggal di asrama ini, belum pernah aku merasa
terhina karena posisiku bergeser semenjak Kibum datang. Si makhluk tanpa
ekspresi itu seolah mengejekku dengan wajah datarnya.”
“Dia terkadang menyebalkan,” ujarku.
Mata hitam pekat itu terarah padaku. Menuntut lanjutan
cerita.
“Kami memang satu kamar, bukan berarti kami sering
berbicara. Dia terlalu menyayangi balok-balok itu dan aku terlalu menyayangi
PSP-ku. Tak banyak interaksi yang terjadi. Di balik wajah datarnya yang
menyebalkan, sebenarnya, Kim Kibum hanya seorang anak yang merasa kesepian.”
Hyomi memandang langit. Kami berdua berada di lorong
asrama tak jauh dari lapang olahraga. Berdua. Romantis sekali, ‘kan?
“Aku tahu. Sebelum kau datang ke asrama ini, aku pernah
melihatnya diancam oleh Beyond. Aku yakin kau tahu siapa itu Beyond. Si
psikopat idiot itu berkata, ‘aku suka
dengan kulitmu. Putih seperti salju. Sampai rasanya aku ingin menodai warna
putih itu dengan lumuran darah’ dan sejak saat itu aku tahu ia kehilangan
ekspresi wajahnya.”
Hyomi menghela napas, memberi jeda untuk kembali melanjutkan
ceritanya.
“Kau tahu kenapa wajahnya selalu seperti itu? Seluruh
anggota keluarganya yang sebagian besar keturunan Amerika dibantai habis tak
lama setelah Beyond keluar dari asrama. Hanya ia yang tersisa—dan ibunya yang
berada jauh di Korea.”
“Kalau kau sudah tahu, kenapa kau justru sangat
membencinya?”
“Itu karena dia terlalu bodoh untuk tidak menangis.”
“Apa maksudmu?” aku tidak mengerti.
“Sebagai manusia, setidaknya ia akan menangis saat tahu
seluruh anggota keluarganya yang di Amerika sudah mati. Ketika mendengar kabar
itu dari Roger, ia hanya terdiam beberapa detik, lalu ia kembali sibuk menyusun
puzzle-nya. Dan semejak itu, ia terus
mengambil posisiku sebagai si nomor satu.”
“Dan kau membencinya, begitu?”
“Aku ingin membuatnya marah. Aku ingin mengambil kembali
gelar nomor satu itu dan membuat amarahnya meluap. Aku ingin ia meneriaki
kata-kata kotor di telingaku sambil menunjuk wajahku dengan telunjuknya. Aku
ingin Kibum melakukan itu. Karena itulah selama ini aku berusaha untuk
mengambil kembali posisiku.”
“Dan selama itu berlangsung kau selalu berbuat anarkis.”
Aku menceletuk.
“Ya. Semata-mata hanya untuk membuat si robot tanpa
ekspresi itu marah.”
Aku merasa seperti mendapat penolakan dalam ungkapan
perasaan. Baru kusadari ternyata aku tidak cukup jenius berada di posisi runner-up. Aku hanya memikirkan
keegoisanku. Aku hanya berpikir tentang kenyamanan di asrama ini.
Lee Hyomi, jauh di balik topeng mengerikannya, sebenarnya
ia sangat peduli dengan Kim Kibum. Ia meneriaki kata-kata kasar, membuat
ancaman, semata-mata hanya demi membuat Kibum tergerak untuk kembali
menggunakan emosinya. Membuat Kibum kembali merasa hidup dengan berbagai macam
ekspresi seperti dirinya.
“Aku tahu kau menyukaiku.”
Ia membaca pikiranku. Aku tidak tahu sejauh mana
kebodohanku sampai gadis itu tahu kalau aku menyukainya. Aku terdiam, memandang
langit malam yang dihiasi jutaan lampu-lampu alam.
“Aku tidak menyukai Kim Kibum sebagai seorang laki-laki.”
Aku masih terdiam, namun telingaku fokus mendengarkan
celotehannya.
“Aku juga tidak menyukaimu sebagai seorang laki-laki.”
Aku tahu.
Hening beberapa saat.
“Tapi apapun itu, aku ingin kau tetap berada di posisimu
sebagai Si Nomor Tiga.”
Aku tidak percaya dia akan mengatakan hal kejam semacam
itu. Kali ini mata obsidian milikku menatapnya nyalang. Aku tahu, aku tahu. Aku
memang tak pantas menyandang gelar nomor dua sepertimu. Aku tahu.
Aku membiarkannya kembali berceloteh semaunya. Terserah
saja.
“Karena bagiku, nomor tiga adalah satu-satunya nomor yang
akan terus berada di belakang nomor dua. Nomor tiga akan terus memperhatikan
nomor dua sebagai satu-satunya hambatan menuju nomor satu. Aku ingin kau tetap
di belakangku, memperhatikan gerak-gerikku sampai menilai ketebalan lingkar
hitam di bawah mataku.”
Aku tertegun. Mataku menampakkan kekagetan.
“Apa baru saja kau menawarkan diri menjadi kekasihku?”
tanyaku konyol.
Dan lagi-lagi, malam itu untuk pertama kalinya aku
melihat senyuman terkembang di bibir mungilnya. Sungguh-sungguh senyuman, bukan
seringaian.
Manis. Seperti
cokelat.
***
#EPILOGUE
“Kibum-ah,
boleh aku meminta satu hal padamu?”
Ia tak menjawab yang itu berarti ia mengizinkanku
melanjutkan kalimat.
“Aku ingin kau… mempertahankan
posisimu.”
Setelah mengatakan itu, tangannya yang memegang kepingan puzzle terjatuh. Haruskah aku bersorak
karena berhasil membuatnya kaget? Dan OH! Ia menoleh ke arahku—satu-satunya hal
yang mustahil dilakukannya.
“Kenapa?” tanyanya.
“Karena dengan begitu, taruhanku dengan Lee Hyomi tidak
akan berlaku. Kami membuat taruhan siapa yang bisa mencapai nomor satu, bukan
siapa yang mendapat peringkat lebih tinggi. Dengan begitu, aku tak perlu
melakukan apa yang ia perintahkan jika aku kalah taruhan.” Aku menjelaskan.
Dia memandangku. Dari caranya memandangku, aku tidak
yakin dia mau memenuhi keinginanku, sungguh. Lama ia terdiam, aku pun tak
memiliki inisiatif untuk memecah hening yang tiba-tiba menyusup ini.
“Saya akan tetap menjadi nomor satu, tentu saja.”
—END—
Kuberitahu satu hal yang mendasar dalam FF ini, Wammy’s House. Asrama anak-anak jenius
yang ada dalam anime Death Note. Dan
peran mereka aku ambil dari tiga jagoan imut dari asrama tersebut, Si nomor
satu; Near sebagai Kibum, Si nomor dua; Mello sebagai Hyomi, Si nomor tiga; Matt
sebagai Kyuhyun. Uhm… sebenarnya
Mello itu laki-laki, tapi untuk menyesuaikan dengan cerita, aku mengubahnya
menjadi perempuan. Dan aku sama sekali tidak mengubah ketiga karakter NearMelloMatt
yang memang seperti itu dalam FF ini.
Dan… untuk Beyond Birthday—jangan beranggapan
namanya aneh—dia adalah tokoh pembunuh berantai di Novel LA BB Murder (Kalau
tidak salah), nah, novel tersebut masih berhubungan dengan anime Death Note.
Mungkin semacam cerita selipan yang disajikan sebagai novel.
Aku bingung ._. kira-kira rating dan genre yang
cocok buat FF ini apa ya? (O.o)a
\(^.^ Kesan, kritik dan saran silakan disampaikan
lewat komentar ^.^)/
Wednesday, July 17, 2013
5:51 AM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar