Jumat, 28 Juni 2013

Cerpen Kehidupan : Indahnya Berbagi (Based on true story)



INDAHNYA BERBAGI
Cerpen karya Icha. Zahra (@KENzeira)

Pagi itu aku tengah duduk dengan punggung yang bersandar pada sandaran kursi. Bagi sebagian orang, hari minggu adalah hari yang paling cocok untuk bermalas-malasan. Tetapi, tidak bagiku. Di hari libur ini aku sibuk membantu pekerjaan ibu. Dimulai dari mencuci pakaian, mencuci piring, dan terakhir menyapu halaman. Semua pekerjaan itu telah selesai aku kerjakan. Dan kini aku sedang terduduk santai di depan layar monitor dengan secangkir kopi dalam genggaman.
Kupandangi sejenak ponselku yang berkelip-kelip di samping laptop tanda ada pemberitahuan. Detik berikutnya aku pun meraih ponsel dengan casing hitam tersebut. Ternyata ada satu pesan masuk dari sahabat karibku, Monika.
‘Kau sibuk? Aku ingin bertemu. Bagaimana kalau kita bertemu di mall sehabis shalat dzuhur?’ kira-kira begitulah bunyi pesan itu.
Aku memandang jam dinding yang tak jauh dari tempatku duduk. Baru pukul sepuluh. Masih dua angka lagi untuk mencapai pukul dua belas. Kurasa itu tidak terlalu buruk. Lagipula semua pekerjaan rumah sudah tak lagi menumpuk.
Akhirnya dengan licah jemari-jemari tanganku mengetik sebuah balasan. Menyetujui ajakan sang pengirim pesan.
Sejenak aku memain-mainkan ujung gelas kopiku. Memikirkan kegiatan apa yang aku lakukan selama menunggu waktu. Ah… Aku kembali teringat dengan layar monitor yang menampilkan beberapa kalimat yang aku ketik sebelum menerima pesan itu. Akan lebih baik apabila waktu dua jam tersebut aku habiskan untuk melanjutkan hobiku.
Entah sejak kapan aku mulai mendalami hobiku menulis. Aku tidak ingat. Yang pasti, saat ini aku lebih sering menghabiskan waktu luang dengan menulis. Aku jarang menghabiskan waktu luang di luar rumah, aku lebih senang bersantai dengan secangkir kopi sambil mengolah imajinasi untuk menciptakan sebuah karya fiksi.
Aku termenung sendiri. Namun, kali ini pandanganku tak terfokus pada layar putih itu. Sepasang manik hitamku anteng memperhatikan kekokohan pohon jambu. Tempatku terbiasa duduk dan mengetik sesuatu tepat di hadapan jendela rumahku yang bertemu langsung dengan dunia luar. Dunia di mana orang-orang berlalu-lalang di pinggiran jalan. Rupanya orang-orang itu sedang tidak menampakkan batang hidungnya, dan aku kembali termenung memandang daun-daun pohon jambu yang melambai-lambai dibelai angin.
Ada satu daun yang terjatuh, daun kering yang terlihat begitu rapuh. Hanya dengan satu terpaan angin mampu membuatnya terjatuh. Entah mengapa aku jadi teringat dengan kisah sebuah novel yang ditulis oleh Tere Liye dengan judul Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Sama halnya dengan kehidupan. Terkadang takdir memaksa kita untuk terjatuh dari ketinggian. Takdir yang membuat kita merasakan keterpurukan. Tetapi, bukan itu intinya. Ketegaran dan rasa percaya kita terhadap sang pencipta bahwa di balik kejadian, selalu ada hikmah yang tersimpan. Itulah yang membuat sang daun tak membenci angin.
Dan sebuah bayangan menari-nari dalam pikiran. Aku baru saja menemukan sebuah tema cerita untuk aku tuangkan dalam tulisan. Inspirasi datang di saat-saat yang tak terduga. Dengan lancar, jemari-jemariku lincah bermain-main di atas tombol keyboard.
Entahlah… Aku tidak ingat sudah menghabiskan waktu berapa lama untuk menulis. Yang pasti, saat ini sahabatku kembali mengirim pesan singkat. Mengingatkanku untuk bersiap-siap berangkat. Sebelum mematikan laptop, tak lupa aku menyimpan tulisanku dalam sebuah folder.
Tak butuh waktu lama untukku mempersiapkan diri. Kebetulan waktu itu aku sedang berhalangan dan aku tidak melaksanakan kewajibanku menunaikan ibadah shalat dzuhur. Aku hanya membasuh wajahku. Jujur saja, aku tidak mandi lagi. Aku tak perduli jika harus berkeringat karena panas matahari. Aku bisa mandi setelah aku pulang dari mall nanti.
Karena belum makan siang, akhirnya sebelum memulai perjalanan aku mampir sejenak di warung sebelah rumahku. Aku disambut dengan senyuman hangat yang terpajang di wajah keriput sang nenek tua pemilik warung. Seolah beliau merasa bahagia karena aku berkunjung untuk membeli beberapa makanan ringan yang dijajakannya.
Bicara soal warung, aku jadi teringat dengan sebuah minimarket yang baru buka beberapa minggu lalu yang terletak tidak jauh dari rumahku. Sebuah minimarket yang membuat pendapatan sepasang kakek-nenek tua itu menurun drastis. Bagaimana tidak? Nyaris semua yang dibutuhkan para ibu rumah tangga dijual di minimarket itu. Terlebih lagi, remaja-remaja zaman sekarang merasa gengsi apabila disuruh membeli bahan makanan di warung. Mereka tentu saja akan lebih senang jika disuruh berbelanja di minimarket yang sejuk karena ber-AC.
“Mau beli apa, nak?” tanya sang nenek.
Aku menjawab, “dua bungkus roti.”
Dan nenek tua yang tampak ringkih itu memasukkan tiga buah roti dalam kantong kresek. Aku bingung, padahal aku hanya membeli dua, tetapi kenapa ia memasukkan tiga?
“Roti yang satunya ambil saja. Cukup membayar dua roti.” Katanya, seolah mampu membaca mimik muka bingung yang terpampang di wajahku. Aku pun tersenyum lebar.
“Terima kasih.” Ujarku. Nenek itu menepuk-nepuk bahuku pelan sambil mengangguk.
“Ya. Makanlah yang banyak agar tidak kurus seperti ini.” Tuturnya. Kali ini aku nyengir. Sang nenek tersenyum hangat. Inilah yang selalu aku rindukan apabila datang ke warung kecil ini, bukan bonus cuma-cuma yang ia berikan, namun senyumannya yang menyejukkan. Beruntunglah, masih ada manusia yang berbagi meski ia repot dengan tanggungan hidupnya sendiri.
Tanpa babibu, aku memasukkan kantong kresek yang berisi tiga roti tersebut ke dalam tas kecil yang selalu kubawa. Lalu aku melangkahkan kedua kakiku meninggalkan warung kecil itu menuju pertigaan yang terdapat beberapa angkutan umum. Di siang hari yang terik ini merupakan hal biasa bagi para supir untuk beristirahat. Aku jadi ragu, apakah ada yang akan mengangkutku menuju mall?
Rupanya dewi fortuna sedang berada tak jauh dariku, salah satu supir angkutan umum itu menawariku untuk memakai jasanya. Aku pun bergegas masuk ke dalam angkutan umum tersebut dan duduk dengan tenang, menunggu perjalanan usai sampai tujuan. Di tengah perjalanan, angkutan umum itu berhenti karena ada salah satu penumpang yang hendak naik. Penumpang tersebut adalah seorang anak kecil dengan usia yang berkisar antara delapan sampai sepuluh tahun. Anak kecil itu memakai pakaian kumal dan wajah cantiknya pun tertutup oleh debu. Aku balas tersenyum ketika anak itu tersenyum ke arahku.
Selang beberapa menit, anak kecil itu memberhentikan angkutan umum di daerah jalan layang. Ia hendak memberikan biaya ongkosnya pada sang supir, namun ditolak dengan halus oleh supir itu. Anak kecil tersebut tersenyum sambil tak hentinya berucap terima kasih. Aku tertegun, bahkan seorang supir pun memiliki jiwa sosial yang tinggi meski tak banyak materi yang ia miliki. Aku merasa bertemu dengan dua orang hebat hari ini.
Singkat cerita, aku telah sampai menginjakkan kaki di sebuah pusat perbelajaan Kota Karawang. Sepasang mataku mencari-cari di mana sahabatku menunggu. Tak perlu waktu lama karena gadis cantik seusiaku itu melambaikan tangannya tak jauh dari posisiku berdiri. Aku pun tersenyum dan ikut melambaikan tangan. Monika berjalan ke arahku.
“Kau sudah menunggu lama?” tanyaku.
Ia menggeleng. “Tidak,”
“Tumben kau mengajakku ke mall. Apa ada sesuatu yang ingin kau beli?”
Kali ini ia mengangguk. “Ya, aku ingin membeli sebuah jam tangan untuk ulang tahun ibuku. Jam tangannya sudah rusak.”
Lalu gadis itu menggamit tanganku dan kami berjalan beriringan bersama menuju pintu masuk. Namun, langkah Monika terhenti kala ia melihat pengemis tua yang menyodorkan kedua tangannya. Sebelah tangan gadis itu mencari-cari sesuatu dalam saku celanannya. Selembar uang sepuluh ribuan. Tanpa perlu berpikir panjang aku tahu kalau sahabatku itu hendak memberikan uang tersebut pada pengemis tua itu. Dan benar saja, Monika memberikan uang tersebut.
“Terima kasih, nak. Semoga amal ibadahmu di terima oleh Allah SWT dan senantiasa dilindungi oleh-Nya dari segala marabahaya.” Kata pengemis tua itu. Monika tersenyum lalu mengaminkan perkataan pengemis tersebut.
Aku tersenyum melihat kebaikan hati sahabatku. Aku tahu sejak dulu watak gadis itu. Ia sangat senang berbagi. Selain baik hati, gadis yang memiliki nama lengkap Monika Rosalia Subrata itu memiliki wajah yang cantik jelita. Hidungnya bangir, kulitnya putih, dan jika dilihat-lihat ia seperti orang Eropa. Monika terlahir dari keluarga Subrata yang memiliki kelebihan materi. Meski begitu, hal itu tak membuatnya menjadi gadis yang jumawa. Itulah yang membuatku betah bersahabat dengannya.
“Hari ini aku bertemu dengan tiga orang yang gemar berbagi. Menakjubkan.” Ujarku saat aku dan Monika kembali melangkahkan kaki menuju pintu masuk.
“Benarkah?” tanyanya seolah tak percaya. Aku mengangguk mantap.
“Ya,” jawabku.
“Kau tahu? Negeri ini terasa kering dan tandus. Kekayaan alam memang melimpah ruah, tetapi untuk apa itu semua jika tidak bisa mensejahterakan rakyatnya? Orang miskin ada di mana-mana, mereka seperti budak yang belum dimerdekakan. Orang kaya menghina orang miskin karena merasa kalau derajat mereka jauh lebih tinggi dari orang miskin. Padahal menurutku, justru orang kaya tapi pelit berbagi itulah yang jauh lebih hina.” Tutur Monika panjang lebar.
“Ya, kau benar.” Hanya itu yang menjadi jawabanku. Jujur saja, aku bingung harus menjawab apa. Monika Rosalia, dia benar-benar gadis yang luar biasa. Dia berbeda dengan gadis lain yang seusia dengannya. Di saat gadis-gadis lebih banyak membicarakan persoalan cinta, Monika justru lebih banyak membicarakan persoalan negara lewat cara berpikir kritisnya. Itulah faktor lain yang membuatku senang berbicara panjang-lebar dengannya. Bukan pembicaraan kosong tentang lelaki-lelaki idaman seperti remaja lainnya.
“Cha, berbagi itu perbuatan baik. Jangan menunggu waktu yang tepat untuk berbuat baik.” katanya.
“Kenapa?” tanyaku seperti orang bodoh.
Ia tertawa kecil sebelum menjawab pertanyaanku. “Yeah… Intinya jangan menunggu waktu, karena waktu bisa berhenti kapan saja.”
Aku takjub mendengarnya. Monika benar-benar sahabatku yang luar biasa. Aku mulai berpikir, di hari yang sama aku melihat tiga orang yang berbagi untuk sesamanya, itu membuktikan kalau Allah sedang memperingatkanku untuk sesegera mungkin berbuat baik dengan berbagi sebagian rezeki sebelum waktuku terhenti.

SELESAI



Karawang, 01 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar