INDAHNYA
BERBAGI
Cerpen karya Icha. Zahra (@KENzeira)
Pagi
itu aku tengah duduk dengan punggung yang bersandar pada sandaran kursi. Bagi
sebagian orang, hari minggu adalah hari yang paling cocok untuk
bermalas-malasan. Tetapi, tidak bagiku. Di hari libur ini aku sibuk membantu
pekerjaan ibu. Dimulai dari mencuci pakaian, mencuci piring, dan terakhir
menyapu halaman. Semua pekerjaan itu telah selesai aku kerjakan. Dan kini aku
sedang terduduk santai di depan layar monitor dengan secangkir kopi dalam
genggaman.
Kupandangi
sejenak ponselku yang berkelip-kelip di samping laptop tanda ada pemberitahuan.
Detik berikutnya aku pun meraih ponsel dengan casing hitam tersebut. Ternyata ada satu pesan masuk dari sahabat
karibku, Monika.
‘Kau sibuk? Aku ingin bertemu. Bagaimana kalau kita
bertemu di mall sehabis shalat dzuhur?’
kira-kira begitulah bunyi pesan itu.
Aku
memandang jam dinding yang tak jauh dari tempatku duduk. Baru pukul sepuluh.
Masih dua angka lagi untuk mencapai pukul dua belas. Kurasa itu tidak terlalu
buruk. Lagipula semua pekerjaan rumah sudah tak lagi menumpuk.
Akhirnya
dengan licah jemari-jemari tanganku mengetik sebuah balasan. Menyetujui ajakan
sang pengirim pesan.
Sejenak
aku memain-mainkan ujung gelas kopiku. Memikirkan kegiatan apa yang aku lakukan
selama menunggu waktu. Ah… Aku kembali teringat dengan layar monitor yang
menampilkan beberapa kalimat yang aku ketik sebelum menerima pesan itu. Akan
lebih baik apabila waktu dua jam tersebut aku habiskan untuk melanjutkan
hobiku.
Entah
sejak kapan aku mulai mendalami hobiku menulis. Aku tidak ingat. Yang pasti,
saat ini aku lebih sering menghabiskan waktu luang dengan menulis. Aku jarang
menghabiskan waktu luang di luar rumah, aku lebih senang bersantai dengan
secangkir kopi sambil mengolah imajinasi untuk menciptakan sebuah karya fiksi.
Aku
termenung sendiri. Namun, kali ini pandanganku tak terfokus pada layar putih
itu. Sepasang manik hitamku anteng memperhatikan kekokohan pohon jambu.
Tempatku terbiasa duduk dan mengetik sesuatu tepat di hadapan jendela rumahku
yang bertemu langsung dengan dunia luar. Dunia di mana orang-orang
berlalu-lalang di pinggiran jalan. Rupanya orang-orang itu sedang tidak
menampakkan batang hidungnya, dan aku kembali termenung memandang daun-daun
pohon jambu yang melambai-lambai dibelai angin.
Ada
satu daun yang terjatuh, daun kering yang terlihat begitu rapuh. Hanya dengan
satu terpaan angin mampu membuatnya terjatuh. Entah mengapa aku jadi teringat
dengan kisah sebuah novel yang ditulis oleh Tere Liye dengan judul Daun yang Jatuh
Tak Pernah Membenci Angin. Sama halnya dengan kehidupan. Terkadang takdir
memaksa kita untuk terjatuh dari ketinggian. Takdir yang membuat kita merasakan
keterpurukan. Tetapi, bukan itu intinya. Ketegaran dan rasa percaya kita
terhadap sang pencipta bahwa di balik kejadian, selalu ada hikmah yang
tersimpan. Itulah yang membuat sang daun tak membenci angin.
Dan
sebuah bayangan menari-nari dalam pikiran. Aku baru saja menemukan sebuah tema cerita
untuk aku tuangkan dalam tulisan. Inspirasi datang di saat-saat yang tak
terduga. Dengan lancar, jemari-jemariku lincah bermain-main di atas tombol keyboard.
Entahlah…
Aku tidak ingat sudah menghabiskan waktu berapa lama untuk menulis. Yang pasti,
saat ini sahabatku kembali mengirim pesan singkat. Mengingatkanku untuk
bersiap-siap berangkat. Sebelum mematikan laptop, tak lupa aku menyimpan
tulisanku dalam sebuah folder.
Tak
butuh waktu lama untukku mempersiapkan diri. Kebetulan waktu itu aku sedang berhalangan
dan aku tidak melaksanakan kewajibanku menunaikan ibadah shalat dzuhur. Aku
hanya membasuh wajahku. Jujur saja, aku tidak mandi lagi. Aku tak perduli jika
harus berkeringat karena panas matahari. Aku bisa mandi setelah aku pulang dari
mall nanti.
Karena
belum makan siang, akhirnya sebelum memulai perjalanan aku mampir sejenak di
warung sebelah rumahku. Aku disambut dengan senyuman hangat yang terpajang di
wajah keriput sang nenek tua pemilik warung. Seolah beliau merasa bahagia karena
aku berkunjung untuk membeli beberapa makanan ringan yang dijajakannya.
Bicara
soal warung, aku jadi teringat dengan sebuah minimarket yang baru buka beberapa minggu lalu yang terletak tidak
jauh dari rumahku. Sebuah minimarket
yang membuat pendapatan sepasang kakek-nenek tua itu menurun drastis. Bagaimana
tidak? Nyaris semua yang dibutuhkan para ibu rumah tangga dijual di minimarket itu. Terlebih lagi,
remaja-remaja zaman sekarang merasa gengsi apabila disuruh membeli bahan makanan
di warung. Mereka tentu saja akan lebih senang jika disuruh berbelanja di minimarket yang sejuk karena ber-AC.
“Mau
beli apa, nak?” tanya sang nenek.
Aku
menjawab, “dua bungkus roti.”
Dan
nenek tua yang tampak ringkih itu memasukkan tiga buah roti dalam kantong
kresek. Aku bingung, padahal aku hanya membeli dua, tetapi kenapa ia memasukkan
tiga?
“Roti
yang satunya ambil saja. Cukup membayar dua roti.” Katanya, seolah mampu
membaca mimik muka bingung yang terpampang di wajahku. Aku pun tersenyum lebar.
“Terima
kasih.” Ujarku. Nenek itu menepuk-nepuk bahuku pelan sambil mengangguk.
“Ya.
Makanlah yang banyak agar tidak kurus seperti ini.” Tuturnya. Kali ini aku
nyengir. Sang nenek tersenyum hangat. Inilah yang selalu aku rindukan apabila
datang ke warung kecil ini, bukan bonus cuma-cuma yang ia berikan, namun senyumannya
yang menyejukkan. Beruntunglah, masih ada manusia yang berbagi meski ia repot
dengan tanggungan hidupnya sendiri.
Tanpa
babibu, aku memasukkan kantong kresek yang berisi tiga roti tersebut ke dalam
tas kecil yang selalu kubawa. Lalu aku melangkahkan kedua kakiku meninggalkan
warung kecil itu menuju pertigaan yang terdapat beberapa angkutan umum. Di
siang hari yang terik ini merupakan hal biasa bagi para supir untuk
beristirahat. Aku jadi ragu, apakah ada yang akan mengangkutku menuju mall?
Rupanya
dewi fortuna sedang berada tak jauh dariku, salah satu supir angkutan umum itu
menawariku untuk memakai jasanya. Aku pun bergegas masuk ke dalam angkutan umum
tersebut dan duduk dengan tenang, menunggu perjalanan usai sampai tujuan. Di
tengah perjalanan, angkutan umum itu berhenti karena ada salah satu penumpang
yang hendak naik. Penumpang tersebut adalah seorang anak kecil dengan usia yang
berkisar antara delapan sampai sepuluh tahun. Anak kecil itu memakai pakaian
kumal dan wajah cantiknya pun tertutup oleh debu. Aku balas tersenyum ketika
anak itu tersenyum ke arahku.
Selang
beberapa menit, anak kecil itu memberhentikan angkutan umum di daerah jalan
layang. Ia hendak memberikan biaya ongkosnya pada sang supir, namun ditolak
dengan halus oleh supir itu. Anak kecil tersebut tersenyum sambil tak hentinya
berucap terima kasih. Aku tertegun, bahkan seorang supir pun memiliki jiwa
sosial yang tinggi meski tak banyak materi yang ia miliki. Aku merasa bertemu
dengan dua orang hebat hari ini.
Singkat
cerita, aku telah sampai menginjakkan kaki di sebuah pusat perbelajaan Kota
Karawang. Sepasang mataku mencari-cari di mana sahabatku menunggu. Tak perlu
waktu lama karena gadis cantik seusiaku itu melambaikan tangannya tak jauh dari
posisiku berdiri. Aku pun tersenyum dan ikut melambaikan tangan. Monika
berjalan ke arahku.
“Kau
sudah menunggu lama?” tanyaku.
Ia
menggeleng. “Tidak,”
“Tumben
kau mengajakku ke mall. Apa ada sesuatu yang ingin kau beli?”
Kali
ini ia mengangguk. “Ya, aku ingin membeli sebuah jam tangan untuk ulang tahun
ibuku. Jam tangannya sudah rusak.”
Lalu
gadis itu menggamit tanganku dan kami berjalan beriringan bersama menuju pintu
masuk. Namun, langkah Monika terhenti kala ia melihat pengemis tua yang
menyodorkan kedua tangannya. Sebelah tangan gadis itu mencari-cari sesuatu
dalam saku celanannya. Selembar uang sepuluh ribuan. Tanpa perlu berpikir
panjang aku tahu kalau sahabatku itu hendak memberikan uang tersebut pada
pengemis tua itu. Dan benar saja, Monika memberikan uang tersebut.
“Terima
kasih, nak. Semoga amal ibadahmu di terima oleh Allah SWT dan senantiasa
dilindungi oleh-Nya dari segala marabahaya.” Kata pengemis tua itu. Monika
tersenyum lalu mengaminkan perkataan pengemis tersebut.
Aku
tersenyum melihat kebaikan hati sahabatku. Aku tahu sejak dulu watak gadis itu.
Ia sangat senang berbagi. Selain baik hati, gadis yang memiliki nama lengkap
Monika Rosalia Subrata itu memiliki wajah yang cantik jelita. Hidungnya bangir,
kulitnya putih, dan jika dilihat-lihat ia seperti orang Eropa. Monika terlahir
dari keluarga Subrata yang memiliki kelebihan materi. Meski begitu, hal itu tak
membuatnya menjadi gadis yang jumawa. Itulah yang membuatku betah bersahabat
dengannya.
“Hari
ini aku bertemu dengan tiga orang yang gemar berbagi. Menakjubkan.” Ujarku saat
aku dan Monika kembali melangkahkan kaki menuju pintu masuk.
“Benarkah?”
tanyanya seolah tak percaya. Aku mengangguk mantap.
“Ya,”
jawabku.
“Kau
tahu? Negeri ini terasa kering dan tandus. Kekayaan alam memang melimpah ruah,
tetapi untuk apa itu semua jika tidak bisa mensejahterakan rakyatnya? Orang
miskin ada di mana-mana, mereka seperti budak yang belum dimerdekakan. Orang
kaya menghina orang miskin karena merasa kalau derajat mereka jauh lebih tinggi
dari orang miskin. Padahal menurutku, justru orang kaya tapi pelit berbagi
itulah yang jauh lebih hina.” Tutur Monika panjang lebar.
“Ya,
kau benar.” Hanya itu yang menjadi jawabanku. Jujur saja, aku bingung harus
menjawab apa. Monika Rosalia, dia benar-benar gadis yang luar biasa. Dia
berbeda dengan gadis lain yang seusia dengannya. Di saat gadis-gadis lebih
banyak membicarakan persoalan cinta, Monika justru lebih banyak membicarakan persoalan
negara lewat cara berpikir kritisnya. Itulah faktor lain yang membuatku senang
berbicara panjang-lebar dengannya. Bukan pembicaraan kosong tentang lelaki-lelaki
idaman seperti remaja lainnya.
“Cha,
berbagi itu perbuatan baik. Jangan menunggu waktu yang tepat untuk berbuat
baik.” katanya.
“Kenapa?”
tanyaku seperti orang bodoh.
Ia
tertawa kecil sebelum menjawab pertanyaanku. “Yeah… Intinya jangan menunggu
waktu, karena waktu bisa berhenti kapan saja.”
Aku
takjub mendengarnya. Monika benar-benar sahabatku yang luar biasa. Aku mulai
berpikir, di hari yang sama aku melihat tiga orang yang berbagi untuk
sesamanya, itu membuktikan kalau Allah sedang memperingatkanku untuk sesegera
mungkin berbuat baik dengan berbagi sebagian rezeki sebelum waktuku terhenti.
SELESAI
Karawang,
01 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar