Sabtu, 19 Januari 2013

When Love Is Going by Icha Zahra aka KENzeira



When Love Is Going
Warnings : Angst but happy ending contains, not a fict, Japan location, typo(s), delele.
A story by Icha Z. Octavianna aka KENzeira
(Read = Review)
Just for fun, if you don’t like please don’t read.
~o000o~
Sore itu laki-laki bersurai hitam kebiruan terus melangkahkan kedua kakinya. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku celana, kepalanya menunduk menyembunyikan mata elang yang berwarna gelap pekat miliknya. Ia hanya melangkah mengikuti kata hatinya, meski ia sendiri tidak tahu kakinya akan berhenti dimana.
Nama laki-laki itu Touyoru Ken, sesuai dengan namanya, laki-laki yang entah darimana asalnya itu ahli dalam memainkan pedang. Kali inipun ia baru saja pulang seusai latihan di dōjō untuk memperdalam permainan samurainya. Dōjō yang kurang lebih 15 tahun menjadi tempat latihannya bukanlah dōjō biasa, tempat itu adalah tempat yang mempertemukannya dengan banyak manusia yang bernasib sama. Sebatang kara.
Untuk sekali ini, laki-laki yang biasa disebut Ken itu menengadah memandang langit yang mulai menghitam. Ia menghentikan kakinya sejenak kemudian melihat arloji di tangan kirinya. Siapa sangka, sudah satu jam lebih ia berjalan. Dan laki-laki dengan tinggi 180 cm itu benar-benar tidak tahu ia berada di daerah mana kini.
Ken mengambil sebatang rokok dari saku celananya, tak sampai beberapa detik rokok itu menyala ketika tangan kanannya menghidupkan korek gas. Dan asap beracun itu mulai memasuki rongga dadanya untuk kemudian keluar bersamaan dengan hembusan nafasnya. Tak ada yang menyedihkan dari ini, tak ada.
Sekelebat bayangan kembali mengganggu otaknya. Bayangan yang semakin hari entah mengapa semakin terlihat jelas. Gadis bersurai panjang dengan senyum hangat yang hanya dimiliki olehnya. Gadis yang setahun lalu ia tinggalkan begitu saja. Dan penyesalan memang selalu datang belakangan, bukan?
Nama gadis itu Nishioka Sakura, gadis cantik bermarga Nishioka itu sudah lama memikat hatinya. Gadis kaya yang sederhana, tak akan ada yang tahu kalau ia memiliki banyak harta ketika melihat penampilannya. Penampilan ala gadis desa yang tak memiliki apa-apa. Kecantikan dan keanggunannya mampu memikat siapa saja, termasuk dirinya yang notabene tak pernah berhubungan dengan perempuan. Bagi seorang ahli pedang sepertinya, perempuan bukanlah hal pertama yang dicarinya, melainkan kedudukan untuk bisa menjadi komandan di tempat bekerjanya sebagai polisi keamanan. Dan setidaknya, jabatan wakil komandan sudah membuatnya merasa puas sekarang.
Kini, laki-laki tampan bermata setajam elang itu terduduk di tepi sungai. Terus memandang sang langit dengan tatapan nanar. Hari sudah tak bisa lagi dikatakan sore, tapi Ken tetap dengan keinginannya. Berlari membunuh bayangan gadis yang selalu mengganggu konsentrasinya, meski sekalipun ia tak pernah berhasil melakukannya.
Sekalipun hidup sendiri, tak memiliki arti, berjuang melawan kejamnya dunia sendiri, tapi ia merasa tak ada yang lebih menyedihkan dari ini. Ketika bayangan gadis itu seolah tak bisa dilenyapkan sekalipun bumi telah kehilangan keseimbangan. Tak ada yang lebih menyedihkan, ketika hidup mulai memiliki arti bagi seseorang tapi dengan kebodohan membuat orang itu kecewa, bahkan membuat orang itu menderita. Padahal, orang itulah orang pertama yang mengatakan bahwa hidupnya sangat berarti bagi orang itu. Dan laki-laki itu –Ken– tak pernah tahu siapa dirinya sebenarnya, darimana asalnya, dan siapa keluarganya, selain bahwa dirinya adalah laki-laki yang sangat berpengaruh dalam kehidupan gadis cantik bernama Sakura. Ya, yang ia tahu dirinyalah yang sangat berarti untuk kelengkapan hidup Sakura.
Dan demi Tuhan, Ken juga merasakan hal yang sama. Hanya saja, ia tak pernah tahu bahwa gadis itu menyembunyikan lukanya di balik senyum hangatnya. Ia tak pernah tahu, dan ia benci karena tak pernah di beri tahu.
Keegoisannya untuk meninggalkan gadis itu berdampak buruk. Sadar, tak ada manusia yang sempurna dan selalu menunjung tinggi kejujuran seperti dirinya, hanya saja kebohongan yang di ciptakan gadis itu bukanlah karena Sakura tak ingin Ken merasa iba, gadis itu hanya tak ingin laki-laki yang amat berarti dalam hidupnya itu terluka. Itu saja.
Dan sejauh manapun Ken berlari, laki-laki itu takkan pernah kehilangan bayangan Sakura. Karena Sakura sudah melekat dalam dunianya. Sekalipun Ken memohon kepada Tuhan untuk mengganti dunia lamanya dengan dunia baru, gadis dengan senyuman hangat itu takkan pernah terhapuskan. Dan tak ada yang lebih menyedihkan dari itu, tak ada.
o-o-o-o-o
“Ken?” suara lembut membuyarkan lamunannya, Ken menoleh ke arah gadis yang baru saja memanggilnya.
“Hn?”
“Katakan, apa yang membuatmu murung?” tanya Haruka –nama gadis itu– sambil menyentuh punggung Ken dengan lengan kanannya.
“Tak ada,”
“Kau selalu seperti ini, mana kejujuran yang selalu kau junjung tinggi? Kemana Ken yang dulu kukenal?” Haruka bertanya dengan suara parau. Sejujurnya, ia benci melihat Ken yang seolah kehilangan semangat untuk menghirup udara. Haruka merindukan sosok Ken yang dulu, Ken yang selalu tersenyum dan tertawa sekalipun hidup tak adil padanya.
“Haruka, inilah sosokku yang sebenarnya. Yang dulu itu bukan aku.” Jawab Ken seraya mengambil rokok dalam sakunya. Saat ini, Ken dan Haruka tengah berada di dōjō, beristirahat sejenak setelah seharian berlatih penuh. Haruka bukan gadis manja, ia gadis yang memiliki tenaga bak seorang pria, tapi di balik ketomboiannya, Haruka memiliki sisi manis yang hanya di ketahui oleh Ken, dan Haruka hanya memperlihatkan sisi manisnya pada Ken.
“Kau tidak bersungguh-sungguh mengatakan itu.” Tuduh Haruka. Ken menghembuskan nafas berat. Dengan cepat, Haruka mengambil alih rokok yang tengah di pegang Ken dan mematikannya seketika. Ken terperangah memandang Haruka tak percaya.
“Kau ini kenapa, Haruka?”
“Jangan tanya aku, kaulah yang kenapa! Apakah kau tidak sadar, kau benar-benar mengubah dirimu seratus delapan puluh derajat! Kau lebih sering terlihat murung dan lebih sering mengkonsumsi asap beracun itu!” Haruka mulai tersulut emosinya.
“Tch! Kau tak mengerti, lagipula masalahku tak ada hubungannya denganmu.” Ujar Ken lempeng, laki-laki bermata hitam pekat itu mengambil kembali wadah rokok dalam sakunya. Ken mendesah pelan mendapati wadah itu hanya tersisa dua batang rokok.
“Semua hal tentangmu selalu ada hubungannya denganku!” cetus Haruka lalu menyambar wadah rokok milik Ken dan membuangnya ke kolam ikan.
“Kau berlebihan, Haruka.”
“Apa maksudmu?”
Laki-laki bersurai hitam kebiruan itu berdiri dari duduknya, membalikkan tubuhnya membelakangi Haruka yang ikut berdiri. Gadis tomboi itu menanti kelanjutan kalimat Ken.
“Pernah kutegaskan padamu, sudah ada perempuan yang menempati singgasana dalam duniaku.” Kata Ken puitis. Kini, giliran Haruka yang terperangah kaget. Kedua tangannya menggempal menahan amarah yang membuncah ketika mendapati Ken meninggalkannya.
Haruka kembali terduduk. Tak ada yang bisa ia ambil dalam kesempatan ini, kesempatan untuk mendapatkan hati seorang Ken ketika status pemuda itu kembali sendiri. Tak terhitung berapa hari ia melakukan hal supaya Ken melihatnya sebagai perempuan, bukan partner dalam tugasnya menjaga keamanan kota, menjadi anggota polisi sekaligus teman di tempatnya melatih permainan pedang. Sungguh, Haruka hanya ingin sekali saja Ken melihat kesungguhannya, kesungguhan bahwa ia tak hanya ingin memiliki laki-laki itu, tapi karena ia memang mencintainya.
o-o-o-o-o
“Sudah berapa lama kau seperti ini?” suara baritone itu terlontar dari mulut seorang pria bernama Hizuki Kishimura. Ken menghisap rokoknya dalam-dalam, kemudian menghembuskan asap beracun itu.
“Entahlah,” jawabnya, mata hitam pekat itu memandang langit yang kehilangan bintang. Seperti halnya Ken yang kehilangan cahaya dari sosok Sakura. “Aku tidak ingat.” Lanjutnya.
“Kau membunuh dirimu sendiri dengan cara perlahan, Ken.” Ujar Hizuki seraya mengasah samurainya. Di tempat ini Ken dan Hizuki pertama bertemu, di asrama tempat orang-orang yang di tinggalkan orang tua. Asrama sekaligus tempat berlatih pedang. Di sebelah kiri adalah asrama khusus laki-laki, di sebelah kanan adalah asrama khusus perempuan, dan di tengah adalah tempat untuk berlatih yang tak lain adalah dōjō. Orang pertama yang membangun asrama sekaligus dōjō ini tentulah bukan orang biasa, orang yang diketahui sangat menunjung tinggi nilai sosial itu sudah lama meninggal dunia, bahkan sebelum Ken lahir. Yang meneruskan mengurusi tempat ini adalah cucu-cucunya.
“Jika itu berarti aku juga bisa membunuh Sakura, aku rela mati.” Kata Ken setengah melamun. Hizuki menatap teman seperjuangannya itu dalam diam. Ada sesuatu yang terasa berat dalam hati Hizuki mendapati temannya itu seolah kehilangan nyawanya sendiri. Tak ada lagi semangat. Ken yang dulu benar-benar terkubur mati.
“Dia sudah terbunuh tanpa perlu kau bunuh.” Ujar pria berambut cokelat itu –Hizuki– kemudian kembali mengasah samurainya. Ken tertawa kecil mendengar penuturan Hizuki. Padahal, sungguh, tak ada yang lucu sama sekali.
“Gadis itu…, dia memuakkan!” kata Ken, suaranya terdengar frustasi. Lengannya yang memegang rokok ia remas-remas sampai rokok itu tak berbentuk. “Dia benar-benar balas dendam padaku. Setelah aku meninggalkannya, dia balik meninggalkanku. Perempuan sialan!”
“Hentikan, Ken! Kau terdengar lebih memuakkan daripada Sakura! Tak seharusnya kau seperti ini!” Hizuki mulai marah. Sudah tiga bulan terakhir ini Ken nyaris seperti orang gila, dan laki-laki bermata hitam pekat itu tak hentinya mencecar gadis bernama Sakura, yang Hizuki yakini adalah perempuan yang mengakibatkan Ken begini.
“Kau tak mengerti, Hizuki! Gadis pertama yang berkata aku berarti untuknya itu sudah banyak membohongiku!” Ken ikut marah, ia tak menyangka Hizuki akan berkata demikian padanya.
“Aku sudah berjuta kali mendengarmu mengatakan itu. Aku tahu kau terluka, Ken. Tapi, sebagai seorang samurai sejati, tak seharusnya kau seperti ini.” Tutur Hizuki, suaranya melembut. Mungkin Hizuki tak ingin membuat temannya itu semakin frustasi.
“Kau benar,”
Hizuki menghentikan aktifitasnya mengasah samurai, “Ken, maukah kau mendengar saranku?”
“Hn,” Laki-laki berambut coklat itu mendesah pelan mendapatkan jawaban yang membingungkan dari Ken. Hanya ada dua huruf ‘H’ dan ‘N’. Baiklah, anggap Ken mau mendengar saran Hizuki.
“Kau harus merenungkan kepergian Sakura. Aku yakin, ada maksud yang hendak disampaikannya padamu. Dan aku yakin, ia sama sekali tak bermaksud menyakitimu.”
Ken menoleh ke arah Hizuki, memandang temannya itu dengan tatapan yang sulit di artikan. Hizuki balas memandang Ken, mencoba meyakinkan pria itu untuk merenungkan maksud di balik kepergian Sakura.
“Bagaimana kau bisa seyakin itu?” tanya Ken akhirnya. Hizuki tersenyum samar.
“Kau sangat berarti untuk Sakura, kau yakin itu?” Hizuki balik bertanya.
“Ya, aku yakin ia sungguh-sungguh soal itu.”
“Itulah jawaban atas segala pertanyaan yang berkecamuk dalam benakmu. Ken, kau sangat berarti untuk Sakura dan kau yakin untuk hal itu. Cobalah kau pikirkan, Sakura tak akan menyakiti orang yang berarti untuknya, tak akan membiarkan orang itu pergi meninggalkannya. Kali ini, kau harus yakin bahwa Sakura memiliki maksud baik di balik kepergiannya. Kau sangat berarti untuk Sakura, dan ia membiarkanmu pergi meninggalkannya karena ia tak mau kau ikut bersamanya.” Hizuki menghela nafas setelah mengatakan itu, raut wajah Ken mulai berubah. “Kalau saja Sakura sengaja membuat kesalahan yang membuatmu meninggalkannya, aku yakin, itu karena ia sangat mencintaimu. Ia tak ingin kau lebih terpuruk dari sekarang. Kalau saja Sakura tidak membuat kesalahan, kau pasti masih bersamanya, kau pasti menyaksikan sendiri kepergiannya, dan aku yakin kau akan mencoba melakukan apapun untuk ikut bersama Sakura, meninggalkan dunia.”
Tanpa Hizuki duga, bahu Ken berguncang. Laki-laki bermata hitam pekat itu menangis. Dan ini adalah pertama kalinya ia menangis setelah tiga bulan kepergian Sakura. Ken tidak sadar akan hal itu, gadis yang memiliki senyum hangat seperti Sakura tak akan mungkin menyakitinya. Gadis itu bahkan rela menyakiti dirinya sendiri dengan berpura-pura selingkuh di hadapan Ken, ia ingin Ken meninggalkannya. Karena Sakura tak ingin Ken tahu bahwa Sakura menderita penyakit berat yang membuat gadis itu kehilangan senyum hangatnya, dan bahkan kehilangan nyawanya.
Semua kenyataan itu semakin membuat Ken tak bisa menghentikan aliran air dalam matanya. Untuk kali ini saja, biarkan ia menangis.
“Ken, selain Sakura yang menganggapmu berarti, aku juga menganggapmu berarti, sebagai temanku.” Ujar Hizuki lalu menepuk-nepuk punggung Ken yang masih terisak.
o-o-o-o-o
Pagi hari Kota Tokyo sudah di hadiahi butiran salju. Haruka mengeratkan jaketnya kemudian menggosok-gosok telapak tangannya. Buku-buku jarinya terasa beku, sama halnya dengan hatinya, ikut membeku.
Mungkin, inilah saatnya Haruka mengakhiri usahanya untuk mendapatkan hati wakil komandan itu, berhenti berusaha mendapatkan hati Touyoru Ken. Sudah cukup ia merasa di bodohi oleh perasaannya sendiri, ia tak ingin lagi menjadi Haruka yang menampilkan sisi femininenya. Biar saja ia menunggu laki-laki yang mau menerima dirinya apa adanya, menerima Haruka yang berisik dan tomboi.
Bayangan Hizuki tiba-tiba melesat dalam pikirannya. Bagaimana gigihnya laki-laki berambut coklat yang tak lain adalah teman Ken itu mengejarnya, menunggu Haruka untuk memberikan hatinya yang masih ia pertahankan untuk Ken. Hanya mengingatnya saja membuat Haruka sedikit tersentuh, mungkin perasaan Hizuki juga sama sepertinya. Sama-sama terluka ketika harus mendapatkan cinta sepihak.
Haruka menyesap kopi yang nyaris dingin. Hari ini ia memilih untuk mengambil cuti. Setelah kejadian kemarin, ia merasa perlu menjaga jarak dengan Ken. Ia memang egois karena tak ingin terluka lagi. Tapi, untuk ukuran seorang perempuan, sudah pasti ia lakukan untuk menjauhi perasaan yang menyakitkan. Baginya itu adalah hal yang wajar.
Berlari menghindari perasaan yang seharusnya di hadapi. Bukankah Ken juga seperti itu? Bahkan laki-laki itu terlalu jauh meninggalkan perasaannya.
“Hai,”
Seolah ada badai salju, Haruka membeku mendengar suara yang amat di kenalnya itu. Tak salah lagi, itu pasti suara Ken! Perlahan Haruka menolehkan kepalanya demi melihat sosok yang menyapanya itu.
“Kau?”
“Ya, ini aku.” Kata Ken, Haruka bingung ekspresi apa yang pantas ia tampilkan saat itu.
“Ada apa menemuiku? Kau sudah mendapat izin dari Kikyou-baa-sama masuk ke dalam kamarku?” ujar Haruka, yang ia tahu nenek Kikyou bukan seorang nenek yang mudah mengizinkan laki-laki masuk dalam asrama perempuan. Mengingat nenek Kikyou adalah salah satu keturunan dari orang yang membangun asrama sekaligus dōjō ini.
“Itu bukan hal yang sulit.” Jawab Ken singkat. Tanpa Haruka duga, Ken tersenyum ke arahnya. Benar-benar tersenyum, sama seperti senyumnya beberapa bulan yang lalu. Senyum seperti ketika Ken masih menjadi Ken yang dulu, seolah tak ada beban dalam hidupnya yang sebatang kara.
Haruka memalingkan wajahnya yang mulai merona.
“Haruka, gomen ne, gomen nasai. Kemarin kau benar, aku tak bersungguh-sungguh mengatakan itu.” Tutur Ken, mau tak mau membuat Haruka kembali menatap mata hitam pekat itu. Ken masih mempertahankan senyumnya.
“Tak apa, kau tak perlu meminta maaf. Aku tahu, seharusnya aku sadar kalau aku takkan pernah bisa menggantikan posisi perempuan yang kini menempati singgasana di hatimu.” Ujar Haruka kemudian tersenyum. Senyum palsu untuk menutupi luka hatinya.
“Ah, begitu ya?”
“Ya,” jawab Haruka. Keduanya terdiam, terlihat sama-sama canggung, sama-sama tak nyaman dengan keheningan ini, namun tak ada yang berani memecahkan hening yang mengganggu ini.
“Ehem…,” Ken berdehem membuat Haruka entah kenapa berdebar.
“Eh, hmmm…, Ken, kau tidak bertugas hari ini?” akhirnya hanya itu yang bisa Haruka tanyakan. Haruka merutuki dirinya sendiri bagaimana bisa ia menanyakan hal yang tidak penting itu. Lagipula, ini masih cukup pagi untuk berangkat bertugas.
“Ah, itu…,” Ken terlihat gugup, ia menggaruk-garuk tengkuknya yang Haruka yakin bukan karena gatal, tapi karena bingung. Haruka semakin berdebar melihat samar-samar rona kemerahan di pipi Ken. “Begini, aku…, aku sengaja mengambil cuti untuk datang kesini. Aku ingin menghabiskan waktu seharian ini bersamamu.”
“Kau bercanda?”
“Ahahaha…, iya, tentu saja aku bercanda!” celetuk Ken kemudian di hadiahi tatapan death glare dari Haruka. “Ah, tidak juga, aku serius, Haruka.” Lanjut Ken ketika mendapati wajah Haruka berubah menjadi horror.
Haruka tak mampu menahan senyumnya. Dan Ken ikut tersenyum karenanya.
Sekarang, Haruka sudah bertekad untuk meneruskan perasaannnya pada Ken, apapun kendalanya ia akan tetap mencintai Ken.
Bagaimana dengan Ken? Laki-laki itu yakin sekarang, Haruka adalah ‘Sakura’nya dalam wujud yang berbeda. Senyuman Haruka mengingatkan Ken, betapa ia membutuhkan gadis itu untuk menjadi bagian dari dirinya. Senyuman hangat yang mampu menghangatkan jiwanya.
~ OWARI ~
Well, tak ada konflik yang berarti. Sebuah cerita yang di dedikasikan untuk diri sendiri.
Yosh, mind to read and review minna-san? :)
Regards,
Icha Z. Octavianna (KENzeira)
15th of January 2013