When Love Is Going
Warnings
: Angst but happy ending contains, not a fict, Japan location, typo(s), delele.
A story by Icha Z. Octavianna aka KENzeira
(Read = Review)
Just for fun, if you don’t like
please don’t read.
~o000o~
Sore
itu laki-laki bersurai hitam kebiruan terus melangkahkan kedua kakinya. Kedua
tangannya ia masukkan dalam saku celana, kepalanya menunduk menyembunyikan mata
elang yang berwarna gelap pekat miliknya. Ia hanya melangkah mengikuti kata
hatinya, meski ia sendiri tidak tahu kakinya akan berhenti dimana.
Nama
laki-laki itu Touyoru Ken, sesuai dengan namanya, laki-laki yang entah darimana
asalnya itu ahli dalam memainkan pedang. Kali inipun ia baru saja pulang seusai
latihan di dōjō untuk memperdalam permainan samurainya. Dōjō yang kurang lebih
15 tahun menjadi tempat latihannya bukanlah dōjō biasa, tempat itu adalah
tempat yang mempertemukannya dengan banyak manusia yang bernasib sama. Sebatang
kara.
Untuk
sekali ini, laki-laki yang biasa disebut Ken itu menengadah memandang langit yang
mulai menghitam. Ia menghentikan kakinya sejenak kemudian melihat arloji di
tangan kirinya. Siapa sangka, sudah satu jam lebih ia berjalan. Dan laki-laki
dengan tinggi 180 cm itu benar-benar tidak tahu ia berada di daerah mana kini.
Ken
mengambil sebatang rokok dari saku celananya, tak sampai beberapa detik rokok
itu menyala ketika tangan kanannya menghidupkan korek gas. Dan asap beracun itu
mulai memasuki rongga dadanya untuk kemudian keluar bersamaan dengan hembusan
nafasnya. Tak ada yang menyedihkan dari ini, tak ada.
Sekelebat
bayangan kembali mengganggu otaknya. Bayangan yang semakin hari entah mengapa
semakin terlihat jelas. Gadis bersurai panjang dengan senyum hangat yang hanya
dimiliki olehnya. Gadis yang setahun lalu ia tinggalkan begitu saja. Dan
penyesalan memang selalu datang belakangan, bukan?
Nama
gadis itu Nishioka Sakura, gadis cantik bermarga Nishioka itu sudah lama
memikat hatinya. Gadis kaya yang sederhana, tak akan ada yang tahu kalau ia
memiliki banyak harta ketika melihat penampilannya. Penampilan ala gadis desa
yang tak memiliki apa-apa. Kecantikan dan keanggunannya mampu memikat siapa
saja, termasuk dirinya yang notabene
tak pernah berhubungan dengan perempuan. Bagi seorang ahli pedang sepertinya,
perempuan bukanlah hal pertama yang dicarinya, melainkan kedudukan untuk bisa
menjadi komandan di tempat bekerjanya sebagai polisi keamanan. Dan setidaknya,
jabatan wakil komandan sudah membuatnya merasa puas sekarang.
Kini,
laki-laki tampan bermata setajam elang itu terduduk di tepi sungai. Terus
memandang sang langit dengan tatapan nanar. Hari sudah tak bisa lagi dikatakan
sore, tapi Ken tetap dengan keinginannya. Berlari membunuh bayangan gadis yang
selalu mengganggu konsentrasinya, meski sekalipun ia tak pernah berhasil
melakukannya.
Sekalipun
hidup sendiri, tak memiliki arti, berjuang melawan kejamnya dunia sendiri, tapi
ia merasa tak ada yang lebih menyedihkan dari ini. Ketika bayangan gadis itu
seolah tak bisa dilenyapkan sekalipun bumi telah kehilangan keseimbangan. Tak
ada yang lebih menyedihkan, ketika hidup mulai memiliki arti bagi seseorang
tapi dengan kebodohan membuat orang itu kecewa, bahkan membuat orang itu
menderita. Padahal, orang itulah orang pertama yang mengatakan bahwa hidupnya sangat berarti bagi orang itu. Dan
laki-laki itu –Ken– tak pernah tahu siapa dirinya sebenarnya, darimana asalnya,
dan siapa keluarganya, selain bahwa dirinya adalah laki-laki yang sangat
berpengaruh dalam kehidupan gadis cantik bernama Sakura. Ya, yang ia tahu
dirinyalah yang sangat berarti untuk kelengkapan hidup Sakura.
Dan
demi Tuhan, Ken juga merasakan hal yang sama. Hanya saja, ia tak pernah tahu
bahwa gadis itu menyembunyikan lukanya di balik senyum hangatnya. Ia tak pernah
tahu, dan ia benci karena tak pernah di beri tahu.
Keegoisannya
untuk meninggalkan gadis itu berdampak buruk. Sadar, tak ada manusia yang
sempurna dan selalu menunjung tinggi kejujuran seperti dirinya, hanya saja
kebohongan yang di ciptakan gadis itu bukanlah karena Sakura tak ingin Ken
merasa iba, gadis itu hanya tak ingin laki-laki yang amat berarti dalam
hidupnya itu terluka. Itu saja.
Dan
sejauh manapun Ken berlari, laki-laki itu takkan pernah kehilangan bayangan
Sakura. Karena Sakura sudah melekat dalam dunianya. Sekalipun Ken memohon
kepada Tuhan untuk mengganti dunia lamanya dengan dunia baru, gadis dengan
senyuman hangat itu takkan pernah terhapuskan. Dan tak ada yang lebih
menyedihkan dari itu, tak ada.
o-o-o-o-o
“Ken?”
suara lembut membuyarkan lamunannya, Ken menoleh ke arah gadis yang baru saja
memanggilnya.
“Hn?”
“Katakan,
apa yang membuatmu murung?” tanya Haruka –nama gadis itu– sambil menyentuh
punggung Ken dengan lengan kanannya.
“Tak
ada,”
“Kau
selalu seperti ini, mana kejujuran yang selalu kau junjung tinggi? Kemana Ken
yang dulu kukenal?” Haruka bertanya dengan suara parau. Sejujurnya, ia benci
melihat Ken yang seolah kehilangan semangat untuk menghirup udara. Haruka
merindukan sosok Ken yang dulu, Ken yang selalu tersenyum dan tertawa sekalipun
hidup tak adil padanya.
“Haruka,
inilah sosokku yang sebenarnya. Yang dulu itu bukan aku.” Jawab Ken seraya
mengambil rokok dalam sakunya. Saat ini, Ken dan Haruka tengah berada di dōjō,
beristirahat sejenak setelah seharian berlatih penuh. Haruka bukan gadis manja,
ia gadis yang memiliki tenaga bak seorang pria, tapi di balik ketomboiannya,
Haruka memiliki sisi manis yang hanya di ketahui oleh Ken, dan Haruka hanya
memperlihatkan sisi manisnya pada Ken.
“Kau
tidak bersungguh-sungguh mengatakan itu.” Tuduh Haruka. Ken menghembuskan nafas
berat. Dengan cepat, Haruka mengambil alih rokok yang tengah di pegang Ken dan
mematikannya seketika. Ken terperangah memandang Haruka tak percaya.
“Kau
ini kenapa, Haruka?”
“Jangan
tanya aku, kaulah yang kenapa! Apakah kau tidak sadar, kau benar-benar mengubah
dirimu seratus delapan puluh derajat! Kau lebih sering terlihat murung dan
lebih sering mengkonsumsi asap beracun itu!” Haruka mulai tersulut emosinya.
“Tch!
Kau tak mengerti, lagipula masalahku tak ada hubungannya denganmu.” Ujar Ken
lempeng, laki-laki bermata hitam pekat itu mengambil kembali wadah rokok dalam
sakunya. Ken mendesah pelan mendapati wadah itu hanya tersisa dua batang rokok.
“Semua
hal tentangmu selalu ada hubungannya denganku!” cetus Haruka lalu menyambar
wadah rokok milik Ken dan membuangnya ke kolam ikan.
“Kau
berlebihan, Haruka.”
“Apa
maksudmu?”
Laki-laki
bersurai hitam kebiruan itu berdiri dari duduknya, membalikkan tubuhnya
membelakangi Haruka yang ikut berdiri. Gadis tomboi itu menanti kelanjutan
kalimat Ken.
“Pernah
kutegaskan padamu, sudah ada perempuan yang menempati singgasana dalam
duniaku.” Kata Ken puitis. Kini, giliran Haruka yang terperangah kaget. Kedua
tangannya menggempal menahan amarah yang membuncah ketika mendapati Ken
meninggalkannya.
Haruka
kembali terduduk. Tak ada yang bisa ia ambil dalam kesempatan ini, kesempatan
untuk mendapatkan hati seorang Ken ketika status pemuda itu kembali
sendiri. Tak terhitung berapa hari ia melakukan hal supaya Ken melihatnya
sebagai perempuan, bukan partner
dalam tugasnya menjaga keamanan kota, menjadi anggota polisi sekaligus teman di
tempatnya melatih permainan pedang. Sungguh, Haruka hanya ingin sekali saja Ken
melihat kesungguhannya, kesungguhan bahwa ia tak hanya ingin memiliki laki-laki
itu, tapi karena ia memang mencintainya.
o-o-o-o-o
“Sudah
berapa lama kau seperti ini?” suara baritone
itu terlontar dari mulut seorang pria bernama Hizuki Kishimura. Ken menghisap
rokoknya dalam-dalam, kemudian menghembuskan asap beracun itu.
“Entahlah,”
jawabnya, mata hitam pekat itu memandang langit yang kehilangan bintang.
Seperti halnya Ken yang kehilangan cahaya dari sosok Sakura. “Aku tidak ingat.”
Lanjutnya.
“Kau
membunuh dirimu sendiri dengan cara perlahan, Ken.” Ujar Hizuki seraya mengasah
samurainya. Di tempat ini Ken dan Hizuki pertama bertemu, di asrama tempat
orang-orang yang di tinggalkan orang tua. Asrama sekaligus tempat berlatih
pedang. Di sebelah kiri adalah asrama khusus laki-laki, di sebelah kanan adalah
asrama khusus perempuan, dan di tengah adalah tempat untuk berlatih yang tak
lain adalah dōjō. Orang pertama yang membangun asrama sekaligus dōjō ini
tentulah bukan orang biasa, orang yang diketahui sangat menunjung tinggi nilai
sosial itu sudah lama meninggal dunia, bahkan sebelum Ken lahir. Yang meneruskan
mengurusi tempat ini adalah cucu-cucunya.
“Jika
itu berarti aku juga bisa membunuh Sakura, aku rela mati.” Kata Ken setengah
melamun. Hizuki menatap teman seperjuangannya itu dalam diam. Ada sesuatu yang
terasa berat dalam hati Hizuki mendapati temannya itu seolah kehilangan
nyawanya sendiri. Tak ada lagi semangat. Ken yang dulu benar-benar terkubur
mati.
“Dia
sudah terbunuh tanpa perlu kau bunuh.” Ujar pria berambut cokelat itu –Hizuki–
kemudian kembali mengasah samurainya. Ken tertawa kecil mendengar penuturan
Hizuki. Padahal, sungguh, tak ada yang lucu sama sekali.
“Gadis
itu…, dia memuakkan!” kata Ken, suaranya terdengar frustasi. Lengannya yang
memegang rokok ia remas-remas sampai rokok itu tak berbentuk. “Dia benar-benar
balas dendam padaku. Setelah aku meninggalkannya, dia balik meninggalkanku. Perempuan
sialan!”
“Hentikan,
Ken! Kau terdengar lebih memuakkan daripada Sakura! Tak seharusnya kau seperti
ini!” Hizuki mulai marah. Sudah tiga bulan terakhir ini Ken nyaris seperti
orang gila, dan laki-laki bermata hitam pekat itu tak hentinya mencecar gadis
bernama Sakura, yang Hizuki yakini adalah perempuan yang mengakibatkan Ken
begini.
“Kau
tak mengerti, Hizuki! Gadis pertama yang berkata aku berarti untuknya itu sudah
banyak membohongiku!” Ken ikut marah, ia tak menyangka Hizuki akan berkata
demikian padanya.
“Aku
sudah berjuta kali mendengarmu mengatakan itu. Aku tahu kau terluka, Ken. Tapi,
sebagai seorang samurai sejati, tak seharusnya kau seperti ini.” Tutur Hizuki,
suaranya melembut. Mungkin Hizuki tak ingin membuat temannya itu semakin
frustasi.
“Kau
benar,”
Hizuki
menghentikan aktifitasnya mengasah samurai, “Ken, maukah kau mendengar
saranku?”
“Hn,”
Laki-laki berambut coklat itu mendesah pelan mendapatkan jawaban yang
membingungkan dari Ken. Hanya ada dua huruf ‘H’ dan ‘N’. Baiklah, anggap Ken
mau mendengar saran Hizuki.
“Kau
harus merenungkan kepergian Sakura. Aku yakin, ada maksud yang hendak
disampaikannya padamu. Dan aku yakin, ia sama sekali tak bermaksud
menyakitimu.”
Ken
menoleh ke arah Hizuki, memandang temannya itu dengan tatapan yang sulit di
artikan. Hizuki balas memandang Ken, mencoba meyakinkan pria itu untuk
merenungkan maksud di balik kepergian Sakura.
“Bagaimana
kau bisa seyakin itu?” tanya Ken akhirnya. Hizuki tersenyum samar.
“Kau
sangat berarti untuk Sakura, kau yakin itu?” Hizuki balik bertanya.
“Ya,
aku yakin ia sungguh-sungguh soal itu.”
“Itulah
jawaban atas segala pertanyaan yang berkecamuk dalam benakmu. Ken, kau sangat
berarti untuk Sakura dan kau yakin untuk hal itu. Cobalah kau pikirkan, Sakura
tak akan menyakiti orang yang berarti untuknya, tak akan membiarkan orang itu
pergi meninggalkannya. Kali ini, kau harus yakin bahwa Sakura memiliki maksud
baik di balik kepergiannya. Kau sangat berarti untuk Sakura, dan ia membiarkanmu
pergi meninggalkannya karena ia tak mau kau ikut bersamanya.” Hizuki menghela
nafas setelah mengatakan itu, raut wajah Ken mulai berubah. “Kalau saja Sakura
sengaja membuat kesalahan yang membuatmu meninggalkannya, aku yakin, itu karena
ia sangat mencintaimu. Ia tak ingin kau lebih terpuruk dari sekarang. Kalau
saja Sakura tidak membuat kesalahan, kau pasti masih bersamanya, kau pasti
menyaksikan sendiri kepergiannya, dan aku yakin kau akan mencoba melakukan
apapun untuk ikut bersama Sakura, meninggalkan dunia.”
Tanpa
Hizuki duga, bahu Ken berguncang. Laki-laki bermata hitam pekat itu menangis.
Dan ini adalah pertama kalinya ia menangis setelah tiga bulan kepergian Sakura.
Ken tidak sadar akan hal itu, gadis yang memiliki senyum hangat seperti Sakura
tak akan mungkin menyakitinya. Gadis itu bahkan rela menyakiti dirinya sendiri
dengan berpura-pura selingkuh di hadapan Ken, ia ingin Ken meninggalkannya.
Karena Sakura tak ingin Ken tahu bahwa Sakura menderita penyakit berat yang
membuat gadis itu kehilangan senyum hangatnya, dan bahkan kehilangan nyawanya.
Semua
kenyataan itu semakin membuat Ken tak bisa menghentikan aliran air dalam
matanya. Untuk kali ini saja, biarkan ia menangis.
“Ken,
selain Sakura yang menganggapmu berarti, aku juga menganggapmu berarti, sebagai
temanku.” Ujar Hizuki lalu menepuk-nepuk punggung Ken yang masih terisak.
o-o-o-o-o
Pagi
hari Kota Tokyo sudah di hadiahi butiran salju. Haruka mengeratkan jaketnya
kemudian menggosok-gosok telapak tangannya. Buku-buku jarinya terasa beku, sama
halnya dengan hatinya, ikut membeku.
Mungkin,
inilah saatnya Haruka mengakhiri usahanya untuk mendapatkan hati wakil komandan
itu, berhenti berusaha mendapatkan hati Touyoru Ken. Sudah cukup ia merasa di
bodohi oleh perasaannya sendiri, ia tak ingin lagi menjadi Haruka yang
menampilkan sisi femininenya. Biar
saja ia menunggu laki-laki yang mau menerima dirinya apa adanya, menerima
Haruka yang berisik dan tomboi.
Bayangan
Hizuki tiba-tiba melesat dalam pikirannya. Bagaimana gigihnya laki-laki
berambut coklat yang tak lain adalah teman Ken itu mengejarnya, menunggu Haruka
untuk memberikan hatinya yang masih ia pertahankan untuk Ken. Hanya
mengingatnya saja membuat Haruka sedikit tersentuh, mungkin perasaan Hizuki
juga sama sepertinya. Sama-sama terluka ketika harus mendapatkan cinta sepihak.
Haruka
menyesap kopi yang nyaris dingin. Hari ini ia memilih untuk mengambil cuti.
Setelah kejadian kemarin, ia merasa perlu menjaga jarak dengan Ken. Ia memang
egois karena tak ingin terluka lagi. Tapi, untuk ukuran seorang perempuan,
sudah pasti ia lakukan untuk menjauhi perasaan yang menyakitkan. Baginya itu
adalah hal yang wajar.
Berlari
menghindari perasaan yang seharusnya di hadapi. Bukankah Ken juga seperti itu?
Bahkan laki-laki itu terlalu jauh meninggalkan perasaannya.
“Hai,”
Seolah
ada badai salju, Haruka membeku mendengar suara yang amat di kenalnya itu. Tak
salah lagi, itu pasti suara Ken! Perlahan Haruka menolehkan kepalanya demi
melihat sosok yang menyapanya itu.
“Kau?”
“Ya,
ini aku.” Kata Ken, Haruka bingung ekspresi apa yang pantas ia tampilkan saat
itu.
“Ada
apa menemuiku? Kau sudah mendapat izin dari Kikyou-baa-sama masuk ke dalam kamarku?” ujar Haruka, yang ia tahu nenek
Kikyou bukan seorang nenek yang mudah mengizinkan laki-laki masuk dalam asrama
perempuan. Mengingat nenek Kikyou adalah salah satu keturunan dari orang yang
membangun asrama sekaligus dōjō ini.
“Itu
bukan hal yang sulit.” Jawab Ken singkat. Tanpa Haruka duga, Ken tersenyum ke
arahnya. Benar-benar tersenyum, sama seperti senyumnya beberapa bulan yang
lalu. Senyum seperti ketika Ken masih menjadi Ken yang dulu, seolah tak ada beban dalam hidupnya yang sebatang kara.
Haruka
memalingkan wajahnya yang mulai merona.
“Haruka,
gomen ne, gomen nasai. Kemarin kau
benar, aku tak bersungguh-sungguh mengatakan itu.” Tutur Ken, mau tak mau
membuat Haruka kembali menatap mata hitam pekat itu. Ken masih mempertahankan
senyumnya.
“Tak
apa, kau tak perlu meminta maaf. Aku tahu, seharusnya aku sadar kalau aku
takkan pernah bisa menggantikan posisi perempuan yang kini menempati singgasana
di hatimu.” Ujar Haruka kemudian tersenyum. Senyum palsu untuk menutupi luka
hatinya.
“Ah,
begitu ya?”
“Ya,”
jawab Haruka. Keduanya terdiam, terlihat sama-sama canggung, sama-sama tak
nyaman dengan keheningan ini, namun tak ada yang berani memecahkan hening yang
mengganggu ini.
“Ehem…,”
Ken berdehem membuat Haruka entah kenapa berdebar.
“Eh,
hmmm…, Ken, kau tidak bertugas hari ini?” akhirnya hanya itu yang bisa Haruka
tanyakan. Haruka merutuki dirinya sendiri bagaimana bisa ia menanyakan hal yang
tidak penting itu. Lagipula, ini masih cukup pagi untuk berangkat bertugas.
“Ah,
itu…,” Ken terlihat gugup, ia menggaruk-garuk tengkuknya yang Haruka yakin
bukan karena gatal, tapi karena bingung. Haruka semakin berdebar melihat
samar-samar rona kemerahan di pipi Ken. “Begini, aku…, aku sengaja mengambil
cuti untuk datang kesini. Aku ingin menghabiskan waktu seharian ini bersamamu.”
“Kau
bercanda?”
“Ahahaha…,
iya, tentu saja aku bercanda!” celetuk Ken kemudian di hadiahi tatapan death glare dari Haruka. “Ah, tidak
juga, aku serius, Haruka.” Lanjut Ken ketika mendapati wajah Haruka berubah
menjadi horror.
Haruka
tak mampu menahan senyumnya. Dan Ken ikut tersenyum karenanya.
Sekarang,
Haruka sudah bertekad untuk meneruskan perasaannnya pada Ken, apapun kendalanya
ia akan tetap mencintai Ken.
Bagaimana
dengan Ken? Laki-laki itu yakin sekarang, Haruka adalah ‘Sakura’nya dalam wujud
yang berbeda. Senyuman Haruka mengingatkan Ken, betapa ia membutuhkan gadis itu
untuk menjadi bagian dari dirinya. Senyuman hangat yang mampu menghangatkan
jiwanya.
~ OWARI ~
Well, tak ada konflik yang berarti. Sebuah cerita
yang di dedikasikan untuk diri sendiri.
Yosh, mind to read and review minna-san? :)
Regards,
Icha Z. Octavianna (KENzeira)