Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto
Because I For You
© KENzeira
Warnings
: NejiHina, 7,937 words, typo(s), OOC, aneh, delele
Genre
: Angst and Romance
Rated
: T
Current music
: Aluto – Gomoji no Ito
Don’t like, please don’t read.
~ Happy Reading ~
…
04 Juli 2011
09:30
Hinata
menghembuskan nafas yang tanpa disadari ditahannya sejak tadi. Gadis bersurai
indigo itu melirik seseorang yang tengah menggenggam pergelangan tangannya,
seseorang yang kerap kali membuat jantungnya berdegup kencang. Terlihat jelaslah
rona kemerahan yang menghiasi pipi Hinata ketika matanya bersibobrok dengan
mata biru yang indah. Selama sepersekian detik mereka saling memandang sebelum
Hinata memalingkan wajahnya yang sudah semerah udang rebus.
“Na-Naruto-kun,”
“Ayolah
Hinata, kau pasti mau menerima tawaranku ‘kan?” kata Naruto –laki-laki yang
menggenggam pergelangan tangan Hinata– dengan memasang wajah layaknya anak
anjing yang minta diberi makanan.
“A-aku,
aku…,” rasanya kegagapan Hinata semakin menjadi-jadi kala seseorang yang lain
menghampirinya dengan wajah datarnya seperti biasa dan langsung –
Bletak!
“Aduhhh!”
–menjitak kepala berambut kuning disebelahnya,
Naruto Uzumaki.
“KENAPA
KAU MENJITAK KEPALAKU? Eh…, Ne-neji?” Naruto yang amarahnya meluap-luap tidak
terima atas jitakan yang mendarat dikepalanya langsung pias, mendapati Neji lah
yang menjitak kepalanya.
“Hinata
tidak menerima tawaranmu,” kata Neji tanpa meminta maaf atas apa yang barusan
dilakukannya pada Naruto, Neji langsung menyambar tangan Hinata dan menariknya
pergi. “Ayo kita pergi, Hinata.”
Hinata
yang malang hanya menuruti perintah Neji yang tak lain adalah sepupu yang
beberapa tahun lalu diangkat menjadi anak ayahnya. Hinata tak mengerti kenapa Nii-sannya ini selalu saja hadir saat
Hinata tengah dekat dengan Naruto, dan ujung-ujungnya selalu seperti ini.
Ditarik menjauh.
Hinata
menatap keatas pintu dengan papan XI-7 yang terpampang diatasnya. (Lagi-lagi)
Neji menyeretnya ke kelas Hinata, setelah ini pasti Neji akan berkata –
“Kau
tetap disini, dan jangan membantah.”
“N-nii-san,” Hinata susah payah
menyuarakan apa yang ingin dikatakannya supaya tidak gagap, tapi sepertinya
usahanya sia-sia. Neji yang hendak meninggalkan Hinata di dalam kelasnya pun
menoleh dengan memasang wajah yang seolah-olah berkata ‘Apa?’. Hinata melirik
ke kiri dan ke kanan dan mendapati tatapan aneh dari teman-temannya. “A-aku…,”
“Jangan
katakan kau akan menerima tawaran Naruto untuk bergabung dalam kelompok panjat
tebing, Hinata.” Neji menyela Hinata yang hendak menyuarakan maksudnya yang
langsung tertangkap oleh Neji.
“Ke-kenapa?”
Neji
memandang Hinata dari bawah sampai atas, kemudian mata yang sejenis itu saling
memandang. “Kau lemah,” jawab Neji membuat Hinata terbelalak. Mau tak mau
membuat Hinata mati-matian menahan untuk tidak menangis saat itu juga. Neji
yang menyadari perubahan raut muka Hinata hanya terdiam memandang Hinata dengan
tatapan yang sulit diartikan. Setelah itu Neji berlalu meninggalkan kelas
Hinata.
o-o-o-o-o
Laki-laki
dengan postur yang terbilang tinggi itu menghembuskan nafasnya perlahan. Ia tak
henti-hentinya mendengar teriakan-teriakan heroik dari teman yang ada
disampingnya yang selalu saja berceloteh tentang ‘Semangat Muda’. Laki-laki itu
mulai risih ketika tangan jahil temannya menggeplak bahu kirinya.
“Hey,
Neji, kenapa wajahmu ditekuk seperti itu? Di usia kita yang sekarang seharusnya
menjadikan kita remaja yang penuh semangat!” cerocos Lee –teman yang ada
disamping Neji– mau tak mau membuat Neji mendengus sebal.
“…”
Plak
(Lagi-lagi)
Lee menggeplak bahu Neji, kali ini lebih keras. Siapa suruh diam seperti itu
sementara Lee bercerocos berniat baik dengan menanamkan semangat mudanya. Tapi
sepertinya Neji tidak mengindahkan celotehan teman disampingnya itu.
Plak
“Diamlah!
Dasar cerewet!” kali ini Neji mulai kesal ketika untuk ketiga kalinya Lee
menggeplak bahu Neji. Lee terdiam beberapa saat sebelum kemudian mendengus.
“Menyebalkan,”
gumam Lee dengan wajah yang sama ditekuknya dengan Neji. Tapi wajah Lee
seketika berubah saat mendapati Tenten berjalan ke arahnya. Wajah Lee menjadi
cerah dan Neji bisa menangkap ada aura pink
yang mengoar dari tubuh Lee.
“Cih,”
Lee
mengernyit mendapati Tenten justru berhadapan dengan meja Neji. Tiba-tiba saja
Tenten menggebrak meja Neji sehingga dapat dipastikan laki-laki itu hampir terjungkal
dari kursinya.
“Kau!”
cetus Tenten sambil menunjuk-nunjuk hidung Neji. Neji melongo dan Lee menganga.
“Kenapa kau melarang adikmu untuk ikut kelompok panjat tebing, hah?”
Neji
menghembuskan nafas bosan. “Jadi, si Naruto itu mengadu padamu?”
“Ya!
Dan aku sebagai ketua tentu sangat marah!” ujar Tenten sambil bertolak
pinggang. Neji mendengus.
“Kenapa
kau harus marah? Hinata itu adikku, dan aku berhak menjaganya. Lagipula apa
bagusnya olahraga ekstrem seperti
panjat tebing itu?”
Tenten
menggeram kesal. “Justru karena kau kakaknya lah aku marah! Kau bertingkah
seolah-olah Hinata itu boneka yang bisa kau atur seenakmu! Kau pikir Hinata itu
milikmu, hah? Kalaupun kau berniat menjaganya, kenapa kau diam saja ketika
Hanabi di bully oleh teman-teman SMP
nya! Hanabi juga adikmu kan? Asal kau tahu saja, kau itu bukan kakak kandung
Hinata!”
Neji
terdiam. Lebih tepatnya terdesak. Ia memang bukan kakak kandung Hinata, tapi
selama ini Neji selalu berusaha menjadi kakak yang baik bagi Hinata. Dan bagaimana
pula gadis bercepol dua ini bisa tahu gerak-geriknya? Bahkan saat Neji tak
berniat membantu Hanabi yang tengah di bully
oleh teman-teman SMP nya. Neji tentu memiliki alasan tersendiri kenapa ia bisa
melakukan hal itu. Hanya saja, tak boleh ada yang tahu alasannya selain dirinya
sendiri.
“Cih,
kau cerewet sekali. Baiklah, aku akan menggantikan Hinata.” Kata Neji akhirnya
meski ia sendiri tidak yakin apa ide gilanya itu bagus atau tidak.
“Apa
maksudmu?” Tenten tak mengerti.
“Aku
akan ikut dalam kelompok panjat tebing.” Ujar Neji membuat Tenten melongo. Neji
berdiri dari duduknya kemudian melangkah keluar kelas. Bukannya Tenten tidak
suka, hanya saja seorang Neji yang bahkan tak pernah terlihat berolahraga
tiba-tiba ikut panjat tebing? Tenten tahu persis bagaimana Neji, ia tahu alasan
kenapa Neji kerap kali absen ketika pelajaran olahraga berlangsung. Tenten tahu
alasan Neji.
o-o-o-o-o
“Hinata,
kenapa kau melamun saja?” kata Sakura – teman sekelas Hinata.
“A-aku
tidak melamun.” Jawab Hinata sambil berusaha bersikap seperti biasa. Sakura
menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Ah,
seandainya Neji-san tidak bersikap
dingin.” Gumam Sakura membuat Hinata memberikan tatapan tak mengerti pada teman
disebelahnya itu.
“Me-memangnya
kenapa?”
“Tidak
apa-apa. Aku hanya menyayangkan saja, padahal paras Neji-san itu pahatan Tuhan yang paling indah, menurutku. Hanya saja ia
selalu bersikap seolah tak membutuhkan perempuan.” Tutur Sakura. Hinata
tersenyum sekilas.
“Ya,
me-menurutku juga begitu. Ja-jadi, kau menyukai kakakku?”
“Memangnya
terlihat jelas ya? Padahal aku mati-matian menyembunyikannya.” Celetuk Sakura,
Hinata tersenyum lagi saat mendapati rona kemerahan dipipi Sakura. Hinata yang
asik memandangi Sakura yang blushing
langsung menyadari perubahan di raut muka Sakura. Tiba-tiba saja mata Sakura
terbelalak dan pipinya semakin merona. Dan Hinata mengikuti arah pandangan
Sakura.
Sepupunya,
ralat kakaknya – Neji – sedang berjalan ke arah tempat Hinata dan Sakura duduk.
“Hinata,
apa kau lapar?” tanya Neji saat telah berhadapan dengan Hinata. Belum sempat
Hinata menjawab, Neji malah menyela. “Kalau begitu, ayo kita ke kantin.”
o-o-o-o-o
“Nii-san, k-kau tak perlu melakukan ini,”
kata Hinata saat jemarinya digenggam erat oleh Neji. Sekilas Neji terdiam
memandangi Hinata yang tengah menundukan kepalanya.
Laki-laki
bersurai panjang itu sama sekali tidak keberatan meski dirinya dan Hinata
menjadi pusat perhatian dikantin sekolahnya. Neji sudah terbiasa dengan
pemandangan ini, pemandangan orang-orang yang memandang dirinya dengan tatapan
kagum, sedangkan pandangan mengejek tertuju pada Hinata. Entah apa yang mereka
pikirkan sampai-sampai mereka seolah sangat senang jika bisa membully Hinata. Tapi tentu saja selama ada
Neji disampingnya, Hinata akan baik-baik saja.
Mendadak
Neji teringat ketika ia melihat Hinata yang kakinya tengah dijegal oleh
sekelompok orang sehingga membuat Hinata terjatuh. Kejadian itu berlangsung di
kantin. Neji terlambat tapi itu tidak masalah. Setidaknya waktu itu Neji
menyerang sekelompok orang itu secara membabi buta, dan dapat dipastikan salah
satu tulang mereka patah. Dan sejak insiden itu, tak ada lagi yang berani membully Hinata selama Neji disampingnya.
“Sudahlah,
tidak apa-apa.” Kata Neji kemudian melangkah menuju salah satu meja yang
kosong. Neji duduk berhadapan dengan Hinata. Hinata hanya menundukkan kepalanya,
tak berani memandang laki-laki yang kini tengah memandangnya.
Gadis
yang memiliki mata sewarna mutiara itu hanya memesan air putih saat Ayame –anak
penjaga kantin– menawarinya ramen. Demikian pula Neji, ia bahkan sama sekali
tak memesan makanan atau minuman. Sejujurnya Neji hanya ingin bersama Hinata.
Neji hanya ingin kembali merasakan gemuruh dalam dadanya ketika ia bersama
Hinata. Gemuruh yang kadang jika dipikirkan akan sangat menyiksa.
Hinata,
sepolos apapun dirinya, ia tetap tahu pandangan Neji padanya berbeda saat Neji
memandang Hanabi, adik Hinata. Seperti ada aura hangat yang menguar dari kedua
mata laki-laki didepannya itu, seolah-olah ia hanya ingin menumpahkan segala
rasa hangat itu hanya pada Hinata. Kasih sayang yang hangat. Sejujurnya, entah
sejak kapan Hinata mulai senang jika memikirkan bahwa Neji cemburu pada Naruto
yang notabene menyukai Hinata.
Biasanya Hinata akan sangat senang jika memikirkan Naruto yang balik
menyukainya, hanya saja perasaan itu tiba-tiba menguap ketika Neji selalu
menghalangi kedekatan Hinata dan Naruto. Bukan karena Hinata bosan, hanya saja
ketika bersama Neji, Hinata merasa jauh lebih nyaman jika dibandingkan ketika
ia bersama Naruto.
Meskipun
ia tahu, ia tak boleh memiliki rasa yang sama seperti saat ia menyukai Naruto.
Ia tak boleh menyukai Neji, karena Neji adalah orang yang selama ini tinggal
bersamanya, karena Neji adalah sepupunya, karena Neji adalah kakaknya, kakak angkatnya.
.
.
.
Neji
merebahkan tubuhnya dikasur. Malam ini hujan cukup lebat membuat beberapa suara
gemuruh dilangit yang menghitam. Ia menatap langit-langit kamarnya yang
didominasi oleh warna putih. Rasa perih kembali menjalari tubuhnya kala ia
mengingat Hizashi, mendiang ayahnya. Ia belum mengerti ketika ayahnya hanya
bisa terbaring dengan mata tertutup diantara ruang-ruang yang didominasi dengan
warna putih, ruang yang menguarkan bau obat-obatan. Neji terlalu kecil untuk
mengerti arti tangisan orang-orang disekelilingnya termasuk ayah Hinata. Neji
kecil hanya berpikir bahwa ayahnya tertidur dan esok pasti terbangun.
Tapi
pemikiran itu luntur ketika keesokan harinya Neji mendapati ayahnya yang telah
dikremasi dan siap untuk kembali menjadi bentuk semulanya, menyatu dengan tanah
dan akan menjadi tanah. Sejak saat itu Neji baru menyadari bahwa ayahnya takkan
kembali, ayahnya telah tidur selamanya. Dan tiga hari setelah pemakaman itu,
Neji baru mengeluarkan air matanya. Ia telah kehilangan ayahnya, satu-satunya
orang yang berharga dalam hidupnya setelah kematian ibunya yang ia sendiri
tidak tahu rupanya. Ia kehilangan penyemangat hidupnya, ayahnya yang kerap kali
mengajarkan Neji untuk menjadi orang yang berguna bagi sesamanya, ayahnya yang
mengajarkan Neji untuk tidak mengeluh ketika ia tak dapat merasakan kasih
sayang dari seorang perempuan yang seharusnya ia panggil ibu. Neji kecil yang
dekat dengan ayah yang sangat menyayanginya, justru harus kembali merasakan
kekurangan kasih sayang dari seorang laki-laki yang ia panggil ayah. Ia
sendirian, memeluk lututnya erat-erat sambil tak hentinya mengeluarkan bulir
air mata. Ayahnya ikut bersama ibunya, meninggalkannya.
Sampai
suatu ketika Neji mendapati dirinya sendiri tengah terbaring dirumah seseorang
yang dikenalnya. Rumah paman Hiashi yang tak lain adalah saudara kembar
ayahnya. Dan sejak saat itu ia tinggal bersama keluarga paman Hiashi, bersama
Hinata dan juga Hanabi. Selang beberapa tahun, akhirnya paman Hiashi mengangkat
Neji sebagai anaknya.
Neji
mengeluarkan obat dari dalam laci disebelah tempat tidurnya. Obat yang akan
membuatnya terlelap. Neji bukan orang yang mudah tidur meski jam di dindingnya
tengah menunjukkan pukul satu dini hari. Neji memasukkan satu butir kedalam
mulutnya kemudian ia meraih gelas berisi air putih dimejanya untuk mendorong
obat tersebut masuk kedalam lambungnya. Dan setelah itu ia mendapati Hinata
yang tengah memandangnya di ambang pintu kamarnya.
“Hinata?”
“Obat
apa itu, Nii-san?” tanya Hinata masih
tetap dalam posisinya tanpa melangkah mendekati Neji. Sekilas Neji melihat
kekhawatiran dalam raut muka Hinata.
“Obat
tidur, aku tidak bisa tidur.” Jawab Neji. Hinata hanya diam, untuk sekali ini
saja, ia ingin memandangi wajah kakaknya tanpa rasa canggung, untuk sekali ini
saja, ia ingin menikmati pahatan Tuhan yang indah itu.
“…”
“Kenapa
kau belum tidur, Hinata?” Neji membuyarkan lamunan Hinata, gadis cantik itu
memalingkan wajahnya yang mulai merona.
“A-aku
juga tidak bisa tidur. H-hujan sangat lebat…, membuatku sulit untuk tidur.” Tutur
Hinata, Hinata bisa melihat Neji yang tersenyum sekilas ke arahnya.
“Kemarilah,
aku tahu kau takut petir.” Kata Neji, Hinata memberanikan diri melangkah menuju
laki-laki itu sampai akhirnya ia duduk disampingnya. Neji memandang wajah
Hinata sekilas kemudian tangannya mengelus rambut Hinata dengan lembut.
“A-aku
takut jika aku s-sendiri,” kata Hinata, Neji tak menghentikan aktivitasnya
mengelus surai panjang milik Hinata sambil mendengarkan penuturan Hinata.
“Ta-tapi, aku tidak takut jika aku…, be-bersama Nii-san.” Sambung Hinata. Neji sedikit tercengang mendengarnya,
tapi kemudian ia memasang senyum yang sangat jarang ditampilkannya itu.
“Kau
tak perlu takut ketika kau sendiri, nyatanya aku selalu bersamamu. Sebagai
kakak yang baik, aku akan melindungimu dan juga menyayangimu.” Ujar Neji
lembut, dengan penuh keberanian Neji menempelkan bibirnya di kening Hinata
seolah memberi bukti bahwa Neji menyayangi Hinata selayaknya seorang kakak,
meski hatinya berontak menyangkal gagasan itu. “Jangan berpikir kau hanya
sendiri di dunia ini, aku akan menemanimu, menghapus air matamu.”
“N-nii-san, i-itu kan kata-kataku,” kata
Hinata, wajahnya semakin bersemu merah ketika ia ingat pernah mengatakan
kalimat itu pada Neji dulu. Bagaimana ia bisa lupa kalau kejadian itu adalah
kejadian yang menurutnya bersejarah, kejadian yang mengubah Neji menjadi
laki-laki yang kuat dan tidak pernah lagi menampakkan air matanya.
“Aku
tak menyangka kau masih ingat, padahal sudah sebelas tahun yang lalu.” Tutur
Neji, Hinata mencoba memasang senyum termanisnya.
Keduanya
kini tengah menerawang menjelajahi masalalu dalam pikirannya masing-masing.
Saat dimana ketika Neji tak bisa menghentikan air matanya yang terus saja
membasahi pipinya. Dimalam yang hujan dibulan september, sebelas tahun yang
lalu, ketika Neji kecil yang masih berusia 6 tahun terduduk disudut kamar
dengan memeluk kedua lututnya. Neji kecil yang merindukan kasih sayang ayahnya,
Neji kecil yang merasa kesepian karena sendirian. Dan pada saat itulah Hinata
datang dan mengelus surai panjang milik Neji.
“N-nii-san, jangan berpikir kau hanya
sendiri di dunia ini, a-aku akan menemanimu, menghapus air matamu.” Tutur
Hinata kecil yang seolah memiliki pemikiran lebih dewasa dari Neji yang notabene usianya satu tahun diatas
Hinata. Jemari kecil Hinata mengusap pipi yang waktu itu masih menjadi sepupunya
dengan lembut sehingga membuat air mata Neji terhenti seketika. Neji kecil
menatap Hinata dengan mata yang sembab selayaknya orang yang habis menangis.
“Kau
janji?” ujar Neji sambil menyodorkan jari kelingkingnya pada Hinata.
Hinata
tersenyum dan menggangguk mantap. “Ya, aku janji akan selalu bersama Nii-san.” Ucap Hinata lalu menyambut
jari kelingkin Neji dengan jari kelingking Hinata. Selama sepersekian detik
jari itu saling bertautan sampai Hinata dengan konyolnya mencium pipi Neji.
Neji
tertawa kecil mengingat bagaimana wajahnya waktu Hinata menciumnya, pasti
sangat merah, jauh lebih merah dari tomat mungkin.
“K-kenapa
nii-san tertawa?”
“Tidak
apa-apa, aku hanya ingat ketika kau mencium pipiku.” Ujar Neji, Hinata langsung
blushing tingkat akut. Hinata ingat
bagian itu, setelah ia mencium Neji, Hinata justru malah melarikan diri dan
disambung dengan aksi kejar-kejaran Hinata dan Neji, khas anak kecil.
Sejak
saat itulah, kata-kata mendiang ayahnya langsung meresap pada Neji.
“Kau harus melindungi orang yang kau sayangi, Neji.
Meski dengan mempertaruhkan nyawamu sendiri.”
Kata-kata
itu kembali terngiang ditelinga laki-laki bersurai panjang itu. Sejak kejadian
sebelas tahun yang lalu, ia meyakini bahwa dirinya menyayangi Hinata, dan
begitupun sebaliknya. Hingga sampai saat ini. Dan Neji akan terus melindungi
Hinata, akan terus melindungi perempuan yang disayanginya, meski dengan
mengorbankan nyawanya sendiri.
“Sekarang
tidurlah,” kata Neji membuyarkan lamunan Hinata. Neji menepuk-nepukkan pahanya
isyarat agar Hinata tidur dengan kepala bersandarkan pada paha Neji. Hinata tak
banyak bicara dan gadis cantik itu langsung menuruti perintah kakak sepupunya.
Gadis bersurai indigo itu membaringkan tubuhnya dan kepalanya bersandar pada
paha Neji. Hinata memejamkan matanya dan merasakan tangan besar yang mengelus
rambutnya dengan lembut.
o-o-o-o-o
Hinata
menyembunyikan tubuhnya dibalik tembok dikoridor sekolah, sesekali matanya
mengintip ke arah seseorang yang semalam tidur bersamanya. Meski pagi-paginya
Hinata mendapati dirinya sendiri tengah tertidur dikamarnya, tapi Hinata yakin
itu bukanlah mimpi. Pasti Neji memindahkan Hinata ke kamarnya. Pasti.
Sosok
laki-laki jangkung itu tengah mengobrol dengan temannya yang beralis tebal.
Sesekali temannya itu menepuk-nepuk bahu Neji dan tertawa. Hinata tak bisa
menangkap pembicaraan mereka, tapi Hinata tersenyum mendapati raut wajah Neji
yang terlihat bersinar dimatanya, seolah ada kekuatan yang membuat laki-laki
itu bersemangat menjalani harinya. Dan Hinata sangat senang memikirkan hal itu.
Pluk!
Sebuah
tangan besar mendarat dipuncak kepala Hinata dan mengusapnya perlahan. Hinata
menoleh ke arah orang yang berani menyentuh kepalanya.
“Na-naruto-kun?” Hinata merasa kaget mendapati
Naruto dibelakangnya, Naruto tidak menatap Hinata, mata blue sapphire yang indah itu justru memandang ke arah yang barusan
tengah dipandang Hinata, ke arah Neji dan Lee.
“Kau
memperhatikan si alis tebal itu?” tanya Naruto.
“Bukan!”
tukas Hinata cepat membuat mata biru Naruto beralih ke arah mata Hinata. Naruto
tersenyum penuh arti. Pemandangan yang jarang diperlihatkan Hinata ketika
tiba-tiba kegugupannya menghilang.
“Aneh
sekali,” ujar Naruto kemudian ia mengusap-ngusap dagunya. “Aku tak menyangka
kakakmu akan ikut dalam kelompok panjat tebing demi menggantikan dirimu.”
Sambung Naruto keluar dari jalur pembicaraan. Hinata mengernyitkan alisnya.
“Me-menggantikanku?”
Naruto
mengangguk. “Ya, Tenten sendiri yang bilang padaku. Entahlah, kurasa aku mulai
sependapat dengan Tenten kalau Neji itu terlalu overprotektif pada adiknya sendiri. Kau tahu Hinata, Neji seolah
mengambil lahan kebebasanmu. Meski Tenten bilang bahwa alasan Neji
menggantikanmu semata-mata karena Neji ingin melindungimu, ia berpendapat bahwa
panjat tebing adalah olahraga yang berbahaya untukmu.”
“Ta-tapi…,
aku sama sekali tidak keberatan.” Tutur Hinata, Naruto memasang telinganya
mencoba mendengarkan penjelasan yang mungkin akan keluar lagi dari mulut
Hinata. Nyatanya setelah berkata seperti itu, Hinata tak berniat melanjutkan
kalimatnya.
“Kenapa
kau tidak keberatan?” Naruto mulai penasaran karena Hinata benar-benar tak
berniat melanjutkan kalimatnya. Hinata menundukkan kepalanya dan menggeleng
pelan.
“A-aku
tidak tahu,” balas Hinata kemudian ia berlari meninggalkan Naruto yang memasang
wajah bingung. Naruto menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan matanya tak
beralih dari Hinata yang semakin menjauh darinya.
Tanpa
Naruto sadari ada sepasang mata yang sendari tadi memperhatikannya. Sepasang
mata milik Hyuuga Neji. Pandangan Neji beralih pada Lee ketika Lee menepuk
bahunya karena kesal kata-katanya tidak didengar oleh Neji.
“Kau
dengar tidak apa yang barusan kukatakan?”
“Tidak,”
jawab Neji lempeng membuat Lee merasa terjungkal bermil-mil.
“Astagaaa,
dengar aku baik-baik Hyuuga Neji,” kata Lee mencoba mengulang apa yang barusan
dikatakannya. Neji terdiam sambil mendengar kalimat-kalimat yang dianggapnya
konyol yang keluar dari mulut Lee. Laki-laki beralis tebal itu menghela nafas
panjang dan menghembuskannya perlahan. “Aku rasa Tenten menyukaimu.”
Konyol.
Itulah
yang dipikirkan Neji saat mendengar kalimat terakhir Lee. Mana mungkin Tenten
yang notabene tomboy dan sering
membentaknya dengan kasar justru menyukainya? Bukankah itu konyol? Lagipula,
bukankah selama ini Lee menyukai Tenten? Kenapa tiba-tiba Lee berkata bahwa
Tenten menyukai Neji?
Laki-laki
jangkung itu mendesah pelan, kemudian ia melangkahkan kakinya meninggalkan Lee.
Lee mencoba mengejar Neji dengan menyamai langkahnya hingga kemudian Lee
berceletuk tentang apa yang selama ini tidak terpikirkan oleh Neji.
“Aku
tahu Tenten selalu menguntitmu, bagaimana Tenten bisa tahu ketika kau tidak
menolong Hanabi yang tengah dibully
oleh teman-teman SMP nya? Jawabannya adalah karena Tenten pasti menguntitmu!”
Neji
langsung terdiam. Tenten menguntit dirinya? Meski kalau dipikir-pikir itu tidak
mungkin, tapi bagaimana bisa Tenten tahu soal itu? Bisa saja gadis itu tak
sengaja melihat Neji kan? Kalau Tenten melihat Neji waktu itu, pasti Tenten
tahu alasannya tidak menolong Hanabi. Pasti Tenten tahu kalau Neji sedang…
Plak!
Untuk
kesekian kalinya Lee menepuk bahu Neji, membuyarkan lamunan yang tengah Neji
pikirkan. Si alis tebal ini, apa tidak bisa tidak menggunakan tangannya untuk
mendapat perhatian? Neji mendengus dan (terpaksa) kembali mendengar Lee
berceloteh tantang hal-hal yang menurutnya aneh.
o-o-o-o-o
“Katakan
kau tidak menyukaiku.” Kata Neji datar membuat Tenten melongo.
“Apa
maksudmu? Jadi, kau menyeretku ke tempat sepi ini hanya untuk mengatakan bahwa
aku tidak menyukaimu?” kata Tenten dengan wajah yang terheran-heran. Bagaimana
tidak? Seorang Hyuuga Neji menyeretnya yang tengah duduk santai dikelasnya ke
taman belakang sekolah!
“Ya,
dan katakan kau tidak menguntitku.” Balas Neji dengan nada yang masih datar.
“Tentu
saja aku tidak menguntitmu!” Tenten mulai terpancing emosinya dan melangkah
meninggalkan Neji, tapi Neji menahan pergelangan tangan Tenten. “Ne-Neji,
lepaskan!”
“Katakan
kau tidak tahu apa-apa tentang masalahku!” kali ini nada Neji lebih meninggi
membuat Tenten terperanjat kaget. Tenten tetap berusaha melepas genggaman Neji
dipergelangan tangannya, tapi sekuat apapun usahanya, tenaga Neji lebih besar
darinya.
“Tapi
aku terlanjur tahu.” Lirih Tenten membuat Neji terperangah. Bukan karena nada
bicara Tenten yang berubah melembut, tapi karena kalimat yang baru saja Tenten
katakan. Tenten sudah tahu masalah Neji. Genggaman Neji melonggar membuat
Tenten dengan mudah melepas tangannya dari genggaman Neji.
“Seberapa
banyak kau tahu masalahku?”
“Aku
tahu semuanya. Semuanya! Dan orang yang diam-diam bersamamu itu adalah aku! Aku
melihatmu dengan jelas!” cetus Tenten. Tenten mengusap kedua pelupuk matanya
yang mulai berair, membuat Neji semakin terperangah dan bingung. “Aku bahkan
tak menyangka akan menangis karenamu. Aku bingung dan…, entahlah, aku mulai merasa
bertanggung jawab atas apa yang menimpa dirimu. Tapi, aku sama sekali tidak
menyesal saat itu.”
Tanpa
diduga, Neji memeluk Tenten, membuat Tenten merasakan sesak dalam dadanya.
Bukan karena pelukan laki-laki itu, tapi karena perasaannya terhadap Neji yang
selama ini ia sembunyikan.
“Berjanjilah,
kau takkan membocorkan masalahku pada siapapun, apalagi Hinata.” Ujar Neji
kemudian melepas pelukannya. Tenten berpikir sejenak sebelum akhirnya ia
mengangguk pasrah. “Aku tak ingin Hinata terluka mendengarnya karena aku – ”
“Menyukai
Hinata.” Potong Tenten. Neji terdiam, bagaimana bisa gadis didepannya itu tahu?
“Ya,
aku menyukainya bukan sebagai adik, tapi sebagai perempuan. Aku menyukai
Hinata, bahkan mungkin lebih dari kata suka.” Tutur Neji membuat beberapa gores
luka dihati Tenten. Gadis tomboy itu mencoba bersikap biasa dengan mengabaikan
rasa sakitnya.
“Kau
tenang saja, aku takkan membocorkannya.”
.
.
.
Suatu
sore…
Tenten
tengah memasang tali pengaman ditubuhnya, sesekali ia melihat sekeliling
lapangan outdoor tempatnya latihan
panjat tebing tersebut. Bukan sebuah tebing sungguhan, tebing yang menjulang
cukup tinggi itu sengaja diciptakan manusia untuk mereka yang memiliki
kegemaran memanjat tebing.
“Mana
Neji? Tenten, bukankah kau bilang ia ikut panjat tebing?” tanya Kiba, salah
satu anggota panjat tebing. Tenten mengangkat bahu isyarat kalau ia tidak tahu,
kemudian gadis bercepol dua itupun mulai memanjat. Kiba mendengus sambil
mengusap-ngusap Akamaru, anjing besar yang selalu dibawanya.
“Hoi!”
seru Naruto dari kejauhan sambil menenteng tiga botol air mineral, satu di
tangan kirinya, satu lagi di tangan kanannya, dan terakhir diketiaknya. Setelah
berhadapan dengan Kiba, laki-laki berambut kuning itu memberikan satu botol air
mineralnya pada Kiba. Kiba menerimanya karena yang diberikan Naruto bukan air
mineral yang disisipkan diketiaknya.
Latihan
berlangsung selama hampir dua jam. Yang hadir saat itu hanya tiga orang, karena
awalnya kelompok panjat tebingpun memang beranggotakan tiga orang. Sangat
jarang mendapatkan orang yang gemar memanjat tebing, entahlah, mungkin mereka
pikir panjat tebing bukan olahraga yang menarik. Tapi menurut Tenten, panjat
tebing adalah olahraga yang lumayan memacu adrenalin. Dia berpendapat ‘lumayan’
karena dia memang sudah terbiasa.
Sampai
latihanpun selesai, Hyuuga Neji tak menampakkan batang hidungnya.
o-o-o-o-o
Laki-laki
bersurai panjang itu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi dapur. Neji memandang
Hinata yang tengah memasak sesuatu untuk makan malam. Tangan kanan Neji
memegang dadanya, rasa sakit itu kembali menyerangnya. Rasa sakit yang sering
timbul jika ia sedang bersama Hinata. Detak jantung Neji yang menjadi tidak
beraturan membuat kepalanya terasa pusing. Tapi, bagaimanapun rasa sakitnya, ia
tetap ingin dekat dengan Hinata.
Neji
menatap arloji ditangan kirinya, sudah pukul 18:30 rupanya. Berarti latihan
panjat tebing itu sudah berakhir setengah jam yang lalu. Neji bukannya tidak ingat,
ia sengaja tidak datang. Laki-laki itu sama sekali tak berminat ikut olahraga
panjat tebing. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa Hinata yang notabene pemalu dan pendiam itu hendak
menerima tawaran Naruto? Apa karena ada Naruto? Entahlah, Neji tak mau
memikirkan itu.
“Nii-san, k-kenapa? W-wajahmu sangat
pucat.” Ujar Hinata membuyarkan lamunan Neji.
“Tidak
apa-apa, aku hanya lelah.”
“K-kalau
begitu…, setelah makan malam, s-sebaiknya nii-san
tidur.”
“Hn,”
.
.
.
Laki-laki
bermata sewarna mutiara itu mengerjap-ngerjapkan matanya, lampu yang tepat di
atas tempatnya terbaring membuat matanya silau. Setelah berhasil menemukan
kembali pengelihatannya, ia baru sadar bahwa ditangan kirinya terdapat jarum
disertai selang infus yang terhubung pada cairan dalam plastik yang tergantung,
dan ia juga baru sadar kalau ini bukanlah kamarnya. Kamar ini didominasi warna
putih, tapi tentu saja jika ini kamarnya Neji akan mengenalinya, dan juga bau
obat-obatan. Tak salah lagi, ini adalah Rumah Sakit.
“Kau
sudah sadar rupanya, Neji.”
Merasa
ada yang berbicara padanya, Neji menoleh ke arah sumber suara, ke arah pintu. “Ojisan,” gumamnya.
“Kau
cukup rapi menyembunyikan semua ini dariku, tapi sayang sekali, aku sudah
tahu.” Kata Hiashi sambil melangkah mendekati ranjang tempat Neji terbaring.
Laki-laki yang semakin hari semakin terlihat kurus itu hanya menelan ludahnya,
ia tak menyangka Hiashi akan mengetahuinya, mengetahui masalahnya, masalah
sakit yang selama ini di deritanya.
“Bagaimana
–”
“Kau
tak sadarkan diri setelah selesai makan malam. Kau tidur cukup panjang.” Hiashi
menyela, Neji membelalakkan matanya. Berarti Hinata sudah tahu semuanya,
sia-sia selama ini ia menyembunyikannya. “Kenapa kau menyembunyikan ini dariku,
Neji? Walau bagaimanapun, kau sudah seperti anak kandungku, sudah menjadi kakak
bagi Hinata dan Hanabi.”
“I-itu,
aku…, aku tak ingin dianggap lemah.”
Mendengar
jawaban anak dari mendiang saudara kembarnya, Hiashi membulatkan matanya.
Kaget. Hanya itukah?
“Neji,
aku tak pernah menganggapmu lemah, bahkan setelah aku tahu penyakit apa yang
kau derita. Aku tahu kau kuat, sama seperti ayahmu.”
Laki-laki
bersurai panjang itu memalingkan wajahnya dari orang yang tengah berdiri di
tepi ranjangnya. Ia tak ingin Hiashi tahu kalau dirinya tengah menahan untuk
tidak menangis saat itu juga. Ayahnya, sekuat apapun, ia tetap meninggalkannya
karena penyakit yang di deritanya. Dan kini, penyakit itu juga menyerangnya.
Penyakit sialan itu, menyerang Neji, membuat laki-laki itu seolah tak berguna
lagi.
“Kau
tidak mengerti,” ujar Neji sedikit bergetar, Hiashi bisa mendengar kalimat Neji
yang bergetar, entah kenapa membuat dadanya terasa sakit. Bagaimanapun Neji, ia
tetaplah seseorang yang sudah dianggap anaknya sendiri, Hiashi yang merawatnya
sampai ia dewasa. Hiashi tak berani membayangkan hal buruk yang suatu saat
mungkin saja terjadi pada Neji. “Selama ini aku selalu membuatmu susah, tak ada
yang bisa kulakukan selain menjadi seseorang yang kuat dihadapan Hanabi dan
juga…, Hinata.” Neji tercekat, air mulai menggenangi kedua matanya. “Kalau
mereka tahu, aku sakit, aku…, aku yang seharusnya melindungi mereka justru akan
dilindungi oleh mereka. Dan itu akan semakin membuatmu susah. Aku hanya tidak
ingin dianggap lemah.”
“Kau
salah, Hinata dan Hanabi takkan pernah menganggapmu lemah, karena mereka tahu
kau cukup kuat. Buktinya kau selalu melindungi me –”
“Aku
tidak kuat,” Neji menyela, Hiashi menghembuskan nafasnya yang terasa berat. Ia
mencoba mendengar kambali penuturan Neji. “Aku sama sekali tidak kuat. Aku…,
aku yang selalu dihantui rasa takut…, bukan karena penyakitku, tapi karena…,
karena aku takut Hinata terluka ketika mengetahuinya!”
Hiashi
membelalakkan kedua matanya. Astaga, apakah ia tak salah dengar? Jangan-jangan
Neji… “Kau menyukai Hinata?”
“Lebih
dari itu,” jawab Neji parau. Lagi-lagi Hiashi dikejutkan oleh penuturan
laki-laki bersurai panjang yang terbaring dihadapannya.
“Neji
kau tidak boleh –”
“Aku
tahu,” Neji kembali menyela. “Aku tidak boleh menyimpan rasa terhadap adikku
sendiri, sekalipun ia bukan adik kandungku. Aku sudah mencoba menghapusnya,
tapi tak pernah berhasil. Jadi, aku membiarkan rasa itu hidup sesukanya, karena
aku tahu pada akhirnya rasa itu akan ikut mati ketika aku mati nanti.” Tambah
Neji yang semakin membuat dada Hiashi terasa nyeri.
o-o-o-o-o
“Maaf
Hinata,”
Gadis
cantik bersurai panjang itu hanya menangis sesenggukan disamping gadis berambut
coklat disampingnya.
“Seharusnya,
aku memberitahumu perihal penyakit Neji, tapi dia melarangku, dan aku tak bisa
berbuat apapun selain menuruti kata-katanya.” Ujar Tenten sambil
mengelus-ngelus punggung Hinata.
“B-bagaimana
kau…, kau bisa tahu kalau –”
“Aku
melihatnya meringis kesakitan sambil memegangi dadanya dengan kedua tangannya.”
Tenten menyela, gadis tomboy itu menengadah menatap langit sambil memutar ulang
kejadian waktu itu dalam kepalanya. “Lucu sekali, waktu itu aku berniat
mengikutinya karena penasaran dengan Neji yang selalu bersikap acuh padaku. Dan
aku melihat Hanabi yang tengah dipojokkan oleh teman-temannya, sekilas aku melihat
salah satu temannya mengguyur Hanabi dengan air dalam botol. Karena jarak yang
cukup jauh, Hanabi tak menyadari kehadiran Neji dan aku yang tengah
bersembunyi. Dan aku tak menyangka Neji hanya diam saja melihat Hanabi yang di bully. Baru saja aku hendak keluar dari
persembunyian, aku melihat Neji jatuh tersungkur sambil memegangi dadanya.
Akhirnya
aku benar-benar keluar dari persembunyianku dan menghampiri Neji yang
benar-benar terlihat sakit. Wajahnya pucat dan tak lama setelah itu, Neji tak
sadarkan diri.” Tenten menghela nafas dan menghembuskannya, lalu ia memandang
Hinata yang tengah memandangnya dengan tatapan tidak percaya. “Aku membawa Neji
kerumahku, ibuku seorang dokter, jadi dia tahu apa yang Neji derita. Kakakmu
itu, dia sakit jantung.”
“N-nii-san…,” gumam Hinata sambil tak
hentinya mengeluarkan air mata. Laki-laki yang selama ini terlihat kuat
didepannya ternyata sangat rapuh.
“Dan
ketika aku pergi keluar untuk mengambil obat, Neji pergi. Saat aku kembali,
Neji sudah pergi, aku menemukan jendela kamar yang terbuka.” Lanjut Tenten,
matanya menerawang. Bagaimana dirinya yang selama ini menganggap remeh
laki-laki, menganggap semua laki-laki lemah, akhirnya jatuh cinta pada
laki-laki yang ternyata jauh lebih lemah, lebih rapuh. Dan disaat Tenten pertama
kalinya merasakan jatuh cinta, ia juga harus merasakan sakit hati, merasakan
seperti ada luka dalam dadanya ketika akhirnya ia tahu bahwa Neji menyimpan
rasa pada adik Neji sendiri, pada Hinata, pada gadis yang kini menangisi Neji
disampingnya. Tenten buru-buru menghapus air mata yang seenaknya mengalir
dipipi putihnya, ia tak ingin Hinata tahu bahwa dirinya menangis.
Melihat
kondisi Hinata yang sendari tadi hanya menangis membuat Tenten menundukkan
kepalanya. Ia tak ingin ketika melihat bulir kristal itu mengalir di pipi
Hinata membuatnya melakukan hal yang sama. Menangis seperti Hinata.
“Kau
tahu, Hinata? Walau bagaimanapun, Neji adalah orang yang kuat. Kau tak ingin
kakakmu itu semakin sedih melihatmu menangisinya, bukan? Hinata…, tersenyumlah
dihadapan Neji, jadikan dirimu kekuatan untuk Neji. Kaulah satu-satunya orang
yang tak ingin dibuat Neji terluka, ia benar-benar…,” Tenten tercekat, “Neji
benar-benar menyayangimu.” Kata Tenten akhirnya, entah kenapa Tenten tak kuasa
jika harus mengatakan bahwa Neji lebih dari menyayangi Hinata. Hatinya masih
menolak untuk mengakui bahwa Neji mencintai Hinata.
o-o-o-o-o
“Ayah,”
Hiashi
yang tengah menunduk didepan ruang tempat Neji dirawat menoleh ke arah suara
yang sepertinya sedang memanggilnya. Benar, Hinata tengah melangkah menuju
tempat Hiashi duduk dan menunduk.
“Dia
sedang tidur,” kata Hiashi seolah dapat membaca apa yang hendak Hinata tanya.
“Pagi tadi, Neji sudah siuman. Ia menanyakanmu, Hinata.” Tambah Hiashi, Hinata
memandang ke arah ayahnya. Seperti ada beban dalam raut wajah ayahnya. Hinata
berpikir, mungkin dikarenakan Neji yang sakit. Hinata tidak tahu, kalau yang
menjadi beban ayahnya selain mengetahui penyakit Neji, adalah mengetahui bahwa
laki-laki bersurai panjang itu menyimpan rasa terhadap anak sulungnya, terhadap
Hinata.
Hinata,
setelah mendengar penuturan dari Tenten, ia berusaha untuk terlihat kuat
dihadapan Neji, gadis yang memiliki jenis mata sewarna mutiara yang sama dengan
Neji itu bertekad untuk menjadi sumber kekuatan Neji.
“Kau
baru saja pulang sekolah, lebih baik kau beristirahat dirumah. Kembalilah pukul
tujuh malam bersama adikmu.” Ujar Hiashi. Hinata tak bisa menolak, ia menuruti
perintah ayahnya.
.
.
.
“Onee-chan, ternyata Neji-nii masih terlelap.” Kata Hanabi ketika
melihat Neji terbaring dengan mata yang terpejam.
“I-iya,
sebaiknya kita menunggu diluar.” Usul Hinata, adik perempuannya itu menuruti
kata-kata Hinata. Kakak sulung Hanabi itu menutup kembali pintu kamar dimana
Neji dirawat. Ia melihat ayahnya sedang yang duduk entah memandang apa.
Hinata
ikut duduk disamping ayahnya diikuti Hanabi yang duduk disampingnya.
“Ayah
pasti lelah, sebaiknya ayah pulang saja. Biar aku yang menjaga Nii-san, lagipula besok sekolahku
libur.” Tutur Hinata, Hiashi menoleh ke arah Hinata. “Tidak apa-apa ayah,”
tambah Hinata seolah mengetahui apa yang dipikirkan ayahnya.
“Iya
ayah, tidak apa-apa. Biar aku dan onee-chan
saja yang menjaga Neji-nii.” Hanabi
menyetujui saran kakaknya.
“Tidak
boleh, besok pagi kau ada jadwal les bahasa Inggris, sebaiknya kau ikut pulang
dengan ayah.” kata Hiashi pada Hanabi. Hanabi mengerucutkan bibirnya seperti
anak kecil. Tapi, ia tak membantah mengingat ayahnya adalah sosok yang tidak
mau dibantah.
Hiashi
berdiri dari duduknya diikuti oleh Hanabi.
“Jaga
dirimu baik-baik, onee-chan!” seru
Hanabi sambil ikut melangkah meninggalkan Hinata bersama ayahnya. “Baru juga
sampai sudah disuruh pulang lagi.” Gerutu Hanabi dikejauhan, tapi telinga
Hinata masih bisa mendengarnya. Gadis cantik bersurai panjang itu tersenyum
melihat tingkah adiknya.
Hinata
memutuskan untuk menjaga Neji didalam ruangan, ia duduk dikursi disamping
ranjang Neji. Hinata ingin sekali menangis melihat keadaan Neji yang terbaring
tak berdaya dihadapannya. Tapi, ia tak boleh memperlihatkan air matanya didepan
laki-laki itu. Tak lama setelah itu, akhirnya Hinata memejamkan kedua matanya.
Ia tertidur dengan kepala bersandar pada ranjang yang ditiduri oleh laki-laki
bersurai panjang itu.
o-o-o-o-o
Neji
mengerjap-ngerjapkan matanya, perlahan kedua matanya terbuka dan melihat dengan
jelas sosok cantik yang tengah lelap disampingnya. Dengan susah payah, Neji
mengarahkan tangannya yang tidak di infus ke arah surai panjang milik Hinata.
Kemudian, ia mengusap-ngusap kepala Hinata dengan lembut.
Hinata
yang belum benar-benar tertidur membuka matanya ketika merasakan ada tangan
besar yang mengelus kepalanya. Dan kedua orang pemilik mata sewarna mutiara itu
berpandangan sejenak. Hinata bisa melihat sudut bibir Neji yang sedikit
terangkat. Laki-laki itu tersenyum ke arah gadis yang masih menelungkupkan kedua
tangannya dengan kepala bersandar diantara telungkupan tangannya tersebut, Neji
tersenyum seolah tak pernah terjadi apa-apa, seolah ia tak mengalami sakit
apapun selama ini.
Gadis
cantik itu bersusah payah untuk tidak menangis dihadapan Neji yang tengah
tersenyum hangat padanya. Hinata tak mau membuat laki-laki yang tengah
menatapnya itu memudarkan senyumannya ketika melihat air mata dipipi Hinata.
Dimata Hinata, Neji sangat terlihat kuat, ia tersenyum padahal dirinya sendiri
tengah sakit. Berbeda dengan Hinata, ia justru tak sanggup menyunggingkan
sedikitpun senyumnya pada Neji. Ia sangat takut ketika ia tersenyum, air mata
malah terjatuh. Jadi, ia membiarkan dirinya tetap diam sambil tetap menatap
kedua mata Neji.
Laki-laki
yang terbaring itu tak menghentikan aktivitasnya mengusap rambut Hinata. Seolah
jika ia menghentikannya, ia akan kehilangan kesempatan itu, kesempatan mengusap
rambut gadis yang selama ini mengisi hatinya.
“Tidurlah,”
kata Neji memecah keheningan.
“A-aku
masih ingin seperti ini,” ujar Hinata, gadis cantik itu tersenyum. Dimata Neji,
senyuman itu bukan seperti senyuman bahagia, melainkan senyuman kepedihan yang
mau tak mau membuat dadanya terasa sakit.
“Kau
merindukanku?”
“Ya,”
“Pandangi
aku sesukamu, selagi aku masih dihadapanmu.”
Mendengar
itu membuat hati Hinata seperti teriris-iris. Apa yang akan kau lakukan jika
orang yang kau sayangi mengatakan itu seolah ia akan meninggalkanmu besok?
Menangis. Akhirnya Hinata tak sanggup lagi untuk tidak menumpahkan air mata
yang sendari tadi ditahannya. Melihat Hinata menangis membuat Neji terbangun
dari posisi tidurnya, laki-laki bersurai panjang itu mengelus pipi Hinata,
mencoba menghapus air mata gadis itu. Entah kenapa melihat Hinata tak henti
mengeluarkan bulir kristal dari mata indahnya itu membuat dada Neji semakin
terasa sesak, terasa semakin sakit.
Neji
tetap mencoba tersenyum. “Jika aku memberimu bunga dan pedang, mana yang
pertama kau ambil?” tanya Neji, dari caranya berbicara, Hinata tahu Neji juga
bersusah payah untuk tidak menangis didepannya.
“B-bunga,”
“Aku
mencintaimu,” tutur Neji membuat Hinata membelalakkan kedua matanya. Ia tak
menyangka kalau Neji akan mengatakan itu jika ia berkata lebih dulu mengambil
bunga daripada pedang. Lalu, apa maksud dari pedang?
“Ne-neji,”
mendengar Hinata memanggil namanya membuat Neji merasa sejuk, biasanya gadis
itu memanggilnya ‘nii-san’.
“Tapi,
kau adikku. Aku adalah orang yang ayahmu anggap sebagai kakak laki-lakimu.”
Lanjut Neji, air mata Hinata semakin deras. “Dan aku adalah orang yang mungkin
takkan bertahan lama disini. Dulu…, rasanya sangat tidak sabar untuk segera
menemui ayah dan ibuku. Pasti menyenangkan.”
“H-hentikan!”
Hinata sudah tidak tahan dengan penuturan Neji yang menyakitkan. Neji
menggeleng kepalanya sekilas.
“Aku
tidak bisa menghentikannya. Aku tetap ingin bicara selagi aku bisa.” Tukas
Neji. Hinata? Ia masih menangis. “Tuhan bisa menghentikanku kapan saja, tapi
aku mencintaimu, Hinata. Rasaku itu takkan pernah bisa dihentikan…, seperti
kata mendiang ayahku, aku harus melindungi orang yang kusayangi, meski dengan mempertaruhkan
nyawaku sendiri. Dan aku akan melindungimu selagi aku masih disini, selagi aku belum
lupa untuk bernafas.”
“Kau
akan terus bernafas, kau takkan berhenti!” Hinata mencoba menepis bayangan
menakutkan yang bisa saja terjadi pada laki-laki dihadapannya.
“Sekalipun
detak jantungku tak berhenti, semuanya takkan berguna. Karena kau tercipta
sebagai sepupuku, sebagai adikku…, karena kau bukan untukku.” Neji bisa
merasakan kalau dadanya semakin sakit setelah mengatakan itu. Ia yakin, hal
yang sama juga dialami Hinata. Gadis cantik itu juga pasti terluka.
Laki-laki
bersurai panjang itu terus mengusap pipi Hinata yang masih belum menghentikan
air matanya. Bagaimana cara supaya gadis berambut indigo itu menghentikan air
matanya? Jika Neji tahu, ia akan melakukannya. Ia akan melakukan apapun untuk
membuat Hinata menghentikan air matanya.
“Hinata,
dengarkan aku…, sekalipun kelak aku tak lagi disisimu, aku tetap mencintaimu. Jangan
pernah perlihatkan lagi air matamu setelah ini. Kau akan tetap hidup dan
bahagia, karena itulah alasanku bertahan selama ini. Aku bertahan karena aku
masih ingin melihatmu bahagia…, karena kekuatanku, kebahagiaanku, adalah dengan
melihatmu bahagia.” Tutur Neji seolah itu adalah kata-kata biasa, seolah tak
ada beban dalam tiap kalimatnya.
Hinata
menutup mulutnya dengan kedua tangannya, tak ingin jika isakannya terdengar
semakin keras. Tapi, lengan Neji menyingkirkan kedua tangan Hinata yang menutup
mulutnya. Dan sedetik kemudian laki-laki bersurai panjang itu mendekatkan
wajahnya ke wajah Hinata, mempersempit jarak diantara dirinya dan Hinata.
Sampai celah diantara kedua wajah itu benar-benar tak ada ketika bibir Neji
menempel lembut di bibir Hinata. Air mata Hinata langsung terhenti kala
merasakan bibir Neji yang terasa dingin menempel di bibirnya.
Tak
ada yang berani menghentikan itu, seolah mereka takut jika melepasnya mereka
takkan pernah bisa merasakannya lagi. Neji tak peduli meski apa yang ia lakukan
terasa salah. Ia tetap berusaha menyembunyikan rasa sakit di dadanya, di
jantungnya. Ia akan tetap mencintai Hinata, sekalipun semua orang menganggap
tindakannya salah. Sekalipun Hinata bukan untuknya kelak, tapi ia akan tetap
mempertahankan perasaannya pada Hinata, karena dirinya hanya untuk Hinata.
Selama sisa detak jantungnya, ia akan menyerahkan seluruh jiwa dan raganya
untuk Hinata, bukan untuk orang lain. Hanya untuk gadis yang ia sayangi dan ia
cintai yang ia lindungi dengan sisa nyawanya. Hanya untuk Hinata.
.
.
.
Selang
beberapa hari, kondisi Neji semakin memburuk. Detak jantungnya semakin melemah.
Dan Hyuuga Neji berada dalam daftar teratas pasien yang membutuhkan donor
jantung.
Tak
ada yang bisa Hiashi lakukan, selain membuat hatinya melapangkan apa yang akan
terjadi selanjutnya pada Neji. Setelah malam saat Hinata menjaga Neji, akhir-akhir
ini Hinata lebih sering meluangkan waktunya untuk bersama Neji. Hiashi merasa,
anak sulungnya itu terlihat lebih kuat daripada dirinya.
“Ayah…,
ada yang ingin kukatakan.”
“Katakan
saja, Hinata.”
Dan
Hiashi tak menyangka bahwa Hinata mengatakan hal yang sama sekali tak ingin di
dengarnya. Membuat ayah dari dua anak itu semakin merasa berat pada beban yang
dipikulnya.
o-o-o-o-o
“Hinata,”
Gadis
bersurai panjang itu menoleh ke arah seseorang yang memanggil namanya.
Laki-laki berambut kuning dengan warna mata blue
sapphire itu melangkah mendekat ke arahnya.
“Na-naruto-kun?”
Hinata
memandang mata biru itu yang terlihat sayu. Dari cara Naruto memandangnya,
Hinata tahu bahwa laki-laki itu sedang sedih. Entah apa yang membuatnya sedih,
yang pasti Hinata tak mau Naruto sudah tahu kalau –
“Aku ingin bicara padamu,” ujar Naruto.
“Bicaralah,”
“Hinata,
aku…, aku menyukaimu, lebih dari itu, aku menyayangimu.” Tutur Naruto membuat
Hinata terdiam tak mengerti. Apa maksudnya Naruto mengatakan itu disaat Neji
tengah berada antara hidup dan mati?
“…”
“Aku
ingin kau bersamaku.”
Kalau
dulu, mungkin Hinata akan sangat senang menerima tawaran Naruto untuk bersama
laki-laki itu. Bagaimana Hinata yang sangat mengagumi sosok seperti Naruto,
penyemangat hidupnya. Tapi, sepertinya semua itu sudah tak lagi berlaku
sekarang. Mengingat ada seseorang yang sudah menggantikan posisi Naruto dihati Hinata.
Seseorang yang kini sangat membutuhkan semangat dari Hinata, membutuhkan
kekuatan dari gadis itu.
“Na-naruto-kun, a-aku tidak bisa.”
“Kau
mencintai Neji?”
Hinata
tersentak ketika Naruto mengatakan itu. Bagaimana ia bisa tahu?
“…”
“Jadi,
benar kau mencintai Neji? Kakakmu sendiri?”
“Y-ya,”
jawab Hinata membuat Naruto membelalakkan kedua matanya. Berarti dugaan Tenten
benar, Hinata memiliki rasa pada Neji.
“Hinata,
mungkin saja perasaanmu itu hanya sementara. Mungkin kau merasa mencintai Neji
karena kakakmu itu kini tengah berjuang melawan rasa sakitnya. Mungkin saja,
kau tidak benar-benar mencintai Neji, mungkin kau hanya merasa iba.”
“Iie,” tukas Hinata cepat. “A-aku yakin
aku mencintainya, aku…, aku sebenarnya sudah lama memiliki perasaan khusus
padanya. Hanya saja, selama ini aku berusaha menutupinya. Aku…, aku tak ingin
membuat Neji terluka mendengar pengakuan dariku.”
“…”
“T-tapi,
ternyata Neji juga memiliki perasaan yang sama denganku. Aku mencintainya, dan
dia juga mencintaiku. Dia…, dia akan melindungiku meski dengan mempertaruhkan
nyawanya sendiri, dan aku…, aku juga akan melakukan hal yang sama.” Hinata
tercekat, ia menelan ludahnya yang terasa pahit kala mengingat kenyataan yang
pahit. “Kita, aku dan Neji saling mencintai, meski itu berarti aku…, aku harus
berhadapan dengan ayahku sendiri.”
“Hinata…,”
“Kumohon
Naruto-kun, jangan mencoba
menghentikanku. Jangan pernah.”
Kini
Naruto yakin, bahwa Hinata memang benar-benar mencintai Neji. Ia takkan lagi
mencoba menghentikan Hinata, karena ia yakin, Hinata akan bahagia dengan apa
yang kini menjadi pilihannya, Hinata akan bahagia dengan caranya sendiri.
o-o-o-o-o
Hinata
tengah berdiri di ambang pintu, memandang seseorang yang kini terbaring di
ranjangnya. Hyuuga Neji, selemah apapun ia saat ini, Hinata masih bisa melihat
kekuatan dari sorot matanya, dari bibir tipisnya yang melengkungkan sebuah
senyuman pada Hinata. Gadis cantik itu yakin, dengan mengerahkan segenap
jiwanya pada Neji akan membuat laki-laki itu bertahan, akan membuat laki-laki
itu bahagia.
Seorang
dokter datang menghampiri Neji, memeriksa beberapa bagian tubuh laki-laki itu.
Kemudian dokter itu tersenyum samar pada Neji.
“Besok
persiapkan dirimu, kau akan menerima transplantasi jantung baru.”
Mendengar
penuturan sang dokter, membuat laki-laki bersurai panjang itu semakin
mengembangkan senyumnya. Melihat itu, Hinata menangis, ia teramat terharu.
Memandang Neji yang tersenyum bahagia membuat hatinya merasa lega, membuatnya
ikut bahagia.
Hinata
sangat merasa yakin sekarang, pilihannya untuk mencintai kakaknya sendiri itu
tidak salah. Sekarang ia hanya tinggal memanjatkan do’a kepada sang pencipta,
semoga operasi transplantasi jantung Neji besok berhasil.
Gadis
cantik itu tersenyum ke arah Neji setelah dokter yang datang tadi sudah pergi.
Perlahan, Hinata melangkahkan kakinya mendekati ranjang Neji.
“Kau
mendengarnya Hinata?”
“Ya,
aku mendengarnya.” balas Hinata. “Kau akan menjalani operasi transplantasi
jantung besok, kau akan tetap hidup, kau akan bertahan. Dan setelah itu, aku…,
aku akan menjadi milikmu.”
“Hinata,
kau…,”
“A-aku
sudah berhadapan dengan ayahku, ia sudah memperbolehkanku.” Tutur Hinata, gadis
cantik itu tersenyum hangat membuat Neji ikut tersenyum. “Jangan sia-siakan
usahaku.” Lanjutnya.
“Takkan
pernah.”
“Aku…,
aku ada urusan sebentar, tidurlah.”
“Ya,”
Sebelum
meninggalkan ruangan Neji, Hinata menggenggam erat tangan laki-laki itu. Gadis
bermata sewarna mutiara itu tersenyum sekilas lalu melangkah meninggalkan
ruangan Neji. Ia berhenti sejenak di ambang pintu.
“Sayoonara, Neji-kun.”
Lalu
gadis bersurai panjang itu benar-benar meninggalkan ruangan Neji.
.
.
.
Acara
pemakaman itu berlangsung memilukan, membuat siapa saja yang datang menangis
sesenggukkan. Bahkan Hiashi Hyuuga, yang sangat jarang memperlihatkan air
matanya ikut menangis. Saudara kembar mendiang Hizashi itu belum rela
melepaskan seseorang yang amat disayanginya.
Langit
pun mengesampingkan egonya, langit yang biasa menghadirkan cuaca panas itu kini
ikut menangis menghantarkan kepergiannya,
kala mentari tak sanggup melihat pemandangan dibawahnya dengan menyembunyikan
dirinya diantara awan colomunimbus.
Gerimis tak menjadikan alasan untuk Hiashi meninggalkan gundukan tanah yang
masih basah itu. Biarlah tangisan dunia membasahi sekujur tubuhnya, membasahi
seluruh wilayah yang terkena air mata sang langit.
Semua
yang datang juga membiarkan pakaian serba hitam itu basah. Membiarkan air mata mereka meleleh bersama
hujan.
Seluruh
teman-temannya datang, ikut merasakan
duka yang mendalam. Keluarga Hyuuga yang tersisa tiga orang itu tidak
seluruhnya hadir dalam acara pemakaman. Hanya satu orang yang tidak hadir,
seseorang yang memiliki surai panjang dan mata yang sewarna mutiara…
#EPILOGUE
04
Januari 2012
21:12
Laki-laki
bersurai panjang itu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi yang tengah di
dudukinya, sesekali tangannya menggerak-gerakkan mouse laptopnya. Laki-laki itu membuka akun yahoo! yang sudah dua bulan lebih tak dibukanya.
Neji
menghela nafas dan menghembuskannya perlahan. Sangat banyak yang terjadi
belakangan ini, hampir membuatnya frustasi, hampir membuatnya melakukan
tindakan bunuh diri.
Laki-laki
yang memiliki mata sewarna mutiara itu tersenyum samar kala mendapati banyak
pesan yang belum dibuka dari teman-temannya. Salah satunya dari laki-laki yang
dulu sempat tidak disukainya, Uzumaki Naruto.
Sabtu,
03 November
From
: Uzumaki Naruto
To
: Hyuuga Neji
Subject
: Bagaimana kabarmu?
Hai,
aku rasa kau sudah tahu apa yang terjadi jika kau sudah bisa membuka pesanku.
Aku sudah mencegahnya, tapi aku gagal. Bagaimana kabarmu?
Selasa,
04 Januari
From
: Hyuuga Neji
To
: Uzumaki Naruto
Subject
: Re: Bagaimana kabarmu?
Ya,
aku benar-benar tak percaya aku masih bernafas sekarang. Aku baik-baik saja.
Aku takkan lagi mencelakai diriku sendiri, aku sudah berjanji untuk menjaga
diriku sebaik-baiknya. Menjaga jantung baruku, juga menjaga Hinata.
Neji
terpekur memandang layar laptopnya, ada sesuatu yang terasa berat untuk membuka
pesan berikutnya. Pesan dari seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya. Dari
Hinata. Akhirnya, laki-laki bersurai panjang itu membuka pesan dari Hinata.
Sesuatu yang terasa sesak menjalari rongga dadanya kala membaca pesan dari
gadis cantik yang selama ini dirindukannya.
Minggu,
28 Oktober
From
: Hyuuga Hinata
To
: Hyuuga Neji
Subject
: Kau berhasil?
Cuaca
diluar bagaimana? Apa yang harus kukatakan terlebih dahulu? Selamat pagi?
Selamat siang? Selamat sore? Atau selamat malam?
Selamat malam,
batin Neji. Lalu ia melanjutkan membaca.
Jangan
paksa aku memanggilmu nii-san, Neji-kun.
Bagaimana
kabarmu? Pasti baik-baik saja, bukan? Aku yakin, ketika kau membuka pesanku
berarti kau berhasil melewati operasi transplantasi jantungmu. Sudah pernah
kukatakan, kau takkan berhenti. Dan sekarang semuanya sudah terbukti, kau
takkan pernah mengalami yang namanya ‘lupa bernafas’, setidaknya untuk saat ini.
Hal
apa yang terpikirkan olehmu ketika pertama kali mengetahui keputusanku? Aku
harap hal itu bukanlah kesedihan atas penyesalanmu. Percayalah, kau tak perlu
merasa menyesal dengan apa yang sudah menjadi keputusanku. Aku melakukan itu
bukan karena iba, tapi karena rasa, rasa hangat yang kerap kali menjalari jiwa
ketika aku bersamamu. Dan rasa itu yang menghendaki diriku untuk mengambil
keputusan ini. Keputusan untuk memberhentikan fungsi organ dalam tubuhku dengan
memberikan hidupku padamu, memberikan jantungku untuk mengambil alih tempat
jantungmu.
Kau
pernah berkata, kau akan melindungiku, orang yang kau sayangi dan kau cintai,
meski harus mempertaruhkan nyawamu sendiri. Dan aku juga melakukannya padamu,
meski dengan mengorbankan sisa hidupku. Kepergianku bukanlah sesuatu yang harus
kau tangisi, karena aku yakin, ditempatku nanti aku akan tersenyum. Ya, aku
akan tersenyum karena kepergianku ini terbayar dengan melihat senyumanmu sehari
sebelum operasi itu dijalani. Tahukah dirimu, Neji? Senyumanmu itu sangat
berpengaruh untukku.
Maaf,
aku tak memberitahu padamu, karena aku yakin kau akan menolaknya.
Sekarang
semuanya sudah terjadi ketika kau membaca pesanku ini, aku mengorbankan nyawaku
untuk hidupmu. Karena aku mencintaimu meski kau tak pernah menanyakannya
langsung padaku. Ya, aku sangat yakin, aku mencintaimu, sama seperti kau yang
mencintaiku. Tapi, entah kenapa takdir begitu kejam. Kau dan aku dibiarkan
saling mencinta, tapi sama sekali tak memiliki kesempatan untuk bersama.
Bersama untuk menyatukan hati dengan hati, membuat kau dan aku menjadi kita.
Hanya karena kau dan aku terlanjur menjadi saudara, karena aku adik dan kau
kakak, karena takdir berkata kau bukan untukku dan aku bukan untukmu.
Tapi,
aku mematahkan takdir itu. Ya…, aku mematahkannya. Sekarang, jantung yang
berdetak dalam dirimu itu adalah jantungku. Bukankah itu artinya aku milikmu?
Bukankah itu berarti aku adalah bagian darimu dan kau adalah bagian dariku?
Neji,
bukan hanya dirimu yang ingin melihat seseorang yang disayangi bahagia, tapi
aku juga. Berjanjilah padaku, kau akan terus tersenyum bahagia menjalani
harimu. Seperti katamu, kebahagiaanmu adalah melihatku bahagia. Dan aku juga
demikian. Bahagiakan dirimu, karena dengan cara itulah kau membahagiakanku.
Ketika
kau menyia-nyiakan hidupmu, sama dengan kau menyia-nyiakan pengorbananku. Kau
tak ingin aku menangis, bukan? Maka, jangan sesali keputusanku. Jangan terus
tangisi kepergianku. Karena aku tidak benar-benar pergi, karena sekarang aku
selalu bersamamu. Karena sekarang aku sangat dekat denganmu.
Aishiteru…, sayoonara.
Tersenyumlah,
karena aku untukmu. Because I for you.
o-o-o-o-o
~ Really FIN ~
29th of December 2012
KENzeira © 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar