Kamis, 28 Juni 2012

YURI OH YURI (Cerpen)

Judul : YURI OH YURI
Tema : Cinta
Karya : Icha Zahra Octavianna

Revan menguap lebar. Sejenak ia diam, lalu menatap jam dinding. Pukul 05:10, masih pagi. Susah payah Revan memaksa tubuhnya untuk bangun dari tempat tidur. Dia masih amat mengantuk. Revan pun mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi.
Setelah rapi, ia bergegas pergi ke ruang makan. Disana ada mama dan Nesha, adiknya yang sedang sarapan. Ia terlambat.
“Kakak, semalem kak Vea nelpon aku.” Kata Nesha. Revan mengangkat sebelah alisnya sambil terus mengunyah roti. “Kak Vea nanyain kakak tuh, katanya kenapa telponnya ga di jawab.” Lanjut Nesha tanpa diminta. Revan manggut-manggut.
“Kakak lagi berantem.” Kata Revan. Mama dan Nesha memandangi Revan bingung.  Apalagi Nesha, ia tak habis fikir kenapa kakaknya dan kak Vea selalu bertengkar. Padahal mereka pacaran, tapi tingkah mereka berdua seperti musuh saja. Sehari pun tak pernah tidak bertengkar.
Selesai sarapan Revan pun pamit kepada mamanya untuk pergi ke sekolah. Setiap hari Revan selalu pergi sekolah bersama Nesha. Saat ini Revan sudah kelas tiga SMA, sedangkan Nesha kelas satu SMA. Kakak beradik itu sekolah di sekolahan yang sama.
“Kakak ada masalah apalagi sih ama kak Vea? Heran deh, perasaan berantem mulu.” Kata Nesha ketika dalam perjalanan menuju sekolah.
“Tau deh, udah ya Nesha sayang, jangan bahas kak Vea lagi.” Jawab Revan sambil mengacak rambut adiknya itu. Nesha manyun, tapi sejurus kemudian wajahnya berubah menjadi cerah ketika melihat sahabatnya, Yuri. Revan memalingkan wajahnya. Entah kenapa ia merasa malu jika bertemu dengan sahabat adiknya itu. Mungkin karena kejadian waktu itu...
“Kenapa lo? Ga seneng ketemu gue?” cetus Yuri kepada Revan.
“Eh, nggak kok! Nesha, Yuri, kakak duluan ya!” jawab Revan mengelak. Dia pun berlari kecil meninggalkan Nesha dan Yuri. Yuri teratawa kecil.
“Kok ketawa? Lo ama kakak gue kenapa sih?” tanya Nesha penasaran. Yuri malah senyum-senyum ga jelas.
“Ada deh!”
***
Waktu itu...
Revan berjalan menunduk. Dia benci hari itu. Saat hendak pergi ke sebuah supermarket, ia tak sengaja melihat Vea sedang bergandengan tangan dengan seorang laki-laki yang sepertinya seumuran dengannya. Ia ingin marah saat itu juga, tapi ia tau waktu itu bukan timing yang tepat untuk marah-marah. Karena waktu itu sangat ramai, ia tak mau menimbulkan masalah yang mengaharuskannya dibawa oleh satpam. Revan pun mengurungkan niatnya untuk pergi ke supermarket dan pergi pulang.
Tapi mungkin hari itu adalah hari sialnya. Karena dengan bodohnya berjalan tanpa melihat jalanan di depannya membuat ia menabrak tiang. Kepalanya sangat terasa pusing, dan ia mendengar suara tawa terbahak-bahak di seberang jalan. Ia menoleh ke arah suara itu, dan oh...! Yuri! Revan nyengir, kemudian melanjutkan perjalanannya menuju rumah. Kali ini ia tidak menunduk. Ia tidak ingin bersikap bodoh lagi.
“DWARR!!!”
Revan hampir melompat dari tempat duduk saking kagetnya. Egi tertawa sambil menepuk-nepuk punggung Revan.
“Apaan sih lo, ngagetin mulu!” cetus Revan.
“Hahaha ya abis, daritadi gue liatin perasaan lo ngelamun mulu. Kenapa hey? Jangan mikirin utang, ga bakalan lunas kalo Cuma lo fikirin doang!” celetuk Egi.
“Enak aja! Gue kaga punya utang! Emang elo, Gi. Muka aja dapet kredit!” cetus Revan. Egi malah tertawa menyebalkan, tapi sedetik kemudian ia diam lalu kembali duduk manis. Ada guru.
***
Malam itu, Vea mengajak bertemu. Sebenarnya Revan malas, apalagi jika mengingat kejadian itu. Tapi rasa penasaran membuat ia mau menemui gadis itu. Vea bilang, ia ingin menyampaikan sesuatu. Penting.
“Aku pengen kita putus.” Kata Vea hampir tak terdengar. Tapi perkataan itu terdengar jelas oleh Revan. Seolah-olah Vea mengatakannya dengan berteriak. Kata-kata Vea sukses membuat Revan terdiam.
“K-kenapa, Ve?” tanya Revan kemudian.
“Laki-laki yang bersamaku waktu itu memang pacar baruku. Maaf. Tapi aku melakukan itu karena aku bosan dengan sikapmu yang ga pernah perhatian.” Kata-kata itu menggelegar bagai petir yang menghantam hati Revan. Ia amat kecewa dan sakit hati mendengarnya. Vea berdiri dari tempat duduknya. “Aku tidak bisa lama-lama. Aku harus pulang.” Kata Vea. Lalu ia beranjak pergi meninggalkan Revan di restoran tersebut.
Revan mengacak rambutnya sendiri. Nafasnya memburu. Ingin rasanya ia membanting semua yang ada di restoran ini. Tapi tentu ia tidak melakukan hal itu. Mendadak matanya melongo mendengar suara tawa terbahak lagi. Tak salah lagi, Yuri!
“Hai, lagi frustasi ya?” kata Yuri sambil duduk berhadapan dengan Revan. Revan mengernyit melihat wajah Yuri yang sepertinya sedang menahan untuk tidak tertawa. Ia memilih untuk tidak menjawab. “Hihihi, biasa aja kali!” tambah Yuri sambil menepuk Revan. Revan tetap diam. Ia merasa aneh, disaat adik-adik kelasnya menghormatinya sebagai anggota osis, tapi kenapa cewek yang ada di depannya ini selalu bersikap cuek dan..., tidak sopan!
“Oke-oke, gue tau lo lagi broken heart. Sorry. Gue bukan sengaja nguping, tapi sumpah, gue ga sengaja mendengar percakapan antara lo dan cewek tadi. Yasudah, selamat galau!” celetuk Yuri sambil ngeloyor pergi. Tanpa sadar senyuman kecil tersungging di bibir Revan ketika ia menatap punggung Yuri yang sedang berjalan menuju pintu keluar.
***
Satu minggu kemudian...
Revan sedang membuat teh hangat di dapur. Mendadak Nesha menghampirinya.
“Kakaaak...” kata Nesha manja, Revan hanya menoleh sambil mengangkat alis. Nesha senyum-senyum ga jelas yang membuat Revan bingung.
“Apa sih? Lagi seneng?” tanya Revan. Nesha mengangguk.
“Banget! Kakak tau ga kenapa?”
“Kenapa?” tanya Revan lagi lalu menyeruput teh hangatnya.
“Ternyata selama ini Yuri tuh naksir ama kakak!” celetuk Nesha. Revan terbatuk-batuk mendengarnya.
“Uhuk-uhuk! A-apa? Yuri naksir kakak?” kata Revan benar-benar tidak percaya. Nesha mengangguk mantap.
“Iyaa! Yuri bilang, kakak itu orang yang so keren, jaim, sekaligus bego. Aneh ya? Padahal anak-anak kelas satu pada naksir kakak karena kakak berwibawa dan emang keren. Tapi kok alasan Yuri beda?” cerocos Nesha. Revan melongo. Ia senang sekaligus sebel. Senang karena ternyata Yuri yang cuek dan tidak sopan itu bisa kepincut ama dia. Sebelnya karena ia dikatai so keren, jaim, dan juga bego. Alasan apa itu? Aneh sekali!
“Hah?”
“iiih kakaaak! Jangan pura-pura bego deh, atau jangan-jangan emang bego beneran?” celetuk Nesha. Revan nyengir. Ia tidak tau harus berekspresi seperti apa. “Oh iya kak, ntar malem kan malem minggu, aku pengen banget nonton bioskop. Kakak mau kan nganterin?” tambah Nesha. Revan garuk kepala.
“Iyaaa baweeel!” kata Revan akhirnya. Nesha melompat kegirangan.
***
“Mau nonton apa sih, Sha?” tanya Revan setengah sebal. Nesha tertawa kecil sambil melihat-lihat film yang dianggapnya menarik.  Daritadi Nesha hanya melihat-lihat tanpa memesan satu tiket pun. Dan itu sukses membuat Revan sebal.
“Ini! Aku pengen yang ini!” kata Nesha. Revan melirik lalu melongo.
“Nesha, film itu kan di puter jam delapan! Sekarang aja masih jam tujuh. Gimana sih kamu!” cetus Revan. Nesha manyun. Revan tak tega melihat adiknya sedih. Akhirnya... “Iya deh iyaaa!” tambah Revan. Nesha nyengir.
“Kak, aku mau ke toilet dulu.” Kata Nesha setelah memesan dua tiket. Ia pun bergegas pergi ke toilet. Revan menunggunya sambil duduk di tempat duduk yang tersedia.
Satu menit.. sepuluh menit.. dua puluh menit.. tiga puluh menit.. lima puluh menit.. Nesha belum kembali dari toilet! Astaga! Revan mencoba menghubunginya lewat telepon, tapi tidak aktif! Oh, sial. Kemana Nesha!?
“Kenapa lo? Kayak orang panik?” kata seseorang di belakangnya. Ia menoleh. Yuri!
“Eh kamu, Ri. Aku lagi nyari Nesha, katanya mau nonton tapi ke toilet dulu. Tapi sudah hampir satu jam Nesha belum kembalidari toilet. Kemana ya tuh anak. Bikin khawatir aja!” cerocos Revan. Yuri melongo.
“Nesha? Loh? Bukannya dia ngajakin gue nonton ya? Kok ngajak elo? Terus sekarang mana Nesha?” kata Yuri balik tanya. Mendadak mata Revan dan Yuri melotot.
“KITA DIJEBAK!!!” kata Yuri dan Revan secara bersamaan.
Revan garuk kepala bingung. Ia berfikir, sangat mubazir jika ia tidak menonton. Tiketnya sudah dibeli dan kini sedang ia pegang. Akhirnya Revan dan Yuri memutuskan untuk menonton berdua. Revan berjanji dalam hati, ia akan menyemburkan amarahnya pada adiknya itu setelah pulang nanti. Ia sangat malu karena harus menonton bioskop berdua bersama Yuri. Malu karena sepertinya ia juga menyukai Yuri sahabat adiknya itu. Oh, sial!
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaargghh!” teriak Yuri sambil mencengkram tangan Revan. Dan oh, yang lebih sialnya ternyata tiket yang dibelinya adalah tiket film horor! Nesha paling tahu kalo sahabatnya Yuri sangat takut nonton film horor.
Nesha, kamu sangat sukses! Gerutu Revan dalam hati. Ia melirik Yuri yang sedang bersembunyi di balik punggungnya. Deg! Hati Revan berdesir. Entah kenapa, Yuri terlihat manis ketika sedang takut. Tidak seperti biasanya, cuek, tidak sopan, sekaligus galak.
Tanpa sadar, Revan terus tersenyum menatap Yuri. Yang ditatap malah melongo bingung.
PLAKK!! Yuri mengepret tangan Revan. Revan terlonjak kaget.
“Apa’an sih?” cetus Revan.
“Elo yang apaan! Anteng banget ngeliatin gue. Lo fikir lucu? Gue.. gue emang takut film horor.” Kata Yuri. Revan tersenyum sekilas.
“Yaudah, ayo cengkram lagi tanganku.” Celetuk Revan. Yuri manyun. Baru kali ini ia melihat Yuri manyun. Sangat manis. Yuri memukul Revan pelan. Revan tertawa kecil, Yuri juga ikut tertawa kecil.
“Sssssttt!!!” kata seseorang di belakang tempat duduk mereka. Revan dan Yuri langsung diam, tapi kemudian nyengir bersama.
Nesha, kamu sangat sukses! Sukses membuat kakak mengurungkan niat untuk memarahi kamu ketika pulang nanti. Karena sepertinya acara menonton bioskop kali ini sangat menyenangkan dan begitu terkesan. Hmmm... kata Revan dalam hati.

TAMAT

Nama : Icha Zahra Octavianna
TTL : 07 Oktober 1996
Twitter : @ichaoctavianna
Facebook : http://www.facebook.com/#!/icha.z.oktaviana

LYRICS YUI - PLEASE STAY WITH ME

YUI - PLEASE STAY WITH ME
Soba ni itekureru, jyounetsu no sukima de sotto
Yasuragi wa itsumo higeki no saki ni mienakunaru

Chiisakunaru ai no kakera wo hiroi atsumete wa
Hitotsu futatsu kasaneteiru no

Aitai to tada negau dakede
Konna ni mo namida afureru kara my love
Yozora ni ukabeta tame iki ga koboreru
Please Stay With Me

Koraeteru keredo sokkenaku naranai de ne
Kotobatte itsuka wa shinjitsu ni kawaru kara
PURAIDO sainou kikoenai yume no mama owarenai
Hitotsu futatsu tokiakashite yo

Aitai to ieba mata kurushimeteshimau
Namida afureru no ni my love
Sure chigau tabi ni itoshikunatte yuku
Please Stay With Me

Motto shiritai anata no koe ga kikitai
Nakitakunatte tomadoutte yowai yo ne?

Aitai to tada negau dakede
Konna ni mo namida afureru kara my love
Yozora ni ukabeta tame iki ga koboreru
Please Stay With Me

Aitai to ieba mata kurushimeteshimau
Namida afureru no ni my love
Sure chigau tabi ni itoshikunatte yuku
Please Stay With Me

More lyrics: http://www.lyricsmode.com/lyrics/y/yui/#share

LYRICS YUI - GOODBYE DAYS

 YUI - GOODBYE DAYS
Dakara ima ai ni yuku soki metanda
Pokketo no kono kyokou kimi ni kikasetai

Sotto Voryuumu wo agete tashikamete mita yo

Oh Good-bye days ima kawaru ki ga suru kino made ni so long
Kakkoyokunail yasashi sa ga soba ni aru kara
La la la la la with you

Katahou no earphone wo kimi ni watasu
Yukkuri to nagarekomu kono shunkan

Umaku aisete imasu ka? tama ni mayou kedo
Oh Good-bye days ima kawari hajimeta mune no oku alright
Kakkoyokunail yasashi sa ga soba ni aru kara
La la la la la with you

Dekireba kanashii omoi nante shitakunai
Demo yatte kuru deshou?
Sono toki egao de Yeah hello! my friend nantesa
Ieta nara ii no ni...

Onaji uta wo kuchizusamu toki soba ni ite I wish
Kakkoyokunail yasashi sa ni aete yokatta yo

La la la la Good-bye days

More lyrics: http://www.lyricsmode.com/lyrics/y/yui/#share

Lyric LADY ANTEBELLUM - JUST A KISS

"Just A Kiss"

Lyin' here with you so close to me
It's hard to fight these feelings when it feels so hard to breathe
Caught up in this moment
Caught up in your smile

I've never opened up to anyone
So hard to hold back when I'm holding you in my arms
We don't need to rush this
Let's just take it slow

Just a kiss on your lips in the moonlight
Just a touch of the fire burning so bright
No I don't want to mess this thing up
I don't want to push too far
Just a shot in the dark that you just might
Be the one I've been waiting for my whole life
So baby I'm alright, with just a kiss goodnight

I know that if we give this a little time
It'll only bring us closer to the love we wanna find
It's never felt so real, no it's never felt so right

Just a kiss on your lips in the moonlight
Just a touch of the fire burning so bright
No I don't want to mess this thing up
I don't want to push too far
Just a shot in the dark that you just might
Be the one I've been waiting for my whole life
So baby I'm alright, with just a kiss goodnight

No I don't want to say goodnight
I know it's time to leave, but you'll be in my dreams

Tonight
Tonight
Tonight

Just a kiss on your lips in the moonlight
Just a touch of the fire burning so bright
No I don't want to mess this thing up
I don't want to push too far
Just a shot in the dark that you just might
Be the one I've been waiting for my whole life
So baby I'm alright, oh, let's do this right, with just a kiss goodnight
With a kiss goodnight
Kiss goodnight

Sebuah cerpen romantis: BIARLAH HANYA REMBULAN YANG TAHU

Tema : Cinta
Karya : Icha Zahra Octavianna
Judul : BIARLAH HANYA REMBULAN YANG TAHU

Sebenarnya sudah setahun terakhir ini aku menyimpan perasaan pada Riva. Cowok yang aku kenal dari jejaring sosial facebook yang tak sengaja bertemu di toko buku beberapa bulan lalu.
Aku masih ingat betul, bagaimana pertemuan di toko buku tersebut. Awalnya aku biasa saja. Tapi, setelah lama kuperhatikan, ternyata wajahnya mirip dengan foto Riva. Aku memberanikan diri untuk bertanya, dan benar saja, itu memang Riva.
Jauh sebelum pertemuan itu, aku sudah menyukainya. Sifatnya yang ramah membuatku nyaman jika sedang berkomentar dengan dia di facebook. Meskipun kami tak pernah bertukar nomor ponsel. Akhirnya ketika pertemuan itu, Riva meminta nomor ponselku.
“Untuk tambah teman, biar aku bisa tau buku-buku yang menurutmu bagus. Untuk aku beli dan aku baca tanpa perlu bingung memilah-milah.” Kata Riva waktu itu. Aku hanya membulatkan bibir kemudian mengambil ponsel dari saku celana.
“Ini nomor ponselku.” Kataku sambil menyodorkan ponselku. Riva tersenyum lalu mengetik nomorku di ponselnya. Sejak saat itu aku dan Riva sering bertemu untuk sekedar berdiskusi tentang buku yang sama-sama kami baca, atau bahkan iseng saja jika kami sedang tidak ada kesibukan.
***
Di sekolah...
Aku sedang membantu Tiya mengerjakan tugas Matematikanya. Tiya adalah adik kelasku. Aku mengenalnya saat MOS. Dulu aku menjabat sebagai anggota OSIS yang membimbing gugus tujuh, gugus dimana Tiya ada di dalamnya. Tiya anak yang alim dan baik hati. Tak heran jika aku sangat senang untuk membantunya mengerjakan tugas.
“Makasih ya kak, kakak baik deh. Hehehe.” kata Tiya
“Siiip!” ujarku sambil mengacungkan jempol
“Oh iya kak, sekali-kali main dong ke rumah Tiya. Tiya punya banyak buku novel lhooo.”kata Tiya. Tiya tau, aku sangat senang membaca novel. Aku mengangguk.
“Boleh. Kapan-kapan ya, Ya.” Jawabku. Tiya terlihat senang.
***
From : Riva
Ra, ktmu skrg yu. Aku ada di taman dket rumahmu.
Aku melonjak kaget membaca pesan singkat dari Riva. Riva ngajak ketemu sekarang? Mau apa ya?
Riva sudah tau rumahku. Setiap dia mengajak bertemu di suatu tempat, pasti pulangnya dia mengantarku sampai rumah. Tak heran jika ia hafal dimana letak rumahku.
Tanpa basa-basi aku langsung melesat pergi menemui Riva. Ada apa ya malam-malam begini Riva ngajak ketemu? Fikirku dalam hati. Aku melihat Riva sedang duduk di kursi panjang yang tersedia di taman.
“Hei.” Sapa Riva setelah melihat kedatanganku. Aku duduk di sebelahnya.
“Hei.” jawabku.
“Sorry udah ganggu waktu istirahat kamu.” Kata Riva. Aku tersenyum kikuk.
“Gapapa lagi, Va. Nyantai aja. Emmm..., tapi ada apa ya?” ujarku.
“Ga ada apa-apa. Kebetulan aku lewat sini, mendadak pengen ketemu kamu, Ra.” Jawab Riva di akhiri senyum manisnya. Aku tersipu malu.
Kami mengobrol cukup lama. Aku merasa nyaman di dekat Riva. Setiap ia berbicara, aku selalu melihat bola matanya. Aku suka cara Riva bercerita, matanya seakan ikut berekspresi, dan itu sukses membuat jantungku berdesir.
Aku menatap rembulan. Bulan, sepertinya aku benar-benar jatuh cinta. Kataku dalam hati, seolah-olah rembulan mengerti. Biarlah hanya rembulan yang tahu bahwa aku memiliki perasaan ini...
***
Pulang sekolah aku pergi menerima tawaran Tiya kemarin untuk main ke rumahnya. Rumah Tiya cukup besar. Aku banyak mengobrol di kamarnya. Ternyata memang benar, koleksi buku novel Tiya cukup banyak.
“Wah, banyak juga koleksi novelmu, Ya.” Komentarku sambil melihat buku-buku tersebut.
“Iya dong, kak. Tapi sebagian besar buku-buku novel itu milik kakak Tiya.” Kata Tiya. Aku membulatkan bibir.
“Ooooh.”
Tiba-tiba seseorang masuk ke kamar Tiya.
“Tiya, farpum kakak yang baru mana? Kakak mau pake nih.” Kata orang tersebut. Aku melongo kaget. Itu kan Riva! Riva ikut melongo waktu menyadari kehadiranku.
“Riva?”
“Lho, Rara? Kok ada disini?” tanya Riva. Tiya ikut-ikutan melongo.
“Kalian saling kenal?” tanya Tiya. Kami bertiga saling berpandangan, lalu tertawa. Entah apa yang lucu.
“Kebetulan aku lagi main ke rumah Tiya. Ternyata Tiya itu adikmu ya?” kataku. Riva mengangguk.
“Iya. Wah kebetulan banget ya!” Ujar Riva. Kami bertiga mengobrol sebentar, kemudian Riva berlalu pergi setelah mengambil parfum yang akan ia pakai.
“Kakak naksir kak Riva?” celetuk Tiya. Rasanya wajahku memerah.
“Hah? Eng.. Engga kok.” Jawabku tergeragap.
“Jujur.”
Aku nyengir angkat tangan. Aku paling ga ahli dalam berbohong. Akhirnya aku mengaku kalau sudah lama ini aku menyukai Riva. Tiya hanya tertawa mendengar ceritaku tentang Riva.
“Tiya setuju banget lho, Kak. Apalagi kalo jadian, hehe. Tapi sayang, Kak Riva udah punya pacar.”cerocos Tiya di akhiri mimik muka cemberut.
Riva udah punya pacar? Kok aku baru tau. Sejurus kemudian aku merasa dadaku agak sesak. Aneh. Inikah yang namanya terluka? Tapi aku mencoba tersenyum mendengar tanggapan dari Tiya.
***
Aku terus memikirkan perkataan Tiya. Riva sudah punya pacar. Tertutup sudah harapanku untuk menjadi pacarnya. Betapa beruntungnya perempuan yang kini menjadi pacar Riva.
Ah, bodohnya aku! Untuk apa memikirkan Riva yang sudah punya pacar? Kalaupun Riva tidak punya pacar, memangnya aku berpeluang untuk menjadi pacarnya? Rara, sudahlah...,  masih banyak cowok lain yang bisa menjadi pacarmu! Kataku dalam hati, bermaksud menyemangati diri. Tapi, tetap saja. Aku tak bisa mengungkiri perasaanku yang terluka. Tetesan air mata tetap saja membasahi pipi di malam-malamku.
Mengingat senyum Riva, akhirnya aku sadar. Tak sepantasnya aku bersedih. Bukankah pada dasarnya jika kita mencintai seseorang, maka kita akan ikut bahagia ketika melihat orang yang kita cintai itu bahagia? Benar. Harusnya aku ikut bahagia, meski hati ini terluka.
Biarlah hanya rembulan yang tahu...
***
Waktu terasa lebih cepat berlalu. Aku sudah lulus SMA. Aku berencana akan kuliah di Jogja, kemungkinan besar besok aku akan berangkat. Meskipun berat, tapi aku berjanji tidak akan memberi tahu hal ini kepada Riva. Aku harus melupakannya dengan mencari suasana yang baru. Ya, harus!
***
Tiga hari telah aku lalui di Jogja. Aku memilih untuk ngekos, karna aku berfikir dengan ngekos aku bisa punya banyak teman yang sama-sama merantau mencari ilmu. Dan benar saja, sekarang aku sudah memiliki banyak teman. Bahkan ada yang berasal dari Bandung juga, kota asalku.
Saat aku hendak tidur, aku kaget karna tiba-tiba ponselku berbunyi, tanda ada pesan masuk. Aku meraih ponselku yang ku taruh di meja.
From : Riva
Ra, kok ga ngsih tau klo km kuliah di Djokja? Klo aja Tiya ga ngsih tau, psti aqu ga bakal tau smpe kpn pun.
Aku melongo. Emang Riva itu siapa? Pacar bukan. Sampe harus ngasih tau segala. Padahal aku sengaja biar bisa hidup tenang tanpa Riva. Aku terlalu sakit untuk mengingat semua tentang Riva. Aku memutuskan untuk tidak membalas pesan dari Riva.
Keesokan harinya aku mengecek ponselku. Ada satu pesan belum terbuka.
From : Riva
Ra, aqu kngen km. Aqu butuh km.
***
Dua bulan telah berlalu. Dua bulan juga aku tak mendapat kabar dari Riva. Sudahlah Rara..., untuk apa kamu masih mengharapkan dia!?
“Ra, kok ngelamun? Udah malam, waktunya tidur.” Kata Mina, teman satu kamar kos ku. Aku hanya mengangguk lalu berbaring.
Aku terperanjat kaget karna tiba-tiba aku mendapat pesan singkat mengejutkan!
From : Riva
Ra, kluar. Aku udh ada d tmpat kos km.
Aku kaget bukan main. Ini bercanda ga sih? Aku pun merapikan piyamaku dan bergegas keluar tanpa lupa bilang pada Mina.
“Riva?” desisku ketika melihat seseorang yang membelakangiku. Ia pun menoleh. RIVA! Kok bisa? Riva menatapku lalu merengkuh tubuhku. Ya Tuhan, ada apa ini? Kenapa rasanya aku ingin menangis?
“Ra, aku mencarimu, aku terus mencarimu...” kata Riva lirih. Aku melepas rengkuhan Riva.
“Ke-kenapa? Kenapa kamu mencari aku? A-aku bukan siapa-siapa kamu.”  Kataku bergetar. Hampir menangis.
“Aku mencarimu karna aku butuh kamu. Aku sayang kamu, Ra. Udah lama. Bahkan sebelum pertemuan kita di toko buku itu.” Kata Riva. Aku melongo. Kaget. Seneng. Campur-campur. Apakah dia sungguh-sungguh? Tapi, bukankah Riva sudah punya pacar?
“Ta-tapi, kenapa baru sekarang?” tanyaku terbata-bata. Riva meraih tanganku dan menggengamnya. Membuat jantungku tak berhenti berdesir.
“Aku bodoh, Ra. Aku pengecut. Aku takut ditolak sama kamu. Apalagi setelah pertemuan kita bersama Tiya saat di rumahku itu, kamu malah menjauhi aku. Aku jadi makin takut, takut perasaanku mengacaukan pertemanan kita.” Riva tercekat. Tapi matanya tetap menatapku dalam. “Akhirnya aku bercerita pada Tiya, bahwa aku menyayangimu lebih dari sekedar teman. Tiya kaget. Tiya tidak tau kalau aku sudah lama putus dengan pacarku, makanya dia bilang kalo aku udah punya pacar ke kamu. Tiya bilang, kamu menjauhi aku karna kamu takut ganggu hubungan aku, dan karna kamu juga memiliki perasaan yang sama denganku. Betapa bodohnya aku terlambat mengetahui semua itu setelah aku tau kamu sudah kuliah di Jogja. Aku sampe nekat pergi ke Jogja demi menyampaikan perasaanku ini sama kamu. Aku ga mau terlambat lagi. Ra, aku sayang kamu. Benarkah kata Tiya bahwa kamu juga memiliki perasaan yang sama?” kata Riva panjang lebar. Air mataku tak terbendung. Aku terlalu bahagia. Akhirnya aku menangis dan mengangguk tanpa mampu berkata apa-apa.
Riva langsung merengkuhku lagi. Tuhan, terima kasih. Mungkin inilah yang namanya takdir. Begitu mengejutkan. Meskipun hari esok tetap menjadi tanda tanya.
Aku sangat bahagia. Biarlah semua orang tahu, termasuk rembulan yang memberi penerang di malam gelap ini...


Saturday,
3rd of March 2012

Nama : Icha Zahra Octavianna
Twitter : @KENzeira

Sebuah cerpen berlatar di Jepang: LOVE UNDER THE STARLIGHT

Judul : LOVE UNDER THE STARLIGHT
Tema : Cinta, Keluarga.
Karya : Icha Zahra Octavianna

Aku tidak mengerti, kenapa laki-laki yang kini ada dihadapanku sangat menyebalkan. Namanya Soushiro Kuroki, anak pemilik rumah yang kini aku tumpangi. Sifatnya sangat membuatku jengkel, tapi aku harus bertahan agar aku bisa tetap tinggal dirumahnya, jika tidak, mungkin aku akan ditendang!
“Kau ini seorang gadis, tak sepantasnya kau malas-malasan!” kata Soushiro atau biasa aku panggil Sou. Saat ini aku, Sou, 1)Oji-san dan 2)Oba-san sedang sarapan 3)Oshizushi bersama. Hanya karena aku terlambat bangun, aku terus-terusan diceramahi Sou. 1)Oji-san = Paman, 2)Oba-san = Bibi *Dalam bahasa Jepang, 3)Oshizushi, makanan khas jepang, sushi yang ditekan.
“Iya-iyaa maaf.” Kataku dengan mimik muka sebal. Oba-san geleng-geleng kepala.
“Kalian ini, setiap pagi selalu saja bertengkar. Harusnya kalian itu akur.” Kata Oba-san. Oji-san manggut-manggut tanda menyetujui kata-kata Oba-san.
“Kami tidak bertengkar, ibu. Aku hanya memberi tahu anak ini agar lebih giat lagi.” Kata Sou sambil menatap padaku. Aku menjulingkan mata.
Selesai sarapan aku pergi ke sekolah. Sekolahku tak jauh dari rumah Oba-san, cukup jalan kaki. Begitupun Sou, dia sudah bekerja, tapi dia berangkat ke tempat kerjanya dengan menggunakan sepeda karena tempatnya lumayan jauh. Aku dengar dari cerita Oba-san, tamat SMU Sou tidak mau melanjutkan ke perguruan tinggi, ia lebih memilih untuk bekerja. Aku fikir, Sou ingin bekerja karena ia tidak mau menyusahkan orangtuanya, tapi ternyata aku salah. Oba-san bilang, Sou ingin bekerja karena ia malas untuk belajar. Aneh sekali.
Entah kenapa, aku dan Sou tidak pernah berboncengan menaiki sepedanya. Padahal kami satu arah. Mungkin karena Sou sangat membenciku. Ugh!
Sebenarnya kalau boleh memilih, aku ingin tinggal di apartmen saja ketimbang tinggal bersama Sou. Tapi apa daya, ayahku orang sibuk, ia selalu pergi keluar negeri untuk mengurusi pekerjaannya dan aku benci tinggal dirumah sendiri. Akhirnya ayah memintaku tinggal dirumah Oji-san, Oji-san adalah sahabat ayahku dari kecil. Aku ingin sekali menolak, tapi jika mengingat waktu itu ayah berkata...
“Ritsuka sayang, ayah tidak setuju jika kamu tinggal di apartment. Kamu tahu? Mungkin saja disana banyak orang jahat. Ayah tidak mau melihatmu ketakutan sendirian. Lebih baik kamu tinggal dirumah Oji-san, kamu juga sudah mengenal baik keluarga Oji-san, bukan? Kamu akan lebih aman jika tinggal bersama keluarga Oji-san selama ayah pergi. Ayah melakukan ini karena ayah sangat menyayangi kamu.” Kata ayah sambil mengelus-ngelus rambutku penuh kasih sayang. Sejak saat itu aku mulai berfikir, mungkin tinggal dirumah Oji-san memang lebih baik.
***
Bel istirahat berbunyi, tapi aku tidak berminat untuk pergi ke kantin. Rasanya aku ingin tidur saja. Huh!
“Hei Ritsuka, ada seseorang yang mencarimu. Dia keren sekali!” bisik Yui ditelingaku. Aku menoleh.
“Siapa?” tanyaku.
“Aku tidak tahu. Temui saja sana.” Kata Yui sambil menunjuk seorang laki-laki yang tengah berdiri di ambang pintu kelas. Aku tidak mengenalnya. Sepertinya memang keren. Akhirnya aku menemui laki-laki tersebut.
“Apa kau mencariku?” tanyaku, laki-laki tersebut menoleh dan tersenyum. Waw! Keren sekali. Sepertinya dia kelas tiga.
“Apa kau bernama Ritsuka Fujinami?” tanya laki-laki itu. Aku mengangguk. “Kau menjatuhkan ini.” Lanjut laki-laki tersebut sambil memberiku dompet. Oh, ya ampun! Kenapa aku tidak menyadari kalau dompetku terjatuh! Untung saja didalam dompetku ada kartu nama.
“Oh, aku sangat berterima kasih. Dompet ini begitu berharga untukku.” Kataku. Dia tersenyum membuatku terpana. Oh, ya ampun!
“Lain kali hati-hati. Oh iya, namaku Natsu Morishita. Aku kelas 12A.” Katanya sambil menjabat tanganku. Bahkan namanya pun keren. Aku tersenyum kikuk. Benar dugaanku, dia kelas tiga.
“Senang berkenalan denganmu Morishita.” Ujarku diakhiri senyum semanis mungkin. Dia balik tersenyum.
“Panggil saja aku Natsu. Ritsuka, apa kau sedang sibuk?”
“Ah, tidak juga.”
“Kalau begitu, maukah kau menemani aku pergi ke kantin?” aku melongo dibuatnya. Ramah sekali dia. “Aku tak ada teman, itupun jika kau bersedia.” Tambah Natsu sambil menatapku menunggu jawaban. Aku tersenyum dan tentu saja mengangguk.
Saat dikantin, aku dan Natsu makan snack kecil. Kami mengobrol banyak hal. Ternyata dia orang yang mudah akrab.
“Kenapa dompetmu itu begitu berharga?” tanya Natsu
“Emmm, mungkin karena dompet ini peninggalan terakhir dari ibuku sebelum ia meninggal. Saat itu aku masih sekolah menengah pertama kelas dua.” Jawabku.
“Oh, maaf.” Kata Natsu merasa menyesal telah menanyakan hal itu. Aku menggeleng cepat.
“Ahh tidak apa-apa. Boleh aku melanjutkan ceritaku?” Natsu mengangguk
“Tentu” jawabnya sambil tersenyum. Aku menarik nafas panjang.
“Waktu itu saat ibuku sepulang dari pusat perbelanjaan, ia membelikan aku dompet ini. Aku sangat senang. Tapi ibuku bersikukuh ingin kembali ke pusat perbelanjaan tersebut, dia bilang, pakaian yang baru dibelinya tertinggal disalah satu toko yang ia kunjungi disana. Dan apakah kau tahu apa yang menyebabkan ibuku meninggal dunia?” kataku. Natsu menggeleng. Aku melanjutkan bercerita. “Ibuku baru belajar menyetir, tragisnya dia mengalami kecelakaan. Ibuku sempat koma beberapa hari, tapi kemudian akhirnya ia meninggalkan aku dan juga ayahku. Aku sangat terpukul begitu juga ayahku.”
“Sepertinya kau sangat menyayangi ibumu.” Kata Natsu. aku tersenyum.
“Tentu saja. Makanya terima kasih telah mengembalikan dompet ini.”
 “Sebagai imbalannya, pulang sekolah kau harus mau menemaniku ke 1)Nakanoshima Park.” Kata Natsu diakhiri kerlingan jahil. Aku tertawa dibuatnya. 1)Nakanoshima Park, sebuah taman di Osaka, Jepang.
“Baiklah.” Jawabku. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada pesan dari Sou! Untuk apa dia mengirimi aku pesan!?
From : Soushiro
Pulang sekolah kau harus langsung pulang. Ada hal penting yang mau di bicarakan.
Aku mencibir menatap layar ponselku. Lalu aku mengetik dan membalas pesan dari Sou.
To : Soushiro
Aku tidak bisa. Bicaranya nanti saja setelah aku pulang.
“Kekasihmu?” tanya Natsu. aku menggeleng cepat.
“Bukan! Dia..., dia hanya sepupuku. Ahaha iya, dia sepupuku.” Jawabku berbohong. Natsu membulatkan bibir membentuk huruf O.
***
Pulang sekolah aku sudah ditunggu Natsu di depan pintu kelasku. Entah kenapa, aku sangat senang bisa mengenal Natsu. Sepertinya aku menyukainya. Aku dan Natsu berjalan berdampingan melewati tiap koridor sekolah. Mendadak mataku melotot kaget setelah melihat siapa yang ada didepan gerbang sekolah dengan sepedanya. Sou! Oh, ya ampun!
Dengan gayanya yang menyebalkan Sou menatapku tajam. Tangannya melipat didepan dada. Aduh! Apa dia tidak mengerti isi pesanku?
“Cepat pulang!” Kata Sou dengan nada dingin. Aku menatap Natsu, Natsu terlihat bingung. Kenapa Sou sangat menyebalkan? Tidak bisakah berbicara lebih sopan sedikit? Ugh!
“Emmm, Natsu. Maafkan aku. Sepertinya sekarang kita tidak jadi ke Nakanoshima Park. Akan aku usahakan besok pasti bisa.” Kataku penuh penyesalan. Natsu menatapku heran kemudian ia mengangguk.
“Tidak apa-apa. Tenang saja.” Kata Natsu. Selain keren, ternyata Natsu juga baik. Aku tersenyum dan meninggalkan Natsu. Kali ini aku berboncengan dengan Sou.
“Sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan?” tanyaku ketika sedang di perjalanan menuju rumah. Sou tidak langsung menjawab.
“Bukan aku yang ingin bicara, tapi ibuku.” Jawab Sou. Oba-san ingin bicara padaku? Bicara apa? Tumben sekali.
Setelah sampai didepan rumah, Sou berjalan dan aku membuntutinya dari belakang.
“Ibu aku pulang.” Kata Sou. Oba-san yang sedang menonton televisi menoleh dan tersenyum hangat ketika melihatku.
“Oba-san, apakah oba-san ingin berbicara sesuatu padaku?” tanyaku.
“Iya, Ritsuka. Duduklah dulu.” Jawab Oba-san sambil mempersilahkan aku duduk di sampingnya. Akupun menuruti perkataanya. “Apakah kau tahu? Oba-san sangat ingin mengunjungi 1)Osaka castle. Apakah kau mau menemani oba-san sore nanti?” kata oba-san. Aku tersenyum, ternyata itu yang ingin oba-san bicarakan. 1)Osaka Castle, taman aprikot di Osaka, Jepang.
“Tentu saja aku mau.” Jawabku sambil tersenyum. Oba-san ikut tersenyum lalu mengelus-ngelus rambutku. Rasanya senang sekali, berasa memiliki ibu lagi. Aku melirik Sou yang sedang memakan kue.
“Apa kau? melihatku seperti itu.” Cetus Sou. Aku mencibir.
“Hei, itu kue milikku!” kataku tak kalah cetus. Sou menatap kue yang ada di tangannya, lalu ia menatapku.
“Aku tidak tau. Yasudah, ini! Lagipula kue nya tidak enak.” Kata Sou sambil manaruh kuenya di meja.
“Bilangnya tidak enak tapi sudah mau habis. Aneh sekali.” Kataku dengan muka sebal. Sou melotot. Oba-san tertawa melihat tingkah aku dan Sou.
***
“Aku kira kau tidak ikut.” Kataku.
“Sebenarnya aku malas. Yah, tapi mau bagaimana lagi. Ibuku ngotot ingin aku ikut ke sini. Jadi, apa boleh buat.” Kata Sou sambil melihat-lihat pohon sakura.
Saat ini kami sedang berada di Osaka Castle. Oba-san sibuk mengobrol dengan teman sebayanya, sepertinya mereka bersahabat. Sedangkan Sou duduk sendiri di tepi danau. Daripada aku bosan, lebih baik aku menghampiri Sou dan mengajaknya mengobrol. Kupikir dengan begitu hubungan antara aku dan Sou akan lebih baik, mungkin.
“Sou, boleh aku bertanya?” kataku. Sou melirik ke arahku yang sedang di sampingnya.
“Tanya apa?”
“Kenapa kau lebih memilih bekerja daripada masuk universitas?” sekilas Sou tersenyum. Aku menatapnya menunggu jawaban.
“Karena aku malas belajar. Aku tidak mau stress hanya gara-gara pelajaran. Lebih baik aku bekerja saja. Sudah dapat uang, tak perlu pusing pula.” Jawab Sou. Aku mengernyit mendengar jawaban Sou. Ternyata oba-san benar. Aneh sekali.
“Oba-san bilang, kau sangat pintar. Selalu mendapat peringkat pertama di sekolahmu. Sayang sekali jika tidak di lanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Padahal kau bisa sukses, mungkin.” Kataku. Sou terdiam sejenak lalu melempar batu kecil ke danau.
“Aku ingin seperti ayahku saja. Aku tidak berminat menjadi orang yang sukses, karena itu artinya aku akan lebih sering meninggalkan keluargaku.” Kata Sou. Kini giliran aku yang diam. Entah kenapa aku jadi ingat ayahku. Aku sering ditinggalkan. “Maaf bukan maksudku...” kata Sou yang sepertinya menyadari apa yang sedang aku pikirkan.
“Kau benar. Aku selalu merasa kesepian jika ayahku tidak ada. Dan itu..., sangat menyakitkan.” Kataku. Aku menarik nafas panjang. Sou menatapku iba.
“Kau mau es krim?”
“Apa?”
Lalu...
“Kau ini serakah sekali.” Kata Sou sambil melihat tanganku yang memegang dua es krim. Aku nyengir.
“Biarkan saja, mumpung kau yang membayarnya. Hahaha.” Kataku diakhiri tawa renyah. Sou mencibir.
“Jangan tertawa, itu menyebalkan.” Ujar Sou. Giliran aku yang mencibir. Sou mengambil dompet dalam saku celana jeansnya kemudian membayar es krimnya. Aku menatapnya selama ia membayar es krim. Ternyata..., Sou cukup tampan, dia juga baik, mungkin.
“Kalian disini rupanya. Oji-san sudah menunggu dirumah, ayo kita pulang.” Kata oba-san. Akhirnya kami pun pulang.
Entah kenapa aku merasa sangat bersyukur telah menerima tawaran ayah untuk tinggal bersama oji-san. Rasanya aku seperti memiliki keluarga baru, dan itu sangat menyenangkan. Terima kasih Tuhan, kau telah mempertemukan aku dengan mereka.
***
Hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Meskipun hari ini hari libur tapi entah kenapa aku sangat ingin bangun pagi dan membantu Oba-san memasak sarapan di dapur. Kelihatannya oba-san sangat senang. Mungkin karena selama ini ia hanya seorang perempuan satu-satunya di keluarga. Mempersiapkan semua makanan sendiri setiap hari. Tapi kali ini ada aku. Aku perempuan yang akan menemani oba-san memasak dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk Sou dan oji-san yang akan pergi bekerja. Meskipun hanya di hari-hari libur saja.
“Oba-san, kenapa Sou masih tidur?” tanyaku heran. Padahal biasanya ia yang paling rajin bangun pagi.
“Hari ini Sou tidak bekerja. Mungkin juga karena dia baru tidur pukul tiga dini hari.” Jawab oba-san. Aku membulatkan bibir membentuk huruf O. Aneh sekali. Tidak biasanya ia tidur begitu pagi. Aku sedikit kaget ketika tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada pesan dari Natsu.
From : Natsu Morishita
Kalau kau tidak sibuk, aku ingin mengajakmu ke 1)Umeda.
Aku mengetuk-ngetukkan dagu layaknya orang berfikir. Sejak beberapa hari yang lalu, aku menjadi sangat dekat dengan Natsu. Kami menghabiskan waktu bersama untuk sekedar jalan-jalan ke Taman Nakanoshima, atau makan di Restaurant Sushi bersama. Tapi kali ini Natsu mengajakku ke Umeda. Hmmm kenapa tidak? 1)Umeda, sebuat tempat teater, butik, dan department store di Osaka, Jepang.
 *
“Kau lihat tidak? Tadi itu lucu sekali. Apalagi saat seseorang yang bernama Yuzu itu terpeleset. Hahaha aku tak bisa menahan untuk tidak tertawa!” kataku tak hentinya tertawa. Saat ini aku dan Natsu baru selesai menonton drama teater. Natsu hanya menyunggingkan senyum kecil.
“Aku rasa ia tadi benar-benar terpeleset betulan.” Kata Natsu. Aku terus tertawa. Natsu merangkul pundakku dan kami berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih, meskipun pada kenyataannya kami hanya teman.
Ah! Ponselku berbunyi.
From : Soushiro
Kau ini kemana? Sudah sangat sore. Cepat pulang. Ibuku memasak sesuatu yang spesial untuk makan malam.
“Ah, sayang sekali. Padahal tadinya aku ingin mengajakmu makan 1)Okonomiyaki. Tapi sepertinya kau harus pulang.” Kata Natsu, aku tersenyum kikuk. Ternyata Natsu mengintip layar ponselku dan membaca pesan dari Sou. Aku malu sekali. 1)Okonomiyaki, adonan kue yang ditumis.
“Ahaha, iya. Atau lebih baik kau ikut saja ke rumah oba-san. Kita makan malam bersama.” Usulku. Natsu menggigit bibir bawahnya sendiri.
“Hmmm. Boleh juga.” Jawab Natsu diakhiri senyuman manisnya.
*
“Oba-san, tahu tidak? Natsu ini orang yang sangat baik. Dia orang yang telah mengembalikan dompet pemberian mendiang ibuku waktu itu.” Kataku antusias. Kami sedang makan malam bersama. Mendengar ucapanku, Natsu hanya tersenyum.
“Benarkah? Jadi, Natsu adalah orang yang kau ceritakan waktu itu? Wah berarti hari ini oba-san tidak sia-sia membuatkan masakan malam yang spesial. Natsu, bagaimana rasa masakannya? enak tidak?” cerocos oba-san. Natsu mengangguk sambil tersenyum.
“Masakannya enak sekali.” Kata Natsu. Sou mencibir.
“Kalau makan ya makan saja. Tak perlu mengobrol yang tidak perlu.” Cetus Sou. Oba-san mendelik sebal. Anak ini tidak sopan sekali.
Selesai makan malam...
Natsu membungkuk sopan. “Oba-san, terima kasih telah mengizinkan aku makan malam disini. Sepertinya aku harus cepat pulang.”
“Ah, iya. Sering-seringlah makan malam disini. Hati-hati dijalan.”  Kata oba-san sambil tersenyum. Aku melambaikan tangan pada Natsu saat ia hendak pergi.
Setelah Natsu pergi aku masuk ke dalam rumah dan langsung menemui Sou.
“Heh!”
“Apa kau ini? Datang-datang memasang tampang tak enak dilihat!” cetus Sou.
“Yang apa itu kau! Kenapa kau terlihat seperti membenci Natsu? kau tau tidak, dia itu tamu!” cerocosku tanpa basa-basi.
“Kau ini aneh sekali. Bagaimana bisa aku membenci orang yang sama sekali tidak aku kenal? Dasar bodoh.” Jawab Sou tak kalah cetusnya. Aku menggeram kesal.
“Lalu kenapa raut wajahmu seperti orang yang tidak menyukai Natsu? Apalagi ketika kau bicara tidak sopan saat kami sedang mengobrol. Aku tidak bodoh!”
“Yasudah, terserah kau saja!” kata Sou sambil berlalu pergi meninggalkan aku. Ugh! Ternyata Sou tetap menyebalkan. Aku menarik nafas panjang. Aku harus sabar.
***
Rasanya aneh sekali. Pagi ini Sou mengajakku berangkat bersama dengan sepedanya. Apa dia salah makan? Mungkin dia lupa kalau semalam aku dan dia hampir menghancurkan bumi beserta isinya. Hahaha.
“Kenapa diam saja? Kalau tidak mau bersama, yasudah.” Kata Sou. Dengan cepat aku menahan tangannya.
“Eeeh, tunggu.” Kataku sambil langsung menaiki jok belakang sepeda Sou. Mungkin tidak ada salahnya berangkat bersama. Lumayan, tidak membuat kedua kakiku pegal.
*
“Sepulang sekolah jangan pergi kemana-mana. Aku..., aku akan menjemputmu untuk pulang bersama.” Kata Sou lalu ia mengkayuh sepedanya dan pergi. Aku diam. Menjemputku untuk pulang bersama? Lucu sekali!
Aku melangkah menuju kelas.
“Kenapa kau tidak bilang kalau kau punya pacar setampan itu?” tembak Yui. Aku melongo. Pacar? Siapa?
“Kau ini aneh sekali. Pacar? Pacar yang mana?” kataku samil menaruh tas di meja dan duduk disebelah Yui.
“Ahhh, tentu saja yang tadi mengantarmu kesekolah! Tapi, kenapa memakai sepeda?” J-DAG!! Serasa kena bom kentut. Aku tertawa terbahak dibuatnya.
“Hahaha kau ini bodoh sekali! Hey, Yui. Memangnya kau tidak tau kalau yang tadi mengantarku itu adalah anak dari Oba-san, orang yang aku tumpangi itu.” Kataku. Yui melongo. Lalu ikut menertawai kebodohannya.
“Hahaha aku tidak ingat. Hei, Ritsuka. Bisakah kau memperkenalkan aku kepadanya? Aku tertarik sekali.”
“Lebih baik tidak usah. Dia itu tipe laki-laki yang menyebalkan. Dia tidak sopan sekaligus sangat aneh!” kataku membeberkan kejelekan Sou. Yui menaikkan sebelah alisnya.
“Aneh? Oh, ya ampun! Kau tau, aku sangat alergi dengan orang yang aneh.” Aku tertawa kecil mendengar perkataan Yui. Tiba-tiba aku ingat dengan Natsu. apa dia marah ya gara-gara perlakuan Sou semalam?
“Yui, apa kau tau dimana Natsu?” tanyaku.
“Natsu? Aku tidak melihatnya. Lebih baik kau langsung menemui Natsu ke kelasnya saja. Aku rasa dia sudah datang.”
*
Aku melihat Natsu sedang duduk santai di kursinya sambil membaca sebuah buku. Aku memberanikan diri untuk menghampiri Natsu.
“Hei.”
“Oh, Ritsuka. Hei. Tumben sekali kau datang ke kelasku. Ada apa?” kata Natsu. mendengar dari cara ia berbicara, sepertinya ia tidak marah.
“Bisakah kita bicara sebentar?” Natsu menaruh bukunya dimeja.
“Tentu.” Jawabnya.
*
Aku mengajak Natsu ke sebuah taman kecil di belakang kantor kepala sekolah. Kami duduk bersama disana.
“Apa kau marah gara-gara sikap Sou kemarin malam?” kataku.
“Apa? Hmm..., tentu saja tidak.”
“Benarkah?” Natsu mengangguk sambil tersenyum.
“Tenang saja. Aku bukanlah tipe laki-laki yang mudah marah.” Jawab Natsu. Aku bernafas lega. “Oh iya, pulang sekolah apa kau mau menemaniku?” tambah Natsu.
“Sebenarnya aku sangat ingin. Tapi, mau bagaimana lagi. Sou bilang, aku harus langsung pulang. Lagipula aku akan di jemput olehnya.” Jawabku menyesal. Natsu diam, tapi kemudian ia tersenyum hangat.
“Tidak apa-apa. Lain waktu kan masih bisa.”
***
Satu minggu kemudian...
To : Ayah
Ayah, kapan kau akan pulang?
Tak ada balasan. Aku duduk lemas. Akhir-akhir ini ayah jarang memberi kabar. Ada apa denganmu Ayah? Padahal aku sangat merindukanmu.
*
Hari ini taman sepi. Hanya ada segelintir orang-orang yang berkunjung. Mungkin karena sudah sore, lagipula hujan rintik-rintik belum berhenti sejak siang tadi. Tapi, entah kenapa rasanya aku sangat ingin berkunjung ke taman ini. Mungkin karena keadaan hatiku yang sedang tidak karuan.
Aku duduk di kursi panjang yang tersedia di taman. Membiarkan tubuhku terkena rintik-rintik hujan. Mendadak aku jadi ingat dengan Sou. Manisnya ketika ia membelikanku es krim. Meskipun sikapnya selalu saja menyebalkan.
Rasa sepi mulai menyerangku. Aku paling benci sendirian. Tapi sekarang aku pergi ke taman sendirian. Bukankah aneh sekali? Hari ini aku benar-benar merasa kacau. Apa sebaiknya aku meminta Natsu untuk menemaniku?
Aku terperanjat kaget ketika tiba-tiba ada seseorang yang memakaikan jaket dari belakang. Aku menoleh. Sou!
“Apa kau mau mati kedinginan?” cetus Sou. Aku menggeleng. Meskipun nada bicaranya tetap ketus, tapi aku tau ia sangat perhatian. “Kau tau tidak? Dari tadi aku mencarimu. Aku coba telpon tapi tidak aktif. Ternyata kau ada disini. Kau ini kenapa?”
“Ah, maaf. Ponselku mati. Aku tidak apa-apa. Memangnya ada apa kau mencariku?” kataku. Sou melangkah dan duduk disampingku.
“Aku khawatir. Sejak kemarin kau melamun saja. Kau pasti ada masalah. Ceritakan saja padaku.”
“Kau benar. Aku memang sedang ada masalah. Sudah beberapa hari ini ayahku tidak memberi kabar. Pesan yang aku kirim pun tidak di balas. Ini aneh sekali.” Lirihku. Sou tersenyum sekilas lalu merangkul pundakku.
“Tenang saja. Mungkin ayahmu sangat sibuk jadi dia tidak sempat memberimu kabar. Berfikir positif akan membuatmu merasa tenang.” Aku melirik ke arah Sou. Tumben sekali.
“Baiklah. Aku akan berfikir positif.” Kataku diakhiri senyum.
“Baguslah kalau begitu. Sudah malam, ayo kita pulang.” Ajak Sou sambil berdiri dan menarik tanganku. Aku menepisnya dengan lembut. “Kenapa?” tanya Sou heran.
“Aku ingin menatap bintang sebentar saja.” Kataku. Sou kembali duduk dan tersenyum.
“Aku akan menemanimu menatap bintang.”
Aku tersenyum menatap ke atas langit. Tidak ada bintang. Bulanpun bersembunyi. Tapi mataku tertuju pada titik cahaya kecil yang tidak terlalu terang. Itu bintang. Dan mungkin satu-satunya bintang yang terlihat malam ini.
“Sou.”
“Ya?”
“Apa kau baik-baik saja? Maksudku, ada apa denganmu? Tumben sekali hari ini kau bersikap baik padaku. Rasanya aneh sekali.” Kataku. Sou tertawa kecil.
“Aku tidak bisa bilang alasannya. Kau cari tau saja sendiri.” Jawab Sou. Mau tak mau jawabannya membuatku melirik ke arahnya karena heran. Sou melirik ke arahku. Mata kami saling bertemu. DEG!
Aku langsung kembali menatap langit. Aneh sekali! Kenapa detak jantungku lebih cepat dari biasanya!? Jangan-jangan... oh, ya ampun!
“Ayo kita pulang!” cetusku sambil berdiri dan berjalan di depan Sou.
***
“Sayang, maaf. Kemarin-kemarin ayah sibuk sekali. Bukannya ayah ingin membuatmu khawatir. Tapi, ayah memang sangat sibuk.” Suara ayah di telepon.
“Tidak apa-apa ayah. Aku juga mengerti.” Kataku sambil tersenyum, meskipun senyumku itu tidak terlihat oleh ayah.
“Yasudah, sepertinya ada pekerjaan yang menunggu untuk ayah selesaikan. Ayah sayang kamu.”
“Aku juga sayang ayah.” Clik, telepon ditutup. Aku bernafas lega. Ternyata ayah memang sedang sibuk.
*
“Waaah, tampaknya kau sedang senang.” Kata oba-san ketika di dapur. Aku mengangguk.
“Tentu saja oba-san. Barusan ayah meneleponku. Aku benar-benar senang.” Kataku. Oba-san tersenyum.
“Baguslah kalau begitu. Mulai hari ini kau jangan melamun lagi. Oba-san sedih melihatnya.” Kata oba-san sambil membersihkan ikan kembung dengan air. Sepertinya oba-san akan memasak 1)Battera. Aku ikut membersihkan ikan kembung. 1)Battera バッテラ, sushi ikan kembung yang ditekan.
“Baiklah, aku tidak akan melamun lagi.” Kataku di akhiri senyum.
“Hooaaaamm! Aku lapar sekali.” Kata Sou sambil menggaruk-garuk kepalanya sendiri. Ia baru bangun tidur. Payah sekali. Padahal biasanya selalu bangun pagi.
“Duduk saja dulu. Aku dan oba-san akan memasak battera.” Kataku. Sou melangkah menuju ruang teve. Ia menekan remote control dan duduk seraya menatap layar teve yang sedang ia tonton.
Aku ini aneh sekali! Kenapa akhir-akhir ini jadi sering terbayang wajah Sou? Oh, ya ampun! Sudah kuduga. Aku jatuh cinta padanya!
*
Sorenya...
“Kau ini kenapa? Setap ketahuan sedang menatapku, kau selalu saja berpaling. Ada apa denganmu? Kau ini aneh sekali!” cerocos Sou, lalu ia memasukkan puding kedalam mulutnya.
“Percaya dirimu tinggi sekali! Siapa yang menatapmu? Dasar.” Kataku cetus. Sou mencibir. Aku mencomot puding dan ikut memakannya.
“Kenapa kau malah marah? Hey, Ritsuka. Bagaimana kalau sepulang sekolah besok kita jalan-jalan dulu? Aku ingin mengajakmu ke Restaurant Itali. Lihat ini! Aku dapat dua tiket gratis makan disana.” Kata Sou. Hampir aku tersendak saking kagetnya. Restaurant Itali?
***
“Hey, Yui. Menurutmu aku ini kenapa? Setiap bertemu orang itu, aku selalu berdebar. Apa aku jatuh cinta?” kataku meminta pendapat. Yui membetulkan letak kacamatanya.
“Orang itu siapa maksudmu?” aku menghela nafas panjang.
“Sou! Anak dari oba-san. Laki-laki yang aku bilang aneh waktu itu.” Kataku hampir tak terdengar. Yui melotot kaget.
“Oooh, laki-laki tampan yang selalu mengantarmu kesekolah akhir-akhir ini? Dia membuatmu berdebar-debar? Ajaib sekali! Padahal waktu itu kau bilang dia aneh dan menyebalkan. Hahaha. Sepertinya kau kualat!” cerocos Yui. Aku mencubit pinggulnya. Apa tidak bisa bicaranya pelan sedikit?
“Sudahlah. Kau sama sekali tidak membantu!” cetusku. Aku meninggalkan Yui yang sedang tertawa terpingkal-pingkal. Ugh! Ini menyebalkan, benar-benar menyebalkan!
“Kenapa wajahmu ditekuk seperti itu?” aku menoleh ke arah suara tersebut. Natsu!
“Ah, Natsu. Hari ini aku sedang jengkel.”
*
“Aku ini aneh sekali. Kenapa bisa aku jatuh cinta pada Sou? Kau kan tau, Sou itu orang yang bagaimana. Menyebalkan! Kenapa aku tidak jatuh cinta padamu saja? Ini benar-benar aneh!” kataku diakhiri canda. Natsu tersenyum.
“Benar. Ini aneh. Padahal aku sudah jatuh cinta padamu.” Kata Natsu datar. Mulutku menganga, mataku melotot. Jatuh cinta padaku?
“Apa kau bercanda?”
“Tentu saja aku serius. Kau itu sangat lugu. Aku sudah jatuh cinta padamu saat pandangan pertama. Bukankah aku juga aneh?”
“Ahahaha iya. Kita sama-sama aneh!” kataku tertawa datar. Aneh! Ini aneh! Benar-benar aneh! Aku tak bisa berfikir. Kenapa jadi seperti ini? Yang lebih anehnya lagi, aku dan Natsu tertawa bersama. Menertawai keanehan masing-masing.
*
Aku pulang sekolah pukul 14:30. Tumben sekali, biasanya tak ada pelajaran tambahan. Wajah Sou terlihat kesal. Mungkin karena ia menunggu terlalu lama.
Tak ada yang spesial ketika aku dan Sou makan di Restaurant Itali. Aku pikir ini akan menjadi hal yang romantis. Ternyata meleset total. Tak ada satupun percakapan yang keluar dari aku ataupun Sou. Belum memakan masakannya pun aku serasa sudah kenyang.
“Sou, kau ini kenapa?” aku memberanikan diri bertanya ketika di perjalanan pulang. “Kenapa kau tidak menjawabku?”
“Aku tidak apa-apa.” Jawab Sou dingin.
“Tapi kenapa wajahmu seperti itu? Kau sepertinya kesal padaku. Bukankah aku sudah minta maaf? Guru bahasa yang baru sangat ketat. Aku tidak mengira kalu hari ini ada pelajaran tambahan.” Kataku penuh penyesalan.
“Bukan soal itu.”
“Apa? Lalu soal apa?”
“Aku tidak suka melihatmu bersama Natsu.” kata-kata itu meluncur dari mulut Sou. Dadaku semakin berdebar-debar. Meski kata-katanya sangat sederhana, tapi apa maksud dari kata-katanya itu? Apa Sou juga menyukaiku?
*
“Ayah?” aku langsung mendekap erat tubuh ayah. Ayah sudah pulang. Ayah mengelus-ngelus rambutku. Oba-san dan oji-san tersenyum melihatku, terkecuali Sou. Dia hanya diam.
“Ayah merindukanmu. Kau baik-baik saja bukan?” aku mengangguk.
“Aku baik-baik saja ayah. Aku sangat senang bisa melihat ayah lagi.” Kataku sambil menangis terharu. Ayah mengusap airmataku.
“Yasudah. Sekarang ayo kemasi barang-barangmu. Kita pulang. Sebelumnya, aku sangat berterima kasih padamu, Hyundai. Kau telah menjaga anakku.” Kata ayah pada oji-san. Oji-san tersenyum hangat.
“Tentu saja. Bukankah itu gunanya teman?” kata oji-san sambil menepuk-nepuk punggung ayah. Seperti reunian saja.
Entah kenapa aku malah diam saat mendengar kata ‘pulang’. Itu berarti aku tidak akan tinggal dirumah ini lagi?
***
Tiga hari telah berlalu. Kini aku tinggal dirumahku seperti dulu. Rasanya aku rindu sekali pada oba-san, terlebih lagi pada Sou.
Aku mengambil ponsel dan mencari nama Soushiro di kontakku, kemudian aku memanggilnya.
“Halo?” kata suara diseberang sana.
“Sou, aku merindukanmu.”
“Kau ini siapa?”
Aku melotot kaget. Apa yang aku lakukan? Kenapa tanganku otomatis menelepon Sou? Dengan cepat aku mematikan panggilan tersebut. Huah! Untung aku memakai nomor ponsel yang baru. Mana mungkin Sou akan mengira kalau yang meneleponnya tadi itu adalah aku.
Pukul 21:00
Aku sudah memakai piyama, aku siap untuk tidur.
Drrrrrrttt...drrrrrttt...
Aku mengusap-ngusap mata. Siapa yang menelepon malam-malam begini?
“Halooo?” kataku lemas.
“Jam segini sudah tidur. Ayo cepat keluar! Aku menunggumu.”
Mataku terbelalak. Menungguku diluar? Siapa? Aku langsung berlari menuju pintu depan. Dan oh! Mataku semakin terbelalak melihat siapa yang aku temui didepan pintu. Sou!
*
“Kenapa kau mengajakku ke taman malam-malam begini?” tanyaku. Aku dan Sou sedang duduk dibangku taman. Sepi dan juga cukup gelap.
“Bukankah kau bilang kau rindu padaku?”
“A-apa?”
“Jangan kau kira aku tidak tau. Aku tau sekali kalau itu suaramu. Kau tidak bisa mengelak.” Kata Sou sambil mengusap-ngusapkan tangannya. “Dingin sekali.”
“Iya, itu memang aku.” Kataku sambil menunduk. Ya Tuhan, aku malu sekali.
“Sudah kuduga. Sini, mana tanganmu?” kata Sou, aku memberikan kedua tanganku. Sou menggenggamnya. Rasanya hangat, hatiku juga. “Kau pasti dingin. Maaf ya, jadi membuatmu susah.”
“Ah, tidak apa-apa.”
Sou dan aku banyak mengobrol. Kami tertawa bersama. Indah sekali malam ini, seakan dinginpun tak begitu terasa.
“Sou, apa kau menyukaiku?” tanyaku. Susah payah aku mengumpulkan mental untuk menanyakan hal ini pada Sou.
“Apa?”
“Apa kau menyukaiku?”
Sou diam. Aku jadi ikut diam. Rasanya benar-benar malu. Aku menyesal menanyakan hal ini. Oh, ya ampun!
“Sudah malam. Ayo kita pulang.” Kata Sou. Ia berdiri dan berjalan.
“Kenapa kau tidak menjawabku?” kataku bergetar. Sou menoleh ke arahku. Lalu ia tersenyum manis.
“Aku rasa kau sudah tau jawabannya.” Kata Sou lalu berjalan lagi. Aku berdiri dan langsung berlari memeluk Sou dari belakang.
“Katakan, kau menyukaiku.” Kataku. Tanganku melingkar memeluk tubuh Sou. Tangan Sou menggenggam tanganku dari depan.
“Aku menyukaimu.”
Aku melepas pelukanku. Aku mengusap airmataku. Entah kenapa, aku malah menangis.
“Kenapa kau malah menangis?” tanya Sou.
“Aku, aku juga tidak tau. Aku t-terlalu bahagia.” Kataku tergerapap. Tangan Sou menyentuh pundakku. Ia tersenyum menatapku.
“Mulai sekarang, aku berhak melarangmu mendekati laki-laki manapun. Sekarang kau milikku.” Kata Sou lembbut. Aku mengangguk.
“Iya. Kau tenang saja. Akan aku pastikan aku hanya untukmu.” Kataku diakhiri senyum. Kami sama-sama tersenyum. Lalu berjalan berdampingan untuk pulang. Selama perjalanan, Sou sama sekali tidak melepas genggamannya ditanganku.
Tuhan, betapa indah cinta yang kau beri...




Nama : Icha Zahra Octavianna
TTL : Tangerang, 07 Oktober 1996
Twitter : @KENzeira

_ 25th of April 2012 _