Selasa, 12 Maret 2013

Dear Diary #1



Aku bertemu dengannya ketika usiaku menginjak tiga belas tahun. Nama anak perempuan itu Icha Zahra – begitulah yang kutangkap dari papan namanya. Aku tidak tahu harus bagaimana menggambarkannya – tapi percayalah, dia anak perempuan yang terlihat sangat angkuh dan arogan.
Dia memiliki pony yang menjuntai panjang sampai melewati batas lehernya, rambut tipis dan panjangnya ia ikat menjadi satu, seperti ekor kuda. Dia sama sekali bukan anak perempuan yang manis dan cantik, tapi entah kenapa aku memperhatikannya sampai sejauh ini.
Gugus tujuh.
Aku tidak menyangka bisa satu gugus dengannya. Aku tidak tahu apakah itu berita baik atau buruk, tapi kupikir aku akan lebih banyak mengetahui apa yang anak perempuan itu lakukan. Kedua kakak senior –aku tidak tahu namanya– meminta perwakilan dua orang untuk menyanyi di depan kelas. Dengan memaksa. Ya, bagiku, MOS atau masa orientasi siswa hanya topeng untuk membully anak-anak baru.
Dan satu anak laki-laki di tunjuk, anak laki-laki yang duduk di sebelahku. Tadinya kupikir aku yang akan di tunjuk, ternyata keberuntungan sedang memihak padaku. Jujur saja aku tidak pandai menyanyi. Aku bisa membuat kaca jendela pecah kalau memaksa menyanyi. Dan ternyata, suara anak laki-laki itu tak lebih baik dariku – itu menurutku.
Dan apakah kau tahu? Seusai anak laki-laki itu menyanyi, kakak senior itu menunjuk ke arah paling belakang – tepat ke arah anak perempuan itu. Icha Zahra. Dia terlihat melirik kesana-kemari, memastikan bahwa memang dirinyalah yang di tunjuk. Aku terus melihat wajahnya yang gugup. Astaga, ini lucu sekali. Anak perempuan yang angkuh itu ternyata bisa gugup. Tak lama setelah itu, ia berdiri dan melangkah menuju ke depan kelas.
Aku tidak tahu telingaku yang terganggu atau bagaimana, tapi suaranya terdengar sangat aneh ketika menyanyi. Seperti tikus, mencicit. Aku hendak tertawa tapi tentu saja aku tidak melakukannya. Percayakan. Kurasa itu judul lagu yang dinyanyikannya. Suaranya mugkin saja bagus, tapi kurasa akan lebih bagus kalau ia tak bernyanyi.
Ah, catatan tambahan. Dia sering menggunakan matanya untuk mengancam. Harus aku akui, wajahnya menyeramkan ketika alis itu saring bertautan – matanya seperti penuh kebencian. Aku memiliki gagasan itu karena aku –dengan sengaja– menjegal kakinya. Ia nyaris jatuh, setelah itu ia memperlihatkan wajah iblisnya. Uhh… benar-benar anak perempuan yang angkuh. Rasanya akan menyenangkan bila membuatnya bertekuk lutut. Bukankah begitu?
Dia hanya memiliki tiga teman. Sungguh. Aku tidak tahu bagaimana bisa ada orang yang mau berteman dengan anak perempuan sepertinya. Bahkan bagiku, tiga teman itu terlalu banyak.
Akhirnya masa MOS akan segera berakhir. Setelah acara malam ini, hari senin berikutnya aku hanya tinggal masuk dan menunggu pengumuman pembagian kelas. Tapi, sebelum kita beranjak ke hari senin, aku ingin menceritakan hal menarik tepat di malam pentas seni itu.
Aku baru tahu kalau ternyata anak perempuan pemilik nama Icha Zahra itu sedang mengagumi seseorang. Aku kerap kali melihatnya yang tengah anteng memperhatikan anak laki-laki yang tak lebih tampan dariku, tepat malam itu. Anak laki-laki itu tinggi kurus. Sayang sekali, aku justru menyeringai melihat wajahnya yang sedih karena tahu kalau anak laki-laki yang disukainya itu sudah memiliki kekasih.
Malam pentas seni penutupan MOS itu berjalan dengan lancar. Semua junior-junior yang akan masuk ke SMP itu terlihat bahagia, mungkin dia pengecualian. Tapi, ternyata dugaanku salah. Dia justru terlihat berlari-lari tidak jelas dengan temannya yang bernama Devi itu. Tertawa dengan temannya yang satu itu sambil memandang langit hitam bertabur fireworks.
Dia tertawa. Disaat semua orang memandang langit yang di taburi petasan-petasan indah itu, aku justru terpaku memandangnya. Dia sungguh-sungguh tertawa. Sayang, aku tak bisa menangkap percakapan apa yang membuatnya tertawa.
Aku sadar.
Anak perempuan yang sama sekali tidak menarik itu, membuatku tertarik. Aku tak akan memperhatikannya sampai sejauh ini kalau aku tidak tertarik, aku bahkan mengetahui nama temannya yang jauh lebih cantik darinya itu – teman yang tertawa bersamanya.
Icha Zahra. Anak perempuan angkuh yang waktu itu mengenakan sweater pink membuatku penasaran. Semakin tahu banyak tentangnya membuatku semakin penasaran. Aku ingin tahu bagaimana dia mendapatkan mata menyeramkan itu, bagaimana dia mendapatkan tiga teman itu. Sepertinya akan menarik.


Memory of July 2009