Aku
bertemu dengannya ketika usiaku menginjak tiga belas tahun. Nama anak perempuan
itu Icha Zahra – begitulah yang kutangkap dari papan namanya. Aku tidak tahu
harus bagaimana menggambarkannya – tapi percayalah, dia anak perempuan yang
terlihat sangat angkuh dan arogan.
Dia
memiliki pony yang menjuntai panjang
sampai melewati batas lehernya, rambut tipis dan panjangnya ia ikat menjadi
satu, seperti ekor kuda. Dia sama sekali bukan anak perempuan yang manis dan
cantik, tapi entah kenapa aku memperhatikannya sampai sejauh ini.
Gugus
tujuh.
Aku
tidak menyangka bisa satu gugus dengannya. Aku tidak tahu apakah itu berita
baik atau buruk, tapi kupikir aku akan lebih banyak mengetahui apa yang anak
perempuan itu lakukan. Kedua kakak senior –aku tidak tahu namanya– meminta perwakilan
dua orang untuk menyanyi di depan kelas. Dengan memaksa. Ya, bagiku, MOS atau
masa orientasi siswa hanya topeng untuk membully
anak-anak baru.
Dan
satu anak laki-laki di tunjuk, anak laki-laki yang duduk di sebelahku. Tadinya kupikir
aku yang akan di tunjuk, ternyata keberuntungan sedang memihak padaku. Jujur saja
aku tidak pandai menyanyi. Aku bisa membuat kaca jendela pecah kalau memaksa
menyanyi. Dan ternyata, suara anak laki-laki itu tak lebih baik dariku – itu menurutku.
Dan
apakah kau tahu? Seusai anak laki-laki itu menyanyi, kakak senior itu menunjuk
ke arah paling belakang – tepat ke arah anak perempuan itu. Icha Zahra. Dia terlihat
melirik kesana-kemari, memastikan bahwa memang dirinyalah yang di tunjuk. Aku terus
melihat wajahnya yang gugup. Astaga, ini lucu sekali. Anak perempuan yang
angkuh itu ternyata bisa gugup. Tak lama setelah itu, ia berdiri dan melangkah
menuju ke depan kelas.
Aku
tidak tahu telingaku yang terganggu atau bagaimana, tapi suaranya terdengar
sangat aneh ketika menyanyi. Seperti tikus, mencicit. Aku hendak tertawa tapi
tentu saja aku tidak melakukannya. Percayakan.
Kurasa itu judul lagu yang dinyanyikannya. Suaranya mugkin saja bagus, tapi
kurasa akan lebih bagus kalau ia tak bernyanyi.
Ah,
catatan tambahan. Dia sering menggunakan matanya untuk mengancam. Harus aku
akui, wajahnya menyeramkan ketika alis itu saring bertautan – matanya seperti
penuh kebencian. Aku memiliki gagasan itu karena aku –dengan sengaja– menjegal kakinya.
Ia nyaris jatuh, setelah itu ia memperlihatkan wajah iblisnya. Uhh… benar-benar
anak perempuan yang angkuh. Rasanya akan menyenangkan bila membuatnya bertekuk
lutut. Bukankah begitu?
Dia
hanya memiliki tiga teman. Sungguh. Aku tidak tahu bagaimana bisa ada orang
yang mau berteman dengan anak perempuan sepertinya. Bahkan bagiku, tiga teman
itu terlalu banyak.
Akhirnya
masa MOS akan segera berakhir. Setelah acara malam ini, hari senin berikutnya
aku hanya tinggal masuk dan menunggu pengumuman pembagian kelas. Tapi, sebelum
kita beranjak ke hari senin, aku ingin menceritakan hal menarik tepat di malam
pentas seni itu.
Aku
baru tahu kalau ternyata anak perempuan pemilik nama Icha Zahra itu sedang
mengagumi seseorang. Aku kerap kali melihatnya yang tengah anteng memperhatikan
anak laki-laki yang tak lebih tampan dariku, tepat malam itu. Anak laki-laki
itu tinggi kurus. Sayang sekali, aku justru menyeringai melihat wajahnya yang
sedih karena tahu kalau anak laki-laki yang disukainya itu sudah memiliki
kekasih.
Malam
pentas seni penutupan MOS itu berjalan dengan lancar. Semua junior-junior yang
akan masuk ke SMP itu terlihat bahagia, mungkin dia pengecualian. Tapi,
ternyata dugaanku salah. Dia justru terlihat berlari-lari tidak jelas dengan
temannya yang bernama Devi itu. Tertawa dengan temannya yang satu itu sambil
memandang langit hitam bertabur fireworks.
Dia
tertawa. Disaat semua orang memandang langit yang di taburi petasan-petasan
indah itu, aku justru terpaku memandangnya. Dia sungguh-sungguh tertawa. Sayang,
aku tak bisa menangkap percakapan apa yang membuatnya tertawa.
Aku
sadar.
Anak
perempuan yang sama sekali tidak menarik itu, membuatku tertarik. Aku tak akan
memperhatikannya sampai sejauh ini kalau aku tidak tertarik, aku bahkan
mengetahui nama temannya yang jauh lebih cantik darinya itu – teman yang
tertawa bersamanya.
Icha
Zahra. Anak perempuan angkuh yang waktu itu mengenakan sweater pink membuatku
penasaran. Semakin tahu banyak tentangnya membuatku semakin penasaran. Aku ingin
tahu bagaimana dia mendapatkan mata menyeramkan itu, bagaimana dia mendapatkan
tiga teman itu. Sepertinya akan menarik.
Memory of July 2009