Destiny?
© KENzeira
Rate
: T
-:-:-:-:-
Chapter 4 : Maybe…?
Happy Reading
~oOo~
Jung
Yunho melangkahkan kakinya dengan gontai. Ia tak mengerti bagaimana bisa
mulutnya berkata seperti itu. Mungkin memang benar apa yang Jaejoong katakan,
kalau ia terlalu sadis dalam berkata.
“Aku baik padanya karena dia adalah adikmu. Aku
menghargainya. Kalau aku tidak menghargainya, bukankah itu sama dengan aku
tidak menghargaimu… lagi?”
“Aku tidak akan melakukan itu. Bawa kembali adikmu,
aku tidak tahan dengan sifatnya yang kekanakan.”
Yunho
akui, Kim Jaejoong memang remaja yang kekanakan, tapi bukankah ia lebih
kekanakan kalau ia bersifat seolah ia paling benar? Bahkan dari caranya menjaga
kerapihan rumahpun tidak lebih baik dari Jaejoong. Laki-laki bermarga Kim itu
sangat tahu bagaimana cara memasak yang enak, bagaimana cara cepat membersihkan
rumah, dan cara untuk membuat Yunho kembali memunculkan senyumnya.
Tak
ada yang bisa membuat Yunho memikirkan itu berkali-kali. Mungkin inilah awal
baru baginya untuk memperbaiki diri – menjadi lebih baik, dan tidak berkata
ketus apalagi kasar. Apakah belum terlambat? Kalaupun sudah terlambat, ia tetap
akan melakukan segala cara agar mengubah dirinya secara total. Dengan begitu,
Jaejoong akan tetap datang ke rumahnya, kan? Remaja itu pasti akan senang
melihat perubahan Yunho, ‘kan?
Tak
terasa ia sudah berada di depan pintu rumahnya. Pria bermanik musang itu
mengeluarkan kunci dari saku celananya.
‘Cklek’
Rumahnya
gelap. Hari ini ia pulang lebih sore dari biasanya, karena ia harus memenuhi
janjinya untuk menemui Seon Hee. Seharusnya ia langsung pulang, tapi Yunho
memutuskan untuk minum beberapa soju. Ia butuh pelampiasan untuk segala
kebodohan yang ia lakukan hari ini. Meskipun Yunho tahu, kalau hanya
minum-minum saja tak ada penyelesaian.
Tangan
Yunho menekan stop contac untuk
menghidupkan lampu. Pria akhir 20-an itu memandangi sekeliling rumahnya yang
entah kenapa bisa rapi. Padahal ia ingat, pagi hari sebelum berangkat mengajar
ia menyimpan baju-baju kotornya secara sembarangan. Kemana baju kotor itu?
Jaejoong tak mungkin datang kemari karena rumahnya sudah Yunho kunci.
Jung
Yunho melangkah menuju living room.
Dan ia mendapatkan pemandangan yang sangat manis. Bagaimana tidak? Ternyata ada
remaja yang akhir-akhir ini dipikirkannya, namja
berwajah cantik itu tengah terlelap di sofa dengan televisi yang masih menyala.
Yunho tidak tahu bagaimana cara Jaejoong masuk ke rumahnya tanpa lewat pintu
depan.
Pria
berparas tampan itu melangkah dan mengambil remote
kemudian mematikan televisi. Mata musang itu memandang Jaejoong yang tertidur
sangat lelap. Dilihat dari posisi tidurnya, Yunho yakin jika laki-laki bermata
besar itu akan merasa lehernya sakit jika ia bangun nanti. Bagaimana tidak?
Kepalanya bersandar pada pegangan sofa yang sama sekali tidak empuk.
Akhirnya
Yunho memutuskan untuk mengambil bantal dan membetulkan letak kepala Jaejoong.
Dengan begitu, kepala namja cantik
itu tidak akan sakit jika sudah bangun nanti. Dan tidak lupa, guru matematika
itu juga menyelimuti sebagian tubuh laki-laki yang kerap kali dipanggil ‘bocah
labil’ olehnya itu. Tanpa Yunho sadari, ia tersenyum sendiri sambil memandangi
Jaejoong.
Biarlah
hari ini namja cantik itu menginap di
rumahnya. Demi Tuhan, Yunho tak ingin mengganggu tidur seorang Kim Jaejoong.
.
.
.
“Kenapa
kau tidak membangunkanku, guru jelek?”
Yunho
menoleh ka arah sumber suara. Ada Kim Jaejoong dengan wajah sehabis bangun
tidurnya.
“Aku
tidak ingin mengganggu tidurmu. Kau tidur sangat nyenyak.” Jawab Yunho lalu
kembali melanjutkan acara masaknya. Yunho merasakan kaki Jaejoong yang mendekat
ke arahnya.
“Kau
membuat kimchi?”
“Ya,
kalau kau mau aku akan membuat porsi lebih banyak.”
“Kau
yakin buatanmu enak? Tak biasanya kau membuat kimchi.” Celetuk Jaejoong. Yunho
tersenyum kecil mendengarnya.
“Aku
tidak bisa memasak makanan yang enak. Mungkin kimchi buatanku itu ala kadarnya.
Kau kan tahu kalau aku selalu membuat makanan instan.” Tutur Yunho lalu
menyalakan kompor.
“Kalau
begitu, biar aku saja yang masak.”
.
.
.
10
menit kemudian…
“Sepertinya
kau cocok jadi pembantu rumah tangga. Kau pintar membersihkan rumah dan pintar
memasak.” Ujar Yunho sambil menyuapkan kimchi ke mulutnya.
“Mwo? Jahat sekali. Aku lebih cocok jadi chef.” Kata Jaejoong percaya diri.
Tangannya mengaduk-ngaduk kimchi dalam mangkuknya lalu melahapnya.
“Orang
akan berpikir seribu kali untuk mencoba masakanmu. Mereka pasti mengira kau
memasukan berbagai racun dalam adonan. Wajahmu tidak meyakinkan untuk bisa
menarik pelanggan.” Kata Yunho sadis. Jaejoong tetap melanjutkan makan.
“Wajahmu
lebih tidak meyakinkan lagi, guru jelek.” Rasanya perkataan Jaejoong dua kali
lipat lebih sadis daripada ucapan Yunho. Pria bermarga Jung itu hanya bisa
mendengus.
“Oh?
Aku baru sadar kalau kita adalah duo sadistik.” Celetuk Yunho lalu tertawa.
“Cocok sekali.” Lanjutnya. Jaejoong ikut tertawa.
“Ya,
akan lebih cocok kalau kita menikah.” Ujar Jaejoong polos. Di telinga Yunho
perkataan itu adalah sebuah candaan – tapi, tidak bagi Jaejoong. Ia serius
mengatakannya.
“Hahaha,
ya, setelah itu kita akan mempunyai anak!” lanjut Yunho asal. Ia tidak tahu
kalau perkataannya dianggap serius oleh Jaejoong, terbukti setelah mengatakan
itu wajah namja cantik itu berubah.
Menjadi lebih serius dan sedikit menegang.
“A-anak?”
mendadak Jaejoong gugup layaknya Hinata. Eh – tunggu, siapa itu Hinata?
“Dasar,
pabbo! Meski melakukan hubungan intim
berkali-kali denganku, kau tidak akan mengandung, kau itu seorang namja.” Cerocos Yunho. Dan tebak, apa
yang ada dipikiran Jaejoong? Komidi putar! Ya, sangat memusingkan!
“Hubungan
intim? Jadi, benar ya kalau pasangan sesama jenis itu melakukan hubungan intim
dengan menyodo –” belum selesai Jaejoong bicara, sendok berhasil melayang tepat
mengenai kepalanya. Siapa lagi yang melayangkan sendok tersebut kalau bukan
Yunho?
“Jaga
bicaramu, Kim Jaejoong!” kata Yunho dengan penuh penekanan dalam tiap katanya.
Yang menjadi korban sendok melayang itu hanya meringis kesakitan sambil
memegangi bekas pendaratan sendok tersebut.
“Ya! Sakit sekali!” ringis Jaejoong lalu memayunkan
bibir kissable-nya. “Aku kan hanya
ingin memastikan benar atau tidaknya. Siapa tahu komik yang dibaca Junsu itu
hanya bohong.” Lanjutnya.
“Komik?”
“Ya, komik. Cerita bergambar berjudul ‘Junk!Boys’ yang ada adegan laki-laki
dengan laki-laki yang menyodo –”
‘Bletak!’
Kali ini jauh lebih sakit. Tangan Yunho langsung
yang mendaratkan jitakannya di kepala Jaejoong yang polos nan innocent itu. Cukup sudah membicarakan
hal-hal yang vulgar seperti ini. Ingat, hey! FF ini rating-nya T bukan M! – eh?
Yunho menyudahi acara makannya. Mendadak nafsunya
hilang seiring dengan datangnya pikiran mesum yang berkemelut di otak
cerdasnya. Yunho bersusah payah untuk membunuh pikiran nan seronok dan jorok
itu.
.
.
.
Kaki panjang itu tersimpan dengan amat tidak sopan
di atas meja. Punggungnya bersandar pada sandaran sofa, tak lupa lengannya yang
menekan-nekan tombol remote televisi.
Kim Jaejoong mengerutkan bibirnya lucu ketika memandang layar televisi yang
menampilkan acara membosankan.
“Kenapa tidak ada acara yang bermutu?! Menyebalkan.”
Jaejoong bermonolog sendiri. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul sebelas
malam, tapi laki-laki bermata doe itu tidak mengantuk sama sekali. Mungkin
karena seharian setelah membereskan rumah Yunho ia tertidur di sofa, jadilah ia
tidak mengantuk sekarang.
“Hey, tidurlah sana. Bukankah besok kau sekolah
pagi?” Yunho datang dengan membawa kopi. Pria bermanik musang itu duduk di
samping Jaejoong lalu mengaduk-ngaduk kopinya.
“Aku tidak mengantuk, guru jelek.” Celetuk Jaejoong
lalu mencuri kopi dari lengan Yunho. Guru matematika itu mencibir ketika
kopinya direbut Jaejoong. “Aww… panas!”
“Rasakan!” cetus Yunho galak. Pasalnya Jaejoong
langsung menyeruput kopinya tanpa tahu kalau kopi tersebut masih panas.
Mungkin, bisa dibilang ganjaran karena seenaknya mengambil kopi orang. Kim
Jaejoong mengipas-ngipasi bibirnya dengan tangan, rasanya panas sekali.
“Omooo!
Jahat sekali kau!”
Yunho terkekeh pelan, mendadak ia teringat sesuatu.
“Jae, kau sudah bilang pada ibumu kalau kau menginap di rumahku lagi?”
Jaejoong mengangguk polos. “Sudah, bahkan ketika aku
berpamitan mau berangkat sekolah. Aku sudah berencana akan menginap di sini.”
“Ahh… jadi, kau benar-benar menganggap rumaku adalah
rumahmu?”
Kali ini Jaejoong mengangguk dengan mata besarnya
yang bersinar-sinar. Melihat Jaejoong yang seperti itu membuat siapa saja betah
memandangnya. Apalagi kalau orang yang melihatnya tersebut menyukai kucing –
eh, intinya saat ini Kim Jaejoong lebih lucu dari anak kucing. Bukan berarti
Jaejoong itu kucing. Tapi, yang alergi kucing mungkin pengecualian. Lho?
“Tch! Dosa apa aku sampai bisa menemukan manusia
sepertimu.” Keluh Yunho.
“Memangnya kenapa? Aku terlalu imut ya?”
“Percaya diri sekali. Kau bahkan tidak lebih imut
dari anjing tetanggaku.”
“Tch, kau sama sekali tidak bosan ya berkata ketus.”
Celetuk Jaejoong lalu menekan tombol pada remote
– mencoba mengubah kembali saluran televisi.
Kini keduanya tak mengeluarkan satu katapun. Mata
besar Jaejoong sibuk menonton acara televisi yang sebenarnya tidak menarik,
sedangkan Yunho, meski matanya memandang ke arah televisi tapi ia sibuk dengan
pikirannya sendiri.
‘Kau tahu?
Jaejoong adalah adik yang paling aku sayang di dunia ini. Aku tidak akan
membiarkan ia kecewa apalagi terluka hanya karena orang egois sepertimu. Aku
akan melakukan apapun untuk merebut Jaejoong darimu sebelum kau benar-benar
membuatnya menangis.’
Entah sudah berapa kali kalimat Seon Hee
terngiang-ngiang di telinga Yunho. Pria bermarga Jung tersebut mulai gelisah.
Demi Tuhan, ia tak pernah seperti ini, tak pernah semenyesal ini. Kalau ia
memiliki mesin waktu, ia akan melakukan apapun untuk memperbaiki kalimatnya.
Jung Yunho sadar sekarang, ia bukan hanya tidak siap menghadapi rumahnya yang
akan kembali sepi kalau Jaejoong pergi, tapi ia juga tidak siap tidak melihat
keceriaan Jaejoong lagi.
“Jaejoong, kenapa kau – ”
“Joongie,” sela Jaejoong.
“Ya, terserah apapun itu. Kenapa kau begitu
terobsesi ingin menjadi kekasihku?” tanya Yunho. Entah apa yang membuat Kim
Jaejoong terdiam, Yunho tidak tahu itu.
“Aku…” sial!
Umpat Jaejoong dalam hati. Bahkan ia tidak tahu kenapa ia begitu terobsesi
ingin menjadi kekasih Yunho. Yang ia tahu ia hanya mencoba memenuhi sumpah yang
pernah dibuatnya waktu itu.
“Waeyo, Joongie?”
“Uh… aku… aku hanya ingin memenuhi sumpahku.” Jawab
Jaejoong. Kedua alis Yunho mengernyit. Tidak mengerti.
“Sumpah?”
“Ya, sumpah. Aku pernah bersumpah, siapapun yang
menolongku ketika aku dikeroyok senior waktu itu, ia akan kujadikan kekasihku
selamanya. Dan kau datang menolongku.” Jelas Jaejoong. Yunho cengok. Yang ada
dalam pikirannya saat itu adalah… konyol!
“Mwo? Jadi, hanya itu? Jadi, kau tidak
menyukaiku?” tanya Yunho tidak percaya.
“Aku
juga tidak tahu sih. Tapi, mungkin aku juga menyukaimu.”
“Mungkin?!”
rasanya Yunho mau menggelindingkan tubuhnya sendiri di aspal. Apa-apaan remaja
ini? Seenaknya saja berkata demikian hanya karena sumpah?!
“Iya,
mungkin.” Jawab Jaejoong mantap. Kedua bola mata doe itu berkedip-kedip lucu.
Jung Yunho menepak jidatnya sendiri.
“Astagaaa!”
“Waeyo? Kenapa kau bertanya seperti itu,
guru jelek? Kau menyukaiku ya?”
“Tidak!”
“Kau
menjawab terlalu cepat. Ayo, akui saja kalau kau menyukaiku! Aku akan sangat
senang mendengarnya.” tutur Jaejoong. Yunho mendesah pelan.
“Tch!
Aku sendiri tidak tahu!” jawab Yunho ketus.
“Tidak
tahu atau tidak mau mengaku?” goda laki-laki berambut almond tersebut.
“Aku
tidak tahu!”
“Kalau
begitu, aku ingin kau menjadi tahu. Oh, ayolah…”
Jung
Yunho memejamkan mata musangnya rapat-rapat. Semakin ia memejamkannya, semakin
ia berdebar-debar. Sebegitu dahsyat kah pengaruh Jaejoong untuknya? Benarkah
Yunho menyukai remaja itu? Tapi, kenapa? Bukankah Kim Jaejoong adalah seorang
laki-laki?
Yunho
kembali membuka matanya. Kini mata musang itu menatap intens ke arah bola mata doe di sampingnya. Ditatap seperti itu
membuat bulu kuduk Jaejoong berdiri, ia merasa seluruh tubuhnya mendingin.
Entah apa yang membuat Jaejoong tak bisa menggerakkan satu jarinya pun, yang
jelas saat in ia merasa seluruh tubuhnya membeku ketika Yunho mendekatkan
wajahnya ke wajah Jaejoong.
Doki-doki!
Dan
terpejamlah kedua mata besar milik Jaejoong. Remaja itu seolah sudah siap
dengan apa yang akan dilakukan Yunho padanya. Jung Yunho sendiri tidak
menyangka ia akan berdebar-debar seperti ini. Selama beberapa detik lamanya
kedua bibir itu saling berhadapan nyaris menempel, mungkin hanya terhalang satu
senti saja. Yunho ragu, apakah ia harus mencium Jaejoong untuk mengetahui
apakah ia menyukai laki-laki itu?
Merasa
tak ada yang terjadi, Jaejoong kembali membuka matanya. Dan ia mendapati wajah
Yunho tepat di depan wajahnya. Mata musang itu tak berkedip memandang mata
Jaejoong. Sampai akhirnya kedua bibir itu menempel. Benar-benar menempel.
Yunho
merasakan dadanya semakin berdesir hebat ketika bibirnya berhasil mendarat. Ada
sesuatu yang menggelitik hatinya ketika ia merasakan bibir yang hangat itu. Tak
berbeda jauh dengan Jaejoong. Ia pun merasakan hal serupa. Dadanya bergemuruh
hebat ketika ia merasakan bibir Yunho menempel di bibirnya.
“Engghh…”
Yunho
segera menjauhkan wajahnya yang sudah berubah menjadi merah. Kini otaknya
kembali berfungsi. Tangannya mengelap sendiri bibir berbentuk hati miliknya. Ia
tak menyangka akan benar-benar mencium Jaejoong.
“W-waeyo?
Kenapa kau menciumku?”
“Aku…
mungkin… mungkin aku memang menyukaimu.”
.
.
.
‘Ada
apa denganmu, Yunho?’
Yunho
tak hentinya bertanya pada dirinya sendiri. Sebenarnya ada apa dengan dirinya?
Ini pertama kali dalam hidupnya ia merasa sangat berdebar ketika berada dekat
dengan laki-laki. Ia memang menyadari kalau dirinya tidak pernah menyukai
perempuan. Tapi, sebegitu dahsyatkah pengaruh Jaejoong untuknya?
Mata
musang itu memandang ke arah Jaejoong yang tertidur dengan damai di ranjangnya.
Bahkan disaat tertidur pun Jaejoong mampu membuat Yunho berdebar. Ia memandang
ke arah bibir kissable itu, mendadak
tubuhnya terasa dingin ketika mengingat barusan ia telah mencium bibir itu.
‘Apa
yang kau lakukan padaku, Jaejoong? Kenapa kau bisa membuatku seperti ini? Apa
hebatnya dirimu sampai bisa membuatku nyaris gila?’
Yunho
merebahkan tubuhnya di samping Jaejoong. Ingin sekali ia memeluk laki-laki di
sampingnya itu. Tapi, mungkin ketika ia memeluknya ia tidak akan mau
melepaskannya lagi. Yunho memilih untuk diam sampai matanya benar-benar
terpejam.
~oOo~
“Joongie,
aku ingin membicarakan sesuatu padamu.” Kata Seon Hee. Jaejoong yang baru
pulang sekolah langsung menghampiri sang noona.
“Bicara
apa, noona?” tanya Jaejoong. Mata
besarnya berkedip-kedip.
Melihat
adiknya yang seperti itu membuat Seon Hee ragu, apakah ia harus mengatakan
kebenarannya mengenai hubungannya dengan Yunho di masalalu? Tapi, kenapa ia
harus melakukannya? Supaya Yunho tidak menyakiti adiknya? Bukankah kalau Seon
Hee mengatakan kebenarannya justru dirinyalah yang menyakiti Jaejoong?
Entahlah.
Seon Hee tak tahu harus bagaimana. Tapi, lambat laun Jaejoong pasti akan
mengetahui kebenarannya. Dan Seon Hee yakin, adik bungsunya itu pasti akan
lebih terluka kalau ia mengetahuinya sendiri. Bukankah lebih baik kalau ia
memberitahu Jaejoong?
“Jae,
sebenarnya aku dan Yunho…”
-:-:-:-:-
“Yaak!
Mati kau!”
Pip
pip pip~!
‘YOU WIN’
“Aishh…
bagaimana bisa aku kalah telak darimu, Joongie?” tanya Junsu seolah tak percaya
dengan apa yang terjadi. Hey, seorang Junsu dikalahkan Jaejoong bermain playstations? Yang benar saja!
“Hahahaha~!
Hari ini aku sedang bahagia, pastikan kau tidak menangis, Su-ie. Mungkin kau
akan kalah terus dariku.” Kata Jaejoong percaya diri. Junsu mendengus sebal.
“Wajahmu
tak menunjukkan kau sedang bahagia.” Celetuk Junsu asal. Tapi, entah kenapa
perkataan itu sukses membuat Jaejoong bungkam. “Ya! Kenapa kau malah melamun?!”
“Ah,
mianhae, Su. Kajja, kita bertarung lagi~!”
Mendadak
layar televisi yang tengah menayangkan gambar dua karakter sedang bergulat itu
berubah menjadi hitam. Junsu sengaja mematikan playstations-nya.
“Waeyo? Kenapa kau mematikannya, Su-ie?
Kau kalah sebelum bertarung, eoh?”
tanya Jaejoong ketus. Mata kecil Junsu memandang ke arah mata besar Jaejoong
lekat-lekat.
“Apa
yang sedang kau sembunyikan dariku, Joongie? Tak biasanya kau mengajakku main playstations.” Tanya Junsu.
“Aniya, aku tidak menyembunyikan apapun.”
Jawab Jaejoong bohong. Junsu semakin menatap lekat-lekat sepupunya dan membuat
Jaejoong memejamkan matanya kuat-kuat. Ia tidak mau Junsu mengetahui kalau
dirinya sedang berbohong.
“Oh,
ayolah~!”
Jaejoong
bungkam lagi. Ia bingung harus bagaimana,
“Su?”
“Ya?”
“Kau
pernah berciuman dengan Yoochun?” tanya Jaejoong. Wajah Junsu merah padam.
Bagaimana bisa disaat seperti ini Jaejoong malah bertanya soal itu?
“Kenapa
tiba-tiba kau menanyakan hal seperti itu?”
“Kenapa
tidak jawab saja?”
“Aishh…
ya, aku pernah berciuman dengan Yoochunnie-ku. Memangnya kenapa?” akhirnya mau
tak mau Junsu jujur juga.
“Berapa
kali?”
“Ah,
sebentar…” Junsu menghitung dengan jari-jarinya. Kemudian ia mengacak-ngacak
rambutnya dan menggeleng. “Aku tidak tahu. Jariku tak bisa menghitungnya,
kurasa lebih dari sepuluh.”
“Mwo? Sebanyak itu?”
“Ya!
Kau ini kenapa menanyakan hal pribadi seperti itu, huh?” cetus Junsu sambil
berkacak pinggang.
“Aku
juga pernah. Hanya satu kali.” Kata Jaejoong tanpa ditanya.
“Dengan
guru matematika itu?” selidik Junsu. Jaejoong mengangguk mantap.
“Ya,
dengan siapa lagi?”
“Bagaimana
rasanya?” tanya Junsu penasaran. Meskipun ia sudah tahu bagaimana rasanya, tapi
ia tetap penasaran dengan apa yang dirasakan sepupunya.
“Hmmm…
lembut dan mendebarkan.” Jawab Jaejoong.
“”Omooo! Kau benar-benar menyukai guru
matematika itu ternyata.”
“Kurasa
begitu.”
“Lalu,
apa yang membuatmu melamun?” Junsu tidak mau melupakan begitu saja perihal apa
yang membuat Jaejoong melamun. Meskipun nada bicara Jaejoong masih sama, tapi
wajahnya berbeda. Jaejoong seperti sedang sedih.
“Ah,
tidak apa-apa. Aku hanya merasa kaget saja, kau tahu itu pertama kalinya aku
berciuman.” Jawab Jaejoong. Junsu mengangguk-ngagguk mengerti.
“Ya,
aku juga seperti itu waktu pertama kali. Kalau begitu, kajja kita main playstations
lagi~!” ajak Junsu, Jaejoong mengagguk bersemangat.
Sementara
itu di tempat Seon Hee…
‘Aku ingin bicara padamu. Bisa kau temui aku di
Kedai XX?’
Wanita
itu menatap layar ponselnya berkali-kali. Sebuah pesan singkat dari Yunho
membuatnya bingung. Apakah ia harus menemui laki-laki itu? Sebenarnya apa lagi
yang ingin dibicarakan Yunho?
‘Aku akan kesana sebentar lagi.’
Akhirnya
Seon Hee membalas pesan singkat Yunho. Seon Hee menatap pantulan dirinya di
depan cermin lalu mulai merapikan rambutnya.
.
.
.
“Apa
yang ingin kau bicarakan, Yunho?” tanya Seon Hee. Saat ini Yunho dan Seon Hee
tengah berada di sebuah kedai kopi, dua anak manusia itu duduk saling
berhadapan dengan satu gelas kopi di masing-masing lengannya.
“Aku
ingin meminta maaf soal beberapa hari yang lalu. Saat itu aku hilang kendali
dan mengatakan apa yang tak seharusnya kukatakan.” Tutur Yunho to the point.
“Apa
aku sedang bermimpi? Maksudku – astaga, seorang Jung Yunho meminta maaf? Ada
apa denganmu?” tanya Seon Hee heran. Sejujurnya ia sudah tidak ingin bicara
apapun lagi dengan Yunho, hanya saja hati kecilnya justru berkata sebaliknya.
“Mianhae, mungkin ini terlihat lucu
bagimu. Tapi, aku benar-benar minta maaf.”
Seon
Hee menghela nafas panjang lalu menghembuskannya. “Aku tidak tahu apa yang
terjadi pada dirimu. Tapi, jika hanya ini yang ingin kau bicarakan sebaiknya
sekarang aku pulang.”
“Tidak
– tunggu, aku belum selesai.” Yunho menahan pergelangan tangan Seon Hee yang
hendak pergi. Wanita berusia 27 tahun itu terdiam sambil melihat pergelangan
tangannya yang ditahan oleh Yunho. Dengan cepat, Yunho melepaskannya.
“Aku
beri kau waktu lima menit. Jadi, bicaralah dan selesaikan semuanya segera.”
Cetus Seon Hee. Yunho menelan ludahnya susah payah. Apa ia harus melakukan ini?
“Aku…
aku sepertinya mencintai adikmu… ya, adikmu, Kim Jaejoong. Bisakah kau
membatalkan niatmu untuk mengambil Jaejoong dariku?” tutur Yunho dengan
pandangan mata yang benar-benar serius. Mata Seon Hee membelalak sempurna.
Sebenarnya apa-apaan ini?
“Apa
maksudmu?”
“Jaejoong
mungkin memang remaja labil yang menyebalkan. Tapi, meskipun begitu ia sangat
berarti untukku. Ia mungkin memang kekanakan, tapi aku lebih kekanakan kalau
tak berkata jujur padamu. Kumohon… kumohon biarkan ia tetap bersamaku.” Kata
Yunho. Seon Hee hanya diam mematung. “Aku akan melakukan apapun untuk
membahagiakan Jaejoong. Aku tidak akan berkata kasar padanya, aku akan
melindunginya.” Lanjut Yunho mencoba meyakinkan wanita di hadapannya.
“Apa
yang sebenarnya ada di kepalamu, Yunho?”
“Aku
mencintainya! Kau tahu betul bagaimana aku, Seon Hee. Kau tahu aku tidak pernah
menyukai wanita manapun, kau tahu aku seorang… ah you know what~! Bukankah waktu itu kau juga tidak menyukaiku? Kau
hanya merasa terpaksa menerima perjodohan bodoh itu kan?” cerocos Yunho.
“Tentu
saja. Untuk apa aku menyukai pria sepertimu? Tapi, apakah kau tidak sadar
setelah perceraian itu kau telah membuat keluargamu bangkrut? Kau bahkan di
usir. Apa kau tidak malu mencintai adikku selaku mantan keluargamu? Walau
bagaimanapun juga, Jaejoong pernah menjadi adik iparmu meski ia tak pernah
mengetahuinya.” Tutur Seon Hee.
Benar.
Setelah perceraian itu perusahaan ayahnya menurun drastis. Yunho tahu betul
alasan keluarganya menjodohkannya dengan Seon Hee selaku anak dari rekan bisnis
ayahnya. Perusahaan ayahnya yang nyaris bangkrut akhirnya bisa teratasi setelah
Tuan Kim memberi investasi besar. Tentu saja hal itu terjadi setelah Yunho
menikah dengan Seon Hee.
Tapi,
semuanya tidak berjalan lancar sesuai dengan harapan keluarga Yunho.
Keluarganya tidak pernah tahu kalau anaknya – Yunho, mengalami kelainan
seksual. Ia tak pernah menyukai wanita sekalipun. Dan hanya Seon Hee yang
mengetahui hal tersebut.
Dan
perceraian itu membuat keluarga Kim menarik kembali investasi yang sudah di
tanamnya. Semuanya berantakan. Yunho tak kalah berantakan. Tapi, ia bertahan
sampai ia bisa menjadi guru matematika di salah satu sekolah swasta di Seoul.
Dan
kini seseorang memaksanya kembali mengingat masalalu itu. Kim Jaejoong membuat
Yunho berani menolehkan kepalanya ke belakang, bukan untuk disesali tapi untuk
di perbaiki. Ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Seon Hee yang tak pernah
sekalipun membaik. Ia ingin memperbaiki hubungannya dengan keluarganya.
“Aku
sangat sadar aku salah. Tapi, aku mencintainya. Seon Hee, maukah kau membiarkan
Jaejoong tetap di sisiku? Aku ingin memperkenalkannya pada keluargaku meski aku
tahu keluargaku tidak akan bisa menerimanya begitu saja. Tapi, aku ingin
memiliki Jaejoong seutuhnya, selain itu aku ingin memperbaiki hubunganku dengan
keluargaku.” Tutur Yunho membuat Seon Hee mau tak mau mempercayai perkataan
pria di hadapannya.
“Tapi,
benarkah kau benar-benar mencintainya? Kau tidak memanfaatkannya karena
Jaejoong salah satu keluarga Kim, bukan? Kau tidak sedang berencana untuk
mengembalikan perusahaan ayahmu itu lewat hubunganmu dengan Jaejoong, kan?”
cerocos Seon Hee, meski ia sudah percaya dengan Yunho, tapi sebagian hati
kecilnya masih belum yakin.
“Tidak.
Aku sama sekali tidak memanfaatkannya. Aku sungguh-sungguh mencintainya.”
Katakan,
sekarang Seon Hee harus bagaimana? Ia sudah terlanjur memberitahu Jaejoong
perihal hubungannya dengan Yunho. Sejujurnya ia ingin sekali menyanggupi
permintaan Yunho, tapi apakah Jaejoong masih mau menerima Yunho setelah ia tahu
kebenarannya?
Entahlah.
~oOo~
~ Te Be Ce ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar