Senin, 01 April 2013

Dear Diary #2 Gadis Pemberani


Sebuah Cerpen True Story
Dear Diary #2 : GADIS PEMBERANI
~oOo~
Bisa dibilang ini adalah diary lanjutan dari diary pertama. Kenapa? Karena disini aku masih menceritakan gadis angkuh dan arogan itu. Ya, siapa lagi kalau bukan Icha Zahra? Gadis yang benar-benar membuatku penasaran setengah mati.
Usai acara MOS itu, aku berencana mencari tahu lebih rinci mengenai kehidupannya. Aku merasa gila saat itu. Hey! Aku berkali-kali berkata pada diriku bahwa ia sama sekali bukan tipe-ku, tapi otak bodohku terus menuntutku untuk mengetahui segala sesuatu tentang gadis itu – tidak, anak perempuan itu, dia belum tumbuh menjadi seorang gadis.
Hari itu, minggu. Aku kembali bertemu dengannya.
Astaga! Dan kau tahu apa yang terjadi dengan anak perempuan itu? Dia memotong rambutnya! Aku meraba rambutku sendiri, oh, jangan lupakan bahwa rambutnya kini tak berbeda jauh dengan rambutku. Aku tersenyum kecut ketika sepasang mata miliknya menatapku jijik. Aku sadar sekarang, dia lebih pantas dengan penampilannya yang sekarang. Lebih terkesan menyeramkan.
Aku tahu dia bukan anak perempuan seperti kebanyakan. Ia bahkan sepertiku, kupikir. Dia lebih condong ke arah laki-laki. Postur tubuhnya yang kurus membuat –ehm– payudaranya tidak terlihat karena ukurannya kecil, mungkin. Aku yakin, tak sedikit orang yang tertipu oleh penampilannya.
“Sejak kapan kau berubah menjadi penguntitku?” katanya ketus. Aku terdiam beberapa detik, aku tak menyangka ia mengetahui gerak-gerikku. Apa ia memiliki mata di belakang rambutnya? Shit!
“Siapa yang sedang kau bicarakan?” aku balik bertanya dengan nada sama ketusnya. Dia mendecih, matanya memandang ke arah lain kemudian ia kembali menatapku. Tajam sekali.
“Aku tidak bodoh.” Katanya sambil menunjuk-nunjuk kepalanya dengan telunjuknya sendiri. Oh, astaga! Aku belum pernah segugup ini. Tapi, mati-matian aku mencoba mengatur kegugupanku. Aku bisa mati sungguhan kalau aku kencing di celana saat ini juga. Oh, dia benar-benar iblis.
“Kalau kau tidak bodoh, kenapa kau tidak menggunakan otakmu sebelum menanyakan itu? Aku yakin, kau tidak lebih cerdik dariku. Dan lagi, kau pikir kau siapa sampai aku menguntitmu, huh? Kau bahkan sama sekali tidak menarik. Lihatlah dirimu, menyedihkan.” Tuturku. Damn! Bagaimana bisa aku mengeluarkan kalimat racun seperti itu? Dalam hati aku menyesal berkali-kali. Inilah kenapa orang-orang beranggapan aku manusia paling sadis, aku mengatakan apa yang seharusnya tidak aku katakan. Baka!
Dan… apakah kau tahu apa yang dia katakan setelah aku mengatakan itu? Dia tidak mengatakan apapun kecuali diam mematung. Saat itu aku berpikir, disinilah kelemahan anak perempuan itu. Aku menyeringai lalu berbalik hendak meninggalkannya. Tapi…
BUGH!
Kau pasti tahu suara apa itu? HEY! Dia memukulku! Dia berlari ke arahku saat aku tengah berbalik dan dia memukul punggungku dengan siku tangan kanannya. Aku meringis kesakitan tapi dia menyeringai penuh kebencian.
“Aku bisa memberimu hadiah yang paling mengejutkan.” Katanya sambil berlalu pergi meninggalkanku. Oh! Aku merasa menjadi manusia paling bodoh di dunia! Aku lupa kalau dia itu iblis yang kabur dari neraka. Tak seharusnya aku bermain-main dengannya. Shit!
~oOo~
Senin. Upacara penerimaan murid baru tahun ajaran 2009/2010 Sekolah Menengah Pertama.
Disaat aku berniat berhenti menguntit anak perempuan itu lagi, aku semakin merasa gila setelah tahu kalau ternyata aku satu kelas dengannya. Langit sedang menghukumku. Hidupku akan berakhir disini…
Tujuh lima.
Aku menghela nafas berat. Perlahan-lahan aku memasuki ruangan dengan papan bertuliskan ‘tujuh lima’ di atas pintunya itu. Dan aku duduk di kursi paling belakang. Di antara wajah-wajah yang tertawa-tawa itu, tak ada satupun yang aku kenal. Kecuali anak perempuan itu, mungkin. Aku dengan dia memang belum pernah berkenalan secara resmi. Aku sekedar tahu namanya lewat papan nama yang tertera di seragamnya.
Oh, oh, oh, aku melihatnya! Dia baru memasuki ruangan setelah hampir terisi semua. Aku merasa sial memilih tempat paling belakang karena ia duduk paling belakang juga! Dia duduk bersama teman perempuannya. Sekilas aku melihat papan nama temannya, kalau aku tidak salah baca nama temannya itu Siti Jubaedah. Aku yakin mataku masih bagus, jadi aku yakin kalau aku tidak salah baca.
Aku melirik ke arah anak perempuan berkulit putih dan berwajah cantik yang entah kenapa seperti sedang memperhatikan anak perempuan angkuh itu – Icha Zahra. Nama anak perempuan cantik itu Monika Rosalia Subrata. Aku yakin dia bukan anak perempuan sembarangan, dia juga cantik. Berbeda jauh dengan anak perempuan yang kemarin memukulku.
Okay, berhenti membicarakan yang lain. Kita fokus lagi ke arah Icha Zahra. Aku mengetahui beberapa hal baru tentang anak perempuan itu. Dia sulit bersosialisasi. Lucu sekali. Dia hanya duduk di bangkunya tanpa mencoba mengajak berkenalan seperti anak perempuan lainnya.
Aku tidak sadar kalau aku sendiri juga sulit bersosialisasi. Tapi, sudahlah… rasanya tidak penting kalau membicarakan diriku sendiri. Aku melihatnya keluar ruangan kelas, diam-diam aku mengikutinya. Dia duduk di antara lantai pembatas, menggoyang-goyangkan kakinya gelisah. Kalau aku adalah laki-laki yang menyukainya, mungkin aku akan duduk di sampingnya dan memberikannya senyum seribu watt milikku. Tapi, aku tidak menyukainya. Jadi aku hanya diam memperhatikannya.
Dua orang anak perempuan ikut keluar ruangan kelas. Oh, anak perempuan cantik bernama Monika itu ternyata. Aku tidak tahu nama anak perempuan yang bersamanya. Aku melihat Monika dengan temannya duduk bersebelahan dengan anak perempuan angkuh itu – Icha Zahra. Lama mereka saling terdiam sampai si wajah sangar itu mengulurkan tangannya pada Monika.
Oh, ini semakin seru. Ketiga anak perempuan itu berkenalan. Sarah Rahmawati, Icha Zahra, Monika Rosalia, seperti itulah urutan mereka duduk. Ternyata nama anak perempuan yang satu lagi itu Sarah Rahmawati. Sarah yang dari tadi bersenda gurau dengan anak laki-laki bernama Hendri Ardiansyah – si mata sipit.
Selang beberapa hari, ada kejadian yang mengagumkan.
Aku melihat anak laki-laki bernama Ahmadi yang melayangkan kakinya ke arah kepala anak perempuan berhidung pesek. Dan tentu saja si pesek itu menangis. Kau tahu? Tiba-tiba saja Icha Zahra datang dengan wajah penuh amarah. Ia menarik kerah anak laki-laki yang biasa di sebut Madi itu. Dan menghajarnya…
Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Semua murid dalam ruangan kelas meneriakkan nama Icha. Keren, batinku. Anak perempuan angkuh itu bertindak bak seorang penolong. Sedangkan si pesek tetap menangis.
Kemudian aku melihat tangan kecil anak perempuan itu memukul-mukul wajah Madi. Tentu saja Madi tidak terima. Ia balik menarik jilbab yang di kenakan Icha lalu menarik rambutnya dengan paksa. Ini semakin mendebarkan. Dalam hati aku berkata, aku pegang Ahmadi. Siapa yang bisa mengalahkan anak laki-laki itu? Dia memiliki otot yang cukup besar.
Dan ternyata aku kalah. Icha Zahra, anak perempuan angkuh dan arogan itu menang. Astaga, aku bahkan tak menyangka ia –Ahmadi– menangis. Aku melihat ada bercak darah di antara alis anak laki-laki itu. Aku tertawa dalam hati. Dia kalah, sama sepertiku.
Lalu, Icha Zahra bersama konco-konconya –Monika dan Sarah– menghampiri anak perempuan yang tadi menangis. Kemudian berkenalan. Nama anak perempuan pesek itu Rina Solihati dan teman sebangkunya bernama Tiara Ayu.
Ini menarik. Aku yakin mereka berlima akan menjadi sahabat karib.
Aku sadar sekarang. Aku bahkan tak lebih baik darinya – dari Icha Zahra. Meski ia perempuan, ia berani mengandalkan tenaganya untuk membela teman yang bahkan belum dikenalnya. Hari ini aku salut padanya. Dia anak perempuan yang pemberani. Gadis pemberani.
Mungkin hari lain aku benar-benar tertarik padanya.
Ya, siapa yang tahu?


Memory of August 2009 (Based On True Story)
Follow me on twitter @KENzeira

Tidak ada komentar:

Posting Komentar