UNDESIRABLE
FEELINGS
A Story by
KENzeira
Casts
:
-
Choi Jang Sin
-
Lee Hyuk Jae
-
Cho Kyu Hyun
-
Mihaeru Keehl
-
Etc
Genre
: Romance, Drama and Hurt/Comfort
Blog
: https://kenzeira.blogspot.com
Rate
: PG-15
Disclaimer
: The plot is MINE. Based on true story—dengan sedikit perubahan, the
characters belongs to themselves, except Mihaeru, she’s mine.
Warning
: Probably rush, typos—tidak mengecek ulang, non-beta, and OOC. AU.
(AN : Setting
waktu tidak beraturan, diambil dari sudut pandang yang memusingkan, super
melodrama, silakan kabur selagi keburu.)
ENJOY it,
Minna-san~
***
The necklace’s
point of view all the way
Aku tidak mengerti dirimu, Choi Jang Sin.
Di lain kesempatan, kau akan tersenyum seraya
menjentikkan jari ketika membaca sederet tulisan sederhana dari Cho Kyu Hyun,
dan di kesempatan lainnya, kau akan menangis seraya memeluk boneka beruang
kesayanganmu. Padahal tulisan yang kaubaca masih serupa. Apa yang salah dengan
tulisan itu? Apa yang salah dengan dirimu?
Beruntunglah, hari ini kau lebih senang menyibukkan diri
di depan cermin. Aku hanya bisa memandangmu yang begitu teliti mengenakan eyeliner. Entah kenapa, kau merasa pantas
apabila menggunakan kosmetik yang satu itu, mata setajam elangmu semakin
terlihat tajam. Sederhananya; dengan menggunakan eyeliner, kau percaya dapat menghilangkan bekas-bekas air mata.
Bukankah aku benar, Jang Sin?
Tentu saja, kau pernah mengatakannya. Bahkan meski
temanmu—Shin Rhae Hoon—berkata kau terlihat menyeramkan dengan eyeliner, kau tetap menggunakannya.
“Hanya ini satu-satunya cara agar tak ada yang menyadari
kalau aku sehabis menangis.” Seraya tersenyum, kau katakan alasan di balik
kebiasaanmu mengenakan eyeliner
beberapa bulan silam. Rhae Hoon yang mendengar alasan tak logis itu hanya
terdiam, merasa aneh.
Ya, kau memang aneh, Jang Sin. Aku nyaris setiap waktu
bersamamu selama dua tahun terakhir ini dan aku benar-benar yakin kau tipe
gadis aneh. Kau kerap kali memamerkan senyuman angkuhmu, sekalipun hatimu tidak
seangkuh senyuman itu. Aku tahu benar bagaimana watakmu. Kau bukan orang yang
mau menerima kekalahan, maka dari itu, kau selalu berusaha menjadi yang
teratas. Kau selalu berusaha menjadi yang terbaik.
Dan apabila kau tak bisa mencapai apa yang kauinginkan,
yang akan kaulakukan adalah; mengeluarkan emosi. Entah itu marah atau menangis,
kau pasti melakukan salah satunya jika kau merasa kalah. Seperti empat bulan
yang lalu, kau beradu argumentasi sengit dengan (mantan) kekasihmu; Lee Hyuk
Jae. Kau meyakini bahwa; jika melakukan
kebohongan, maka akan terlahir kebohongan lainnya. Sementara Eun Hyuk—nama
akrab Lee Hyuk Jae—sama sekali tidak setuju dengan pendapatmu.
Argumentasi itu tak berakhir dalam satu atau dua jam. Kau
bahkan menghabiskan waktu nyaris semalaman untuk meyakinkan kekasihmu yang sok
jenius itu. Kau gagal. Eun Hyuk keras kepala dan tidak mau menyetujui
pendapatmu. Alhasil, kau marah besar dan tidak sudi mengirim pesan pada Eun
Hyuk keesokan harinya, lusa, bahkan sampai satu minggu.
Itulah Choi Jang Sin yang kukenal. Gadis paling narsis
yang mengakui dirinya sendiri egois. Tak peduli sekalipun kau masih menyayangi
Eun Hyuk, keegoisanmu adalah nomor satu. Mungkin itulah penyebab laki-laki
manis pecinta pisang itu meninggalkanmu bersama gadis lain. Apa kau sudi
menangisi keegoisanmu yang setinggi langit itu?
“Cih, silakan ambil saja Eun Hyuk. Aku tidak
membutuhkannya. Bukankah aku ini orang baik, yang memberikan sesuatu kepada
yang lebih membutuhkan?” ujarmu sarkastik pada seorang gadis cantik bernama
Park Hwang Mi yang kemudian diketahui sebagai kekasih gelap Eun Hyuk.
Dalam ucapan, kau memang setajam samurai. Tapi aku tahu
benar apa yang kaurasakan saat itu. Kecewa, tentu saja. Diam-diam kau
menyayangkan perselingkuhan Eun Hyuk dengan Hwang Mi, namun jika kau lebih
memilih untuk mempertahankan laki-laki itu, pemikiran idiotmu berkata; kau merasa kalah. Dan itu adalah sesuatu
yang paling anti bagimu.
Kau berkata seolah-olah kau tidak membutuhkan Eun Hyuk di
sampingmu, lalu membuangnya pada gadis bernama Hwang Mi itu, dan itulah yang membuatmu
merasa menang. Jangan tanya kenapa karena aku tidak mengerti jalan pikiranmu
yang seringkali tak terduga itu.
“Meski aku melakukan ini, sebenarnya aku sangat
menyayangimu. Aku hanya butuh pelampiasan atas segala kekesalanku terhadap
keegoisanmu. Aku sudah bosan menghadapinya, Jang Sin,” lirih Eun Hyuk. Entah
kenapa wajah laki-laki itu terlihat begitu banyak gurat penyesalan.
Selain kau, aku juga tahu bagaimana seorang Eun Hyuk.
Bagiku, dia adalah laki-laki paling sabar yang mampu bertahan menelan
mentah-mentah sifat egoismu selama hampir satu tahun. Dia tak pernah marah
sekalipun kau kerap kali memancing amarahnya. Dia selalu menuruti aturan yang
kaubuat dalam mempertahankan hubungan. Sementara ketika Eun Hyuk mencoba
mengaturmu, jangan harap kau akan mengikutinya.
Kau percaya bahwa kau adalah personifikasi sempurna
angin. Menjelajah kemana pun yang kau ingin, melakukan apapun yang kauhendaki.
Kebebasan adalah kau sendiri. Tak ada aturan dalam hidupmu yang gila itu. Maka
dari itu, kau akan selalu menolak jika diatur apalagi diperintah, karena bagiku
kau adalah … angin tersesat yang tak mau percaya arah.
Tapi, aku yakin, sebelum kejadian di bulan September satu
tahun lalu, kau bukanlah Choi Jang Sin yang seperti saat ini. Sebelum itu, kau
adalah tipe gadis penurut. Kau juga lugu, otakmu dengan cepat mampu
terpengaruhi oleh apa yang dibicarakan orang-orang di sekitar. Ketika seseorang
berkata; manusia berawal dari monyet,
meski terdengar sinting, kau akan memercayai kata-kata itu.
Hmm … aku sangat menyayangimu, Jang Sin. Aku berharap
laki-laki itu dapat hadir kembali, membantu mewarnai hari-hari kelabumu. Ya, satu-satunya
laki-laki setelah ayahmu yang paling kauturuti perintah serta aturannya; Cho
Kyu Hyun. Dia merubah dirimu begitu banyak. Sang personifikasi Bintang Luka
sebagai pelengkap.
Seharusnya laki-laki itu masih di sini, masih membantumu
merangkai kata-kata puitis penyejuk hati, menyemangati kegiatanmu menuangkan
ide ke dalam tulisan. Aku berpikir, seharusnya Kyu Hyun benar-benar masih
bersamamu. Tidak, dia memang harus bersamamu. Hanya dia laki-laki yang bisa
mengontrol keegoisanmu, hanya dia yang mampu membuatmu tunduk.
Tapi … dia memang selalu bersamamu, kan?
Seusai menyibukkan diri di depan cermin; mengenakan eyeliner, sedikit lipgloss berwarna peach,
dan memakai lensa kontak biru tua, kau bergegas pergi. Kemanapun kau melangkah,
aku tak pernah lepas mengawasimu. Entah kenapa aku berpikir memang inilah
tugasku, memperhatikan, mengawasi, dan menilai baik buruk perilakumu. Meski aku
yakin itu sama sekali tidak ada gunanya karena aku tak bisa memberimu komentar
maupun saran.
Kau berhenti sejenak di samping jalan, kau meraih ponsel
dalam saku celana pendekmu. Mengirim sebuah pesan pada seseorang. Hei, Jang
Sin, kau hendak membuat janji pertemuan, ya? Aku penasaran kira-kira siapa yang
akan kautemui. Aku yakin, kali ini laki-laki, mana mungkin kau berdandan begitu
lama hanya untuk bertemu sahabatmu Mihaeru yang galak itu, kan? Nah, sudah
pasti kau akan bertemu dengan laki-laki.
Dan untunglah, posisiku selalu membuatku mampu mengintip
pesan yang sedang kauketik. Benar saja, kau mengirim pesan pada laki-laki.
Mantan kekasihmu yang sabar itu; Lee Hyuk Jae. Ada apa, ya?
Singkat cerita, kau menunggu Eun Hyuk di sebuah kafe di
sekitar jalan Gangnam. Sesekali kau mengetuk-ngetukkan jarimu di atas meja.
Pasti tidak sabar menunggu.
“Lima menit lagi dia belum datang, aku akan pergi,”
ujarmu. Beruntung, dua menit setelah itu Eun Hyuk datang. Laki-laki tersebut
mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru, seraya melempar senyum dia
melambaikan tangannya. Sayang sekali laki-laki setampan itu dilewatkan.
“Apa kau menunggu lama?” tanyanya sambil duduk berhadapan
denganmu.
“Ya, benar-benar lama.” Kau menjawab dengan tampang
sinis. Hanya sepuluh menit, kurasa itu tidak begitu lama, kau tahu?
“Ah, mian.”
Lalu perbincangan ringan pun terjadi. Aku tidak tahu
kenapa Eun Hyuk selalu terlihat bersemangat ketika sedang bercerita, bahkan di
depan seorang gadis bertampang sinis sepertimu. Dia bercerita tentang banyak
hal, tentang saudara perempuannya yang belajar memainkan gitar di usia lima
tahun, dilanjut dengan persoalan
pekerjaan yang menyita banyak waktu. Kau hanya mengangguk, seolah tidak
tertarik.
Lalu, untuk apa kau mengajak Eun Hyuk bertemu jika kau
mengabaikan cerita yang dikisahkannya seperti ini, Choi Jang Sin? Aku sungguh
tidak mengerti.
“Kau masih bersama Hwang Mi?” tanyamu keluar dari jalur
pembicaraan. Tampaknya akan ada obrolan yang sedikit berat, menyangkut
masalalu.
Eun Hyuk terdiam beberapa saat, ia berdeham sebelum
menjawab. “Tidak. Sudah lama sekali aku berpisah dengannya. Asal kau tahu saja,
aku menjalin hubungan bersama Hwang Mi hanya dalam kurun waktu satu minggu,
tidak lebih.”
“Oh.”
“Sebenarnya sulit sekali melenyapkan perasaanku padamu,
Jang Sin-ya. Aku selalu mencoba tidak
peduli, tapi aku selalu gagal melakukannya. Bagiku, Hwang Mi hanya pelepas
penat yang melanda hubungan kita kala itu. Kupikir semuanya akan berjalan
lancar.”
Kau tersenyum miring. “Kau ingin semuanya berjalan
lancar? Cih, untung saja aku memiliki teman yang cerdas. Dia bisa langsung tahu
kalau kau sedang bermain di belakangku. Aku bersyukur bisa mengenal Mihaeru
yang mampu membuka mataku tentang kebrengsekkanmu.”
Tidakkah itu terlalu kasar? Kupikir pertemuan kali ini
adalah untuk memperbaiki hubunganmu dengan Eun Hyuk, rupanya kau masih nafsu
untuk memancing emosi. Lihatlah, betapa sabar laki-laki itu. Ia hanya menggaruk
leher belakangnya seraya tersenyum kikuk.
“Aku memang brengsek, maka dari itu, maafkan aku.”
“Kau sudah mengatakannya berkali-kali sampai aku bosan
mendengarnya.”
“Kalau begitu, maaf untuk itu,” ujar Eun Hyuk. Kau
memutar bola mata bosan.
Lalu keheningan tercipta. Kau lebih terfokus menikmati
secangkir moka, menyesapnya perlahan, sedangkan Eun Hyuk, dia sama sekali tak
memalingkan wajahnya ke arahmu—yang entah kenapa membuatku sedikit malu, karena
laki-laki itu terlihat seperti sedang memperhatikanku meski kenyataannya tidak
begitu.
“Um, Jang Sin-ya,
ada hal yang ingin kutanyakan padamu.”
Kau melihat ke arahnya. “Tanyakan saja.”
“Kau sudah tidak peduli lagi padaku, untuk apa kau
mengajakku bertemu? Lagipula, bukankah laki-laki itu sudah kembali padamu?”
Laki-laki itu. Aku
tidak tahu kenapa Eun Hyuk tidak pernah mau mengotori mulutnya dengan menyebut
nama laki-laki itu. Meski dia tipe
orang yang penuh semangat dan terkesan santai, namun aku tahu benar kalau dalam
hatinya dia begitu membenci laki-laki itu.
“Cho Kyu Hyun?”
Wajah Eun Hyuk menegang ketika mendengar nama laki-laki itu. Ia tak pernah mau
mendengarnya secara langsung dari mulutmu, Jang Sin. Lihatlah, wajahnya begitu
pucat. Sepertinya mulut Eun Hyuk tak mampu berkata-kata selama beberapa saat,
karena ia memilih untuk mengangguk singkat.
“Ah, ya, dia memang sudah menjadi kekasihku lagi. Aku
bahagia sekali. Omong-omong, dari mana kau tahu tentang hubunganku dengan Kyu
Hyun?”
“Dari status hubunganmu di situs jejaring sosial facebook.” Eun Hyuk menjawab dengan
wajah yang entah. Padahal, aku yakin sekali kalau Eun Hyuk lebih penasaran
dengan jawaban dari pertanyaannya yang pertama. “Jadi, kenapa kau mengajakku
bertemu?” Eun Hyuk mengulang pertanyaannya. Benar, kan, dia memang penasaran
dengan jawaban dari soal yang satu itu.
Kau memainkan ujung cangkir moka yang sudah tersisa
setengah. Kau memasang senyuman yang lebih aneh dari biasanya. Entah kenapa,
aku ikut penasaran dengan jawabanmu. “Uh, kau ingin tahu? Jujur saja, aku masih
menyayangimu. Maka dari itu, aku mengajakmu untuk bertemu. Kau tidak keberatan,
bukan?”
Eun Hyuk membatu. Tidak, tidak, jangan percaya pada
kata-kata manisnya, Eun Hyuk-ssi!
Jang Sin pasti sedang berbohong padamu! Ingin rasanya aku berteriak memberitahu
laki-laki malang itu, namun, aku tahu aku tak pernah bisa melakukannya.
Sungguh, demi Tuhan, aku tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang kaupikirkan,
Jang Sin.
“Aku … aku sama sekali tidak keberatan,” jawab Eun Hyuk
seraya tersenyum. Namun sesaat setelah itu, dia berwajah muram. “Tapi, kau tahu
benar bagaimana watak kekasihmu. Aku tidak mau dia berencana membunuh dirinya
sendiri seperti dulu karena tahu kalau kau tidak mau melepaskanku. Dia pasti
akan marah besar jika tahu kau mengajakku bertemu.”
Kau tertawa hambar. “Dia baik-baik saja. Sangat baik-baik
saja. Sudah tak mungkin baginya untuk berencana bunuh diri lagi. Jadi, tak ada
yang perlu kaukhawatirkan.”
Ya, aku masih ingat kejadian waktu itu. Lima bulan
setelah berpisah dengan Kyu Hyun, kau akhirnya memutuskan untuk kembali menjalin
hubungan dengan laki-laki lain. Dan laki-laki itu adalah Eun Hyuk. Anehnya,
berselang dua bulan, Kyu Hyun kembali lagi ke kehidupanmu, memintamu kembali
menjadi kekasihnya. Kau yang saat itu masih diliputi dendam, memanfaatkan
situasi untuk memperbaiki ‘kekalahanmu’ atas Kyu Hyun di masalalu.
Kau membiarkan laki-laki tampan itu memohon. Kau bahkan
memberi tantangan untuk membuat 16 puisi dalam satu malam pada Kyu Hyun.
Mungkin saat itu Kyu Hyun lebih gila darimu, dia menyanggupinya dan dia benar-benar
membuat 16 puisi hari itu. Namun, kau justru menolaknya setelah Kyu Hyun
selesai memposting puisi-puisi tersebut di website-nya.
Jahat sekali. Sungguh jahat. Tak heran jika dia berencana untuk mengakhiri
hidupnya.
Akan tetapi, meski aku tak pernah bicara, aku tahu ada
sesuatu yang lain di matamu. Diam-diam kau berharap bisa melepaskan Eun Hyuk
dan kembali bersama Kyu Hyun. Namun, lagi-lagi, kau berpikir jika kau melakukan
itu maka kau akan merasa kalah. Alasannya sederhana; kau jatuh ke lubang yang sama.
Aku tahu, aku tahu bagaimana dirimu, Jang Sin-ya. Kau begitu terpukul saat Kyu Hyun
tiba-tiba memutuskan hubungan kalian tepat pada anniversary kalian yang ke satu tahun. Aku tahu kau terluka begitu
banyak. Aku juga tahu, kau tidak bisa menerima alasan Kyu Hyun yang mengatakan
dia ingin kembali menjalin hubungan dengan cinta pertamanya. Aku sangat tahu….
Kau menangis hari itu. Kau memeluk Mihaeru hari itu. Dan kau
berubah sejak hari itu.
Apa yang ada dalam kepalamu hanya kepuasan. Kau menuhankan kesenangan. Kau membuat
masalah tapi kau tak mau terlibat dalam masalah. Keegoisanmu semakin memuncak,
melebihi batasnya. Kau menyakiti siapapun yang kau pikir akan menyakitimu. Kau
liar. Aku di sini hanya bisa terdiam, tanpa bisa melakukan apapun.
Hei, Jang Sin-ya,
kenapa kau begitu mencintai Kyu Hyun bahkan sampai saat ini? Kenapa kau mengaku
menyayangi orang lain sementara kau tidak mengatakan langsung pada orang yang
benar-benar kausayangi? Kenapa kau mencintai Kyu Hyun sementara ketika dia
memintamu kembali, kau justru menyakitinya, mempermiankan perasaannya? Sebegitu
dungu kah dirimu yang selalu mengatas-namakan kemenangan?
Mungkin saja kau memang merasa menang, tapi hatimu tidak.
Kau terlalu lama memakai topeng busuk itu. Berubahlah, setidaknya demi
laki-laki yang kini ada di hadapanmu, yang selalu sabar menghadapi segala
keegoisanmu. Lihatlah, pancaran kedua mata Eun Hyuk begitu tulus. Buka matamu,
bodoh!
Ah … sudahlah. Kau memang bodoh. Tak peduli seberapa kali
pun kau menduduki peringkat teratas, kau masihlah gadis dungu yang tak mampu
menahan emosi. Kau kerap kali mencampur-campurkan drama romantis dan horor
secara bersamaan, menjadikan kengerian sebagai keindahan.
Aku tidak peduli. Kyu Hyun atau Eun Hyuk, aku tidak
peduli. Aku hanya peduli pada seseorang yang mampu berada di sampingmu
sekalipun kau tak menginginkannya ada.
***
“M-Mihaeru … keluarkan aku,” ujarmu terbata. Kau terduduk
di pojok ruangan gelap tanpa penerangan. Kedua tanganmu bergetar menggenggam
ponsel.
“Ada apa denganmu? Di mana kau sekarang?!” suara dalam
ponsel itu terdengar begitu khawatir.
Lagi-lagi kau membuatku tidak mengerti, Choi Jang Sin.
Aku tidak tahu pasti apa yang membuatmu ketakutan seperti itu. Aku selalu
bersamamu, tapi aku sungguh tak tahu kenapa kau selalu melakukan hal tidak
logis seperti ini. Padahal….
“A-aku di rumah…”
Padahal yang kaulakukan sebelumnya hanya membaca pesan.
Demi Tuhan, membaca pesan. Tidak ada
siapapun yang hendak mencelakaimu, tapi kau bersikap seolah kau akan dibunuh
dalam waktu dekat. Entah sudah berapa kali kau membuat sahabatmu yang tsundere itu mengkhawatirkan yang tidak
perlu dikhawatirkan.
“Jangan ke mana-mana, aku akan ke sana secepatnya!”
Kau kembali meringkuk di pojok seraya memeluk kedua
lutut. Kenapa kau tidak menyalakan lampunya? Ini sudah terlalu malam, padahal
biasanya kau takut gelap. Seharusnya kau tidak seperti ini di waktu sedini ini.
Mihaeru pasti membawa motor besarnya dengan kecepatan tinggi. Kau senang sekali
membuatku khawatir!
Isakan kecil lolos dari bibir mungilmu. Astaga, apa yang
sebenarnya sedang kautangisi? Tak ada sesuatu yang mengejutkan di hari ini, tak
ada yang perlu ditangisi. Oh, apa kau mulai gila?
Lima menit berselang, Mihaeru datang. Jarak tempuh dari
rumahnya menuju rumahmu biasanya memakan waktu lima belas menit, sudah dapat
dipastikan, Mihaeru pasti membawa motor dengan kecepatan maksimal. Benar-benar…
“Apa yang terjadi?! Katakan apa yang terjadi?!” gadis
berambut pirang itu kalap. Ia mengguncang-guncang bahumu, kau hanya terisak.
“K-keluarkan aku dari penderitaan ini. A-aku … aku sudah
tidak kuat. Kembalikan aku … kembalikan aku ke kenyataan, Mihaeru-ya.” Kau berkata seraya menahan isak.
Lalu direngkuhlah tubuh yang ada di hadapanmu itu, erat.
Kedua kelopak mata biru muda itu membola. Mihaeru sungguh
tak mengerti apa yang sebenarnya sudah terjadi, begitu pun aku.
“Jangan menangis … jangan menangis seperti ini, bodoh.
Masih ada aku, masih ada aku yang akan selalu menjadi milikmu. Kalau kau terus
menangis dalam penderitaan, akan kupastikan aku akan datang ke rumahnya dan
mematahkan lehernya. Sudahlah … ssshh.” Mihaeru bertutur panjang.
Terkadang aku tidak mengerti apa yang ada dalam kepala
cerdas seorang Mihaeru. Ia seringkali mengatakan hal-hal yang menjurus, seolah
ia memang milikmu, Jang Sin. Namun, entah kenapa kau seolah tidak mau
menanggapi, meski aku yakin kau sedikit merasa jijik.
Sorot mata Mihaeru terarah ke sebuah ponsel yang
tergeletak tak jauh dari tempatmu memeluknya. Gadis keturunan Rusia itu
memutuskan untuk melepaskan sejenak rengkuhan itu, lalu merangkak dan menggapai
ponselmu. Hal pertama yang Mihaeru lihat dalam ponselmu adalah pesan yang
sebelumnya kaubaca, dari sosok yang paling kaucinta.
‘Aku sangat
tersiksa. Aku hanya memiliki satu permintaan, kau pergi dari Eun Hyuk dan kembalilah padaku. Tapi kau terus
menyiksaku dan aku tak dapat berbuat apapun karena aku mencintaimu, sangat mencintaimu.’
Apa? Apa yang salah dengan pesan itu? Tidak ada sama
sekali!
Aku tahu Mihaeru cerdas, maka dari itu, hal kedua yang
dilihatnya adalah tanggal pengiriman, 9 Maret 2012. Satu tahun lebih sejak
pesan itu dikirimkan. Pesan dari Kyu Hyun ketika ia ingin kau melepaskan Eun
Hyuk. Namun, dengan sadis kau terus menyiksa hati dan perasaannya, membuat Kyu
Hyun merasakan kepahitanmu ketika kau ditinggalkan olehnya. Kau tanpa ampun
saat itu. Tertawa di atas penderitaan laki-laki yang rela memberikanmu nyawa
asal kau mau kembali bersamanya.
Aku tak bisa sepenuhnya menyalahkanmu. Aku juga tahu rasa
sakit yang kaurasakan saat Kyu Hyun memutuskan untuk kembali mengejar cinta
pertamanya. Aku tahu, ini adalah sebuah karma yang pantas dirasakan Kyu Hyun.
Ia mencampakkanmu demi cinta pertama yang tidak jelas keberadaan hatinya, lalu
kau balik mencampakkan dia demi dendammu yang membara—dengan mengesampingkan
cinta.
Mungkin memang benar, kau mendapatkan kepuasan
setelahnya. Namun, lihatlah dirimu sekarang, yang sangat terpuruk karena penyesalan. Dalam otakmu pasti kau berpikir
seandainya kau memiliki mesin waktu, kau akan memperbaiki kesalahanmu dan
mencoba memaafkan Kyu Hyun saat itu.
“Kau … bukankah kau dan dia … sudah kembali?” Mihaeru
bertanya hati-hati.
Kau terdiam. Lalu menggeleng.
“Lalu apa yang tercantum di status hubunganmu?”
“I-itu….” Kau terisak, tak mampu melanjutkan. Mihaeru
mengernyit. Ia pasti sudah menduga ini sejak awal.
“Jadi … Bintang Luka itu adalah … dirimu sendiri?”
Mihaeru nyaris tak percaya dengan apa yang dikatakannya barusan. Dan ia lebih
tak percaya dengan pengelihatannya barusan, kau mengangguk pelan. Bintang Luka,
nama yang dulu sering dipakai Kyu Hyun. Ck, menyedihkan. Dari awal aku memang
sudah tahu semuanya.
Tampaknya ada raut ketidak-percayaan yang terlukis di
wajah cantik gadis Rusia itu. Dan aku benar-benar tak menyangka apa yang
dilakukan Mihaeru setelahnya. Dia menampar keras pipi kananmu. Kau yang semula
masih terisak langsung bungkam.
“Apa kau sudah gila, hah?! Dari awal aku sangat membenci
laki-laki itu! Dia membuatmu menjadi gila seperti ini! Sudah pernah kukatakan
sejak dulu, jangan pernah membicarakan sesuatu yang menyangkut dengan dia!
Jangan sekalipun kau berani menyebut namanya di depanku!” Mihaeru semakin
terlihat berang. Dia menamparmu lagi, kali ini di pipi kiri.
“M-maaf…” hanya itu yang terucap dari bibirmu.
Mihaeru memandangmu dengan sorot mata yang … entahlah.
Lalu gadis itu menunduk, dan bahunya berguncang. Sahabatmu sedang menangis. Apa
yang sudah kaulakukan? Kau meruntuhkan kepercayaannya. Dulu kau bilang kau
merasa puas sudah menyakiti Kyu Hyun, lalu sekarang semuanya bertolak-belakang.
Padahal kau sudah berjanji untuk tidak membicarakan Kyu
Hyun, apalagi berhubungan dengan laki-laki itu. Apa lagi yang bisa membuat
sahabatmu senang kalau bukan kau yang merasa baik-baik saja setelah sekian lama
menderita? Mihaeru sangat menyayangimu, Jang Sin-ya. Dia berusaha untuk tidak protes ketika melihat status
hubunganmu berpacaran dengan Kyu Hyun. Mihaeru hanya ingin kau bahagia. Tapi
ternyata … semua yang terlihat nyata pada kenyataannya adalah kebohongan
belaka.
Lihatlah, raut kekecewaan dan kesedihan yang terlukis
jelas di wajah sahabatmu. Kau terluka dan sahabatmu ikut merasakannya.
“M-Mihaeru…”
Suaramu membuat gadis Rusia itu mengarahkan pandangannya
ke matamu. Tatapan yang biasa teduh itu kini berubah tajam. Dengan cepat, ia
mendorong bahumu ke tembok dan menampar pipimu sekali lagi. Mihaeru menamparmu
dengan air mata yang turun mulus di kedua pipinya.
“Aku akan mengeluarkanmu … aku akan mengeluarkanmu dari
penderitaan! Akan kubuat kau sadar sepenuhnya bahwa tubuh dan nyawamu ini hidup
untuk hari ini, bukan di masalalu!”
Tamparan lagi.
Rasa sakit yang kaurasakan saat ini mungkin tidak bisa
dibandingkan dengan rasa sakit yang beratus hari bersarang di hatimu. Kau hanya
terdiam, membiarkan Mihaeru melakukan apapun. Kau bahkan tak memprotes ketika
ia merontokkan foto-foto Kyu Hyun yang terpajang di tembok kamarmu, Mihaeru
bahkan merobek-robeknya menjadi kepingan kecil. Dan yang paling mengejutkan
adalah … kau tidak mencegah bahkan ketika sahabatmu membanting ponselmu sampai
layarnya retak tak beraturan.
Hancur sudah. Hancur sudah semua kenangan yang tersisa
dari Kyu Hyun. Tak ada lagi berpuluh-puluh puisi romantis yang dulu dikirimkan
Kyu Hyun untukmu, semuanya sudah musnah bersamaan dengan tak berfungsinya
ponselmu. Dan satu-satunya kenangan yang disisakan Kyu Hyun adalah … diriku.
Ya, aku. Aku adalah sebuah kalung yang selama ini selalu
dikenakan olehmu. Aku adalah kalung pemberian Kyu Hyun. Aku adalah apa yang
selama ini memantau aktivitasmu, bahkan sejak orang yang membeliku tak lagi di
sampingmu. Aku ragu, apakah Mihaeru menyadari keberadaanku? Apakah dia akan
merusakku dan membuangnya ke tempat sampah?
Diam-diam aku tak ingin hal itu terjadi.
Dan semuanya benar-benar tidak terjadi.
***
Apa yang sebenarnya ada dalam otak bodohmu? Kau selalu
ingin menjadi nomor satu, sementara sekarang keadaan telah telak mengalahkanmu.
Kau sama sekali tak mendapatkan apapun dari kesenangan semu yang kauciptakan
ini, Jang Sin-ya.
Kau menderita karena ulahmu sendiri. Menyedihkan. Bahkan
seorang Mihaeru tak mampu mengembalikanmu ke kenyataan, kau masih terus
bermimpi. Dan dalam mimpi itu, kau merasa kau masih bersama Kyu Hyun, seolah
kau masih bisa mendengarkan tawa renyah dari laki-laki yang paling kaurindui
itu. Tak peduli meski kini laki-laki yang ada di hadapanmu sama sekali bukan
sosoknya.
Seperti saat ini…
Kau tersipu seraya tertawa ketika Eun Hyuk berceloteh
riang tentang lelucon. Eun Hyuk begitu bersemangat saat berbicara, karena jujur
saja, aku yakin dia sangat bahagia ketika melihatmu tertawa karena lelucon yang
dibuatnya. Padahal biasanya kau hanya akan menanggapinya dengan senyum kecut.
Lihat, bahkan Eun Hyuk memperagakan gaya seekor kera hanya untuk melihatmu
tertawa seperti ini.
Apa lagi yang kauharapkan dalam hidup? Laki-laki yang
sungguh menyayangimu sudah ada di hadapanmu, kau hanya perlu membuka mata lebar
dan membuka pintu hati lebar-lebar. Mungkin saja aku memang pemberian dari Kyu
Hyun, namun bukan berarti aku lebih bahagia ketika kau masih meringkuk dalam
kegelapan kamar sambil mengbayangkan Kyu Hyun.
Kau sendiri yang mengatakan pada Eun Hyuk di kafe kala
itu, bahwa Kyu Hyun sudah sangat baik-baik saja. Dia baik-baik saja tanpamu. Kau juga harus melakukan hal yang sama.
Penyesalan hanya akan membuatmu semakin terlihat lemah dalam kekalahan. Kau
juga tak boleh mengalah kali ini, bukankah prinsipmu adalah menjadi pemenang
adalah keharusan? Cobalah untuk menang dalam hal ini juga.
Kau harus membuktikan bahwa kau juga bisa baik-baik saja
tanpa dia. Karena bagiku, itulah satu-satunya pembalasan dendam yang paling
bijak.
“Jang Sin-ya,
aku senang akhirnya kau memperlihatkan wajah ceriamu,” ujar Eun Hyuk tulus.
Bayangkan saja, selama hampir satu tahun menjalin hubungan denganmu, kau selalu
memperlakukan Eun Hyuk seperti musuhmu. Suatu keajaiban besar dia mampu
bertahan dengan sifatmu yang seperti itu.
“Benarkah?” tanyamu begitu antusias. Eun Hyuk tersenyum
seraya mengangguk. Untung saja malam naas itu Mihaeru tidak merusakku, kalau
dia merusakku, mungkin saja aku tidak akan pernah tahu ada momen seindah ini.
Aku selalu berharap yang terbaik untukmu, kau tahu? Akan lebih baik kau melepas
topeng yang selama ini kaukenakan. Bersikap terbukalah dengan Eun Hyuk, sama
seperti ketika kau bersikap terbuka pada Mihaeru.
“Boleh aku merengkuhmu?” Eun Hyuk meminta izin. Kau
tampak berpikir, lalu mengangguk setelahnya. Aah … betapa bahagianya aku. Aku sudah
tidak tahu lagi harus merasakan apa, bahkan ketika kau memandang Eun Hyuk yang
ada dalam bayanganmu adalah Kyu Hyun. Aku sudah tidak peduli. Yang terpenting
bagiku adalah senyumanmu.
Eun Hyuk tersenyum manis lalu merengkuhmu. Kau
melingkarkan kedua pergelangan tanganmu di antara punggungnya. Kepalamu kau
benamkan di dada bidangnya. Apakah kau sudah bahagia sekarang? Laki-laki yang
saat ini memelukmu takkan berani melukaimu. Ia memperlakukanmu seperti gelas
kaca yang mudah hancur. Eun Hyuk begitu hati-hati dalam memilih tindakan.
“Terima kasih sudah kembali padaku. Aku mencintaimu … Kyu
Hyun.”
Meski tak memiliki telinga, aku tahu aku tidak salah
dengar. Dan aku juga tahu, kau sama sekali tidak sadar atas apa yang kaukatakan
barusan. Aku merasakan tubuh Eun Hyuk yang menegang, lalu laki-laki itu semakin
mengeratkan pelukannya.
“Aku juga mencintaimu.” Eun Hyuk menjawab, mencoba
melupakan fakta nama siapa yang disebut olehmu.
Oh, seandainya malam naas itu Mihaeru berhasil menyadari
keberadaanku, mungkin aku akan terbuang dalam tong sampah sekarang. Entah
kenapa tempat itu terasa lebih baik daripada berada di antara himpitan dua
manusia melodramatis ini.
Eun Hyuk melepas
rengkuhannya. Ia memandangmu dengan sorot mata meneduhkan. Bahkan laki-laki itu
tersenyum ketika hatinya sedang terluka. Sementara kau … kau justru memasang
wajah tersipu, seolah apa yang ada di hadapanmu adalah sosok masalalu yang
paling kaurindu. Menyedihkan.
Ooo
END ooO
Pojok curcol :
Hyohaaaa! Ini pertama kalinya aku memakai Eun Hyuk sebagai cast utama. Aah, aku
benar-benar jatuh cinta padanya. Ini juga pengalaman pertamaku memakai SUDUT
PANDANG DARI BENDA MATI, ASTAGA! *capslockkeinjek* cerita ini mungkin tidak
nyambung, tapi semoga saja yang sanggup membaca sampai akhir tidak muntah
karena enek dengan bumbu-bumbu melankolisnya atau karena pusing sama
pengambilan sudut pandangnya :D
Oh, fanfik ini
juga sekalian memperkenalkan OC baru bikinanku; Choi Jang Sin. Terinspirasi
dari nama perempuan yang dikagumi Eun Hyuk; Choi Jung Won. Wkwkwk RCL? :3
*kedip-kedip*
Thursday, January 9, 2014
7:59 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar