CHOCOLATE
Disclaimer: Death Note belongs to
Tsugumi Ohba and Takeshi Obata
Story © KENzeira
Warning: Maybe rush, canon setting,
typo, etc
Special for Mello’s birthday
..oOo..
—Wammy’s House,
Winchester, Inggris
Yang Mello tahu, hari
ini adalah hari sial.
Bagaimana tidak? Mello
yang pura-pura mencari masalah dengan menendang bola ke arah jendela ruangan
Roger agar si tua bangka itu ingat tanggal berapa ini—mengingat hari ini adalah
ulang tahun Mello yang ke sebelas—justru mendapatkan jewer penuh cinta dari si
pemilik ruangan.
Tinggi Mello yang saat
itu masih 147 sentimeter terpaksa berjinjit ketika Roger menjewer telinga
kirinya sampai memerah. Dia nyaris saja mengeluarkan air mata seandainya tak
ada rival abadinya yang sedang termangu memandangnya.
“It’s hurt, Roger! Kau mau menjewer telingaku sampai putus, hah?!”
Mello tak hentinya meronta-ronta. Namun, tenaga Roger ternyata masih kuat
meskipun usianya sudah melewati angka setengah abad. Manik biru akuamarinnya
menangkap senyuman aneh yang tersungging di bibir Near—rival abadinya.
“Jangan mengejekku
dengan senyuman penuh racunmu, BODOH!” Mello hilang kendali, ia
menendang-nendangkan kedua kakinya ke arah Near. Tapi, sebelum tendangan itu
sampai mengenai Near, Roger dengan cepat menarik kerah baju Mello. “A-aaargh!
Jangan angkat aku, tua bangka sialaaan!”
Roger membawa tubuh
Mello dengan perut bocah itu di antara bahunya. Kedua tangan Mello
meninju-ninju punggung Roger agar ia segera diturunkan dari posisi tidak
hormatnya. Kakek tua itu tak peduli. Roger membawa bocah kecil itu kembali ke
ruangannya setelah tadi sempat berhasil melarikan diri saat disuruh membereskan
pecahan-pecahan kaca jendela akibat ulahnya.
“Jadilah anak baik
sebentar saja. Pungut pecahan-pecahan kaca itu dan buang ke tong sampah. Do you understand me, Mello?”
Bocah itu merengut.
Baru saja hendak memukul kepala botak Roger, kakek tua itu sudah keburu
menangkisnya. Sorot manik biru itu memandang Roger penuh kebencian. Dengan
terpaksa, Mello menuruti perintah Roger. Ia tahu jika ia mencoba untuk kabur
seperti beberapa saat lalu, ia hanya akan berakhir sama seperti saat ini.
Mello memunguti
pecahan-pecahan kaca itu tanpa berniat menghentikan aksinya mencerocos. Roger
yang melihat hal tersebut hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Kakek tua itu
sudah cukup lelah dengan apa yang diperbuat Mello. Dia sungguh berbeda dengan
anak panti asuhan lainnya, Mello lebih sering membuat kepala Roger pusing
melihat kekacauan yang dilakukannya.
“Aku juga ingin
diperlakukan istimewa seperti kau memperlakukan Near.” Tiba-tiba Mello berkata
dengan nada lirih.
“Kalau begitu, jadilah
anak baik.”
Kepala kuning itu
menggeleng-geleng. “Aku lakukan pun, kau takkan menyadarinya. Yang ada di
matamu hanya si anak nomor satu itu. Aku yang menduduki peringkat kedua sama
sekali tak membuatmu memperlakukanku dengan baik.”
Roger bertanya-tanya,
ada apa dengan anak didikannya yang satu ini? Roger kaget dengan nada suara
Mello yang terkesan lirih, seperti bukan Mello beberapa menit yang lalu.
“Saat ulang tahun Near,
kau memberikan kado kartu bridge dan beberapa puzzle tanpa gambar untuknya. S-sementara ketika aku ulang tahun,
kau sama sekali tak mengingatnya.”
Oh? Roger mulai paham
kemana arah pembicaraan Mello.
Mello tersentak kaget
ketika merasakan tangan besar mengelus-ngelus puncak kepalanya. Bocah itu
menoleh ke belakang dan mendapati wajah keriput Roger yang sedang tersenyum ke
arahnya.
“Kau salah. Aku
mengingatnya, bahkan Near juga mengingatnya.”
“Eh?” Mello
mengerjap-ngerjapkan matanya. Satu kali. Dua kali. Ia menatap tak percaya pada
apa yang tengah ditunjukkan Roger untuknya. Sebatang coklat Godiva dan jaket
merah dengan hoodie berbulu. Mello
tidak tahu kapan kakek tua itu mengambilnya.
“Near mengingatkanku
dua hari yang lalu tentang ulang tahunmu. Tadinya aku akan menyimpannya di
samping tempat tidurmu saat kau sudah terlelap, tapi ternyata kau memang bukan
tipe orang yang sabaran, eh?”
Mello yakin hidungnya
memerah. Dia ingin menangis. Dengan brutal, dipeluknya Roger erat-erat sampai
kakek tua itu terbatuk-batuk dibuatnya.
oOo
Bungkus coklat berwarna
silver itu sudah dibuka. Mello dengan santai menikmati setiap sensasi ketika
coklat itu melumer di mulutnya. Dia yakin, dia tak pernah menemukan coklat
selezat ini sebelumnya.
Kepala Mello mengintip
di balik pintu ruangan di mana Near biasa berdiam diri. Laki-laki berpakaian
serba putih itu sedang menyusun menara dari kartu bridge-nya. Entah mau dibuat
tingkat berapa menara yang sudah tersusun tinggi itu. Dengan mantap, Mello
memasuki ruangan tersebut.
“Apa tak bosan setiap
hari kau hanya menyusun kartu dan puzzle?”
Near melihat Mello
lewat ekor matanya. Tangan putih pucat itu lebih memilih untuk meneruskan
menyusun menara tingkatnya daripada menjawab pertanyaan basa-basi dari Mello.
Bocah bersurai pirang itu berkacak pinggang.
“Kalau orang lain
bertanya itu dijawab! Dasar, tidak sopan,” gerutu Mello.
“Saya tidak bosan.”
Mello memutar bola
matanya bosan ketika mendengar jawaban dari Near yang selalu formal. Rupanya
sifat iblis bocah itu belum hilang, dengan sengaja kaki kanannya menendang
menara kartu paling bawah sehingga menara itu runtuh secara keseluruhan. Near
tak bereaksi apapun. Laki-laki itu justru merapikan kartu-kartu yang berserakan
itu dan kembali menyusun menara kartunya dari awal. Mello menggerung kesal.
“Bisakah kau tidak
mengurung diri di tempat seperti ini dan terus-menerus menyusun menara kartu
seorang diri seperti orang idiot?! Banyak anak panti asuhan yang ingin berteman
denganmu!”
“Tidak. Lagipula, saya
tidak tertarik dengan pertemanan.”
Bocah itu mengacak-ngacak
rambut pirangnya frustasi. “Tapi saat ini ada aku yang mengajakmu bermain,
sebagai … t-t-temanmu!” entah kenapa Mello merasa sulit ketika mengatakan hal
itu. Selama ini, Mello selalu menganggap Near musuh yang selalu menghalangi
jalannya untuk menjadi nomor satu.
“Tapi saya tidak
beranggapan seperti itu.”
“A-APA?! H-hei, lalu
apa maksudmu memberitahu Roger soal ulang tahunku?! Pasti karena kau
menganggapku teman, ‘kan?!”
Near terdiam beberapa
saat. Ia lalu angkat bahu. Mello semakin murka.
“Ha! Dasar makhluk
halus! Pantas saja kulitmu sangat pucat, kau tak pernah keluar ruangan apalagi
berjalan-jalan di sekitar panti asuhan!” bocah itu semakin berang. Entah kenapa
ia selalu merasakan kepuasan apabila berhasil mengeluarkan unek-uneknya
terhadap Near. Mello tak peduli jika kata-kata yang keluar dari mulutnya
terlampau pedas, yang penting ia puas.
Oh, Mello melupakan
fakta tentang siapa yang mengingatkan Roger tentang ulang tahunnya.
Bocah itu menggigit
keras cokelat batangan yang sendari tadi dipegangnya. Setelah itu, ia lalu
beranjak meninggalkan ruangan tersebut. Near menolehkan wajahnya ke arah pintu.
Laki-laki itu melihat Mello sedang berangkulan dengan sahabat karibnya, Matt.
“Semoga kau menyukai
coklat itu, Mello,” gumamnya kemudian. Near lalu kembali menyusun menara kartu
bridge-nya.
Owari
k842z6hlqgc378 wholesale sex toys,dildo,dildo,cheap sex toys,realistic dildos,black dildos,dog dildo,dog dildos,wholesale sex doll m619d6ojprd895
BalasHapus