Kamis, 28 Juni 2012

Sebuah cerpen romantis: BIARLAH HANYA REMBULAN YANG TAHU

Tema : Cinta
Karya : Icha Zahra Octavianna
Judul : BIARLAH HANYA REMBULAN YANG TAHU

Sebenarnya sudah setahun terakhir ini aku menyimpan perasaan pada Riva. Cowok yang aku kenal dari jejaring sosial facebook yang tak sengaja bertemu di toko buku beberapa bulan lalu.
Aku masih ingat betul, bagaimana pertemuan di toko buku tersebut. Awalnya aku biasa saja. Tapi, setelah lama kuperhatikan, ternyata wajahnya mirip dengan foto Riva. Aku memberanikan diri untuk bertanya, dan benar saja, itu memang Riva.
Jauh sebelum pertemuan itu, aku sudah menyukainya. Sifatnya yang ramah membuatku nyaman jika sedang berkomentar dengan dia di facebook. Meskipun kami tak pernah bertukar nomor ponsel. Akhirnya ketika pertemuan itu, Riva meminta nomor ponselku.
“Untuk tambah teman, biar aku bisa tau buku-buku yang menurutmu bagus. Untuk aku beli dan aku baca tanpa perlu bingung memilah-milah.” Kata Riva waktu itu. Aku hanya membulatkan bibir kemudian mengambil ponsel dari saku celana.
“Ini nomor ponselku.” Kataku sambil menyodorkan ponselku. Riva tersenyum lalu mengetik nomorku di ponselnya. Sejak saat itu aku dan Riva sering bertemu untuk sekedar berdiskusi tentang buku yang sama-sama kami baca, atau bahkan iseng saja jika kami sedang tidak ada kesibukan.
***
Di sekolah...
Aku sedang membantu Tiya mengerjakan tugas Matematikanya. Tiya adalah adik kelasku. Aku mengenalnya saat MOS. Dulu aku menjabat sebagai anggota OSIS yang membimbing gugus tujuh, gugus dimana Tiya ada di dalamnya. Tiya anak yang alim dan baik hati. Tak heran jika aku sangat senang untuk membantunya mengerjakan tugas.
“Makasih ya kak, kakak baik deh. Hehehe.” kata Tiya
“Siiip!” ujarku sambil mengacungkan jempol
“Oh iya kak, sekali-kali main dong ke rumah Tiya. Tiya punya banyak buku novel lhooo.”kata Tiya. Tiya tau, aku sangat senang membaca novel. Aku mengangguk.
“Boleh. Kapan-kapan ya, Ya.” Jawabku. Tiya terlihat senang.
***
From : Riva
Ra, ktmu skrg yu. Aku ada di taman dket rumahmu.
Aku melonjak kaget membaca pesan singkat dari Riva. Riva ngajak ketemu sekarang? Mau apa ya?
Riva sudah tau rumahku. Setiap dia mengajak bertemu di suatu tempat, pasti pulangnya dia mengantarku sampai rumah. Tak heran jika ia hafal dimana letak rumahku.
Tanpa basa-basi aku langsung melesat pergi menemui Riva. Ada apa ya malam-malam begini Riva ngajak ketemu? Fikirku dalam hati. Aku melihat Riva sedang duduk di kursi panjang yang tersedia di taman.
“Hei.” Sapa Riva setelah melihat kedatanganku. Aku duduk di sebelahnya.
“Hei.” jawabku.
“Sorry udah ganggu waktu istirahat kamu.” Kata Riva. Aku tersenyum kikuk.
“Gapapa lagi, Va. Nyantai aja. Emmm..., tapi ada apa ya?” ujarku.
“Ga ada apa-apa. Kebetulan aku lewat sini, mendadak pengen ketemu kamu, Ra.” Jawab Riva di akhiri senyum manisnya. Aku tersipu malu.
Kami mengobrol cukup lama. Aku merasa nyaman di dekat Riva. Setiap ia berbicara, aku selalu melihat bola matanya. Aku suka cara Riva bercerita, matanya seakan ikut berekspresi, dan itu sukses membuat jantungku berdesir.
Aku menatap rembulan. Bulan, sepertinya aku benar-benar jatuh cinta. Kataku dalam hati, seolah-olah rembulan mengerti. Biarlah hanya rembulan yang tahu bahwa aku memiliki perasaan ini...
***
Pulang sekolah aku pergi menerima tawaran Tiya kemarin untuk main ke rumahnya. Rumah Tiya cukup besar. Aku banyak mengobrol di kamarnya. Ternyata memang benar, koleksi buku novel Tiya cukup banyak.
“Wah, banyak juga koleksi novelmu, Ya.” Komentarku sambil melihat buku-buku tersebut.
“Iya dong, kak. Tapi sebagian besar buku-buku novel itu milik kakak Tiya.” Kata Tiya. Aku membulatkan bibir.
“Ooooh.”
Tiba-tiba seseorang masuk ke kamar Tiya.
“Tiya, farpum kakak yang baru mana? Kakak mau pake nih.” Kata orang tersebut. Aku melongo kaget. Itu kan Riva! Riva ikut melongo waktu menyadari kehadiranku.
“Riva?”
“Lho, Rara? Kok ada disini?” tanya Riva. Tiya ikut-ikutan melongo.
“Kalian saling kenal?” tanya Tiya. Kami bertiga saling berpandangan, lalu tertawa. Entah apa yang lucu.
“Kebetulan aku lagi main ke rumah Tiya. Ternyata Tiya itu adikmu ya?” kataku. Riva mengangguk.
“Iya. Wah kebetulan banget ya!” Ujar Riva. Kami bertiga mengobrol sebentar, kemudian Riva berlalu pergi setelah mengambil parfum yang akan ia pakai.
“Kakak naksir kak Riva?” celetuk Tiya. Rasanya wajahku memerah.
“Hah? Eng.. Engga kok.” Jawabku tergeragap.
“Jujur.”
Aku nyengir angkat tangan. Aku paling ga ahli dalam berbohong. Akhirnya aku mengaku kalau sudah lama ini aku menyukai Riva. Tiya hanya tertawa mendengar ceritaku tentang Riva.
“Tiya setuju banget lho, Kak. Apalagi kalo jadian, hehe. Tapi sayang, Kak Riva udah punya pacar.”cerocos Tiya di akhiri mimik muka cemberut.
Riva udah punya pacar? Kok aku baru tau. Sejurus kemudian aku merasa dadaku agak sesak. Aneh. Inikah yang namanya terluka? Tapi aku mencoba tersenyum mendengar tanggapan dari Tiya.
***
Aku terus memikirkan perkataan Tiya. Riva sudah punya pacar. Tertutup sudah harapanku untuk menjadi pacarnya. Betapa beruntungnya perempuan yang kini menjadi pacar Riva.
Ah, bodohnya aku! Untuk apa memikirkan Riva yang sudah punya pacar? Kalaupun Riva tidak punya pacar, memangnya aku berpeluang untuk menjadi pacarnya? Rara, sudahlah...,  masih banyak cowok lain yang bisa menjadi pacarmu! Kataku dalam hati, bermaksud menyemangati diri. Tapi, tetap saja. Aku tak bisa mengungkiri perasaanku yang terluka. Tetesan air mata tetap saja membasahi pipi di malam-malamku.
Mengingat senyum Riva, akhirnya aku sadar. Tak sepantasnya aku bersedih. Bukankah pada dasarnya jika kita mencintai seseorang, maka kita akan ikut bahagia ketika melihat orang yang kita cintai itu bahagia? Benar. Harusnya aku ikut bahagia, meski hati ini terluka.
Biarlah hanya rembulan yang tahu...
***
Waktu terasa lebih cepat berlalu. Aku sudah lulus SMA. Aku berencana akan kuliah di Jogja, kemungkinan besar besok aku akan berangkat. Meskipun berat, tapi aku berjanji tidak akan memberi tahu hal ini kepada Riva. Aku harus melupakannya dengan mencari suasana yang baru. Ya, harus!
***
Tiga hari telah aku lalui di Jogja. Aku memilih untuk ngekos, karna aku berfikir dengan ngekos aku bisa punya banyak teman yang sama-sama merantau mencari ilmu. Dan benar saja, sekarang aku sudah memiliki banyak teman. Bahkan ada yang berasal dari Bandung juga, kota asalku.
Saat aku hendak tidur, aku kaget karna tiba-tiba ponselku berbunyi, tanda ada pesan masuk. Aku meraih ponselku yang ku taruh di meja.
From : Riva
Ra, kok ga ngsih tau klo km kuliah di Djokja? Klo aja Tiya ga ngsih tau, psti aqu ga bakal tau smpe kpn pun.
Aku melongo. Emang Riva itu siapa? Pacar bukan. Sampe harus ngasih tau segala. Padahal aku sengaja biar bisa hidup tenang tanpa Riva. Aku terlalu sakit untuk mengingat semua tentang Riva. Aku memutuskan untuk tidak membalas pesan dari Riva.
Keesokan harinya aku mengecek ponselku. Ada satu pesan belum terbuka.
From : Riva
Ra, aqu kngen km. Aqu butuh km.
***
Dua bulan telah berlalu. Dua bulan juga aku tak mendapat kabar dari Riva. Sudahlah Rara..., untuk apa kamu masih mengharapkan dia!?
“Ra, kok ngelamun? Udah malam, waktunya tidur.” Kata Mina, teman satu kamar kos ku. Aku hanya mengangguk lalu berbaring.
Aku terperanjat kaget karna tiba-tiba aku mendapat pesan singkat mengejutkan!
From : Riva
Ra, kluar. Aku udh ada d tmpat kos km.
Aku kaget bukan main. Ini bercanda ga sih? Aku pun merapikan piyamaku dan bergegas keluar tanpa lupa bilang pada Mina.
“Riva?” desisku ketika melihat seseorang yang membelakangiku. Ia pun menoleh. RIVA! Kok bisa? Riva menatapku lalu merengkuh tubuhku. Ya Tuhan, ada apa ini? Kenapa rasanya aku ingin menangis?
“Ra, aku mencarimu, aku terus mencarimu...” kata Riva lirih. Aku melepas rengkuhan Riva.
“Ke-kenapa? Kenapa kamu mencari aku? A-aku bukan siapa-siapa kamu.”  Kataku bergetar. Hampir menangis.
“Aku mencarimu karna aku butuh kamu. Aku sayang kamu, Ra. Udah lama. Bahkan sebelum pertemuan kita di toko buku itu.” Kata Riva. Aku melongo. Kaget. Seneng. Campur-campur. Apakah dia sungguh-sungguh? Tapi, bukankah Riva sudah punya pacar?
“Ta-tapi, kenapa baru sekarang?” tanyaku terbata-bata. Riva meraih tanganku dan menggengamnya. Membuat jantungku tak berhenti berdesir.
“Aku bodoh, Ra. Aku pengecut. Aku takut ditolak sama kamu. Apalagi setelah pertemuan kita bersama Tiya saat di rumahku itu, kamu malah menjauhi aku. Aku jadi makin takut, takut perasaanku mengacaukan pertemanan kita.” Riva tercekat. Tapi matanya tetap menatapku dalam. “Akhirnya aku bercerita pada Tiya, bahwa aku menyayangimu lebih dari sekedar teman. Tiya kaget. Tiya tidak tau kalau aku sudah lama putus dengan pacarku, makanya dia bilang kalo aku udah punya pacar ke kamu. Tiya bilang, kamu menjauhi aku karna kamu takut ganggu hubungan aku, dan karna kamu juga memiliki perasaan yang sama denganku. Betapa bodohnya aku terlambat mengetahui semua itu setelah aku tau kamu sudah kuliah di Jogja. Aku sampe nekat pergi ke Jogja demi menyampaikan perasaanku ini sama kamu. Aku ga mau terlambat lagi. Ra, aku sayang kamu. Benarkah kata Tiya bahwa kamu juga memiliki perasaan yang sama?” kata Riva panjang lebar. Air mataku tak terbendung. Aku terlalu bahagia. Akhirnya aku menangis dan mengangguk tanpa mampu berkata apa-apa.
Riva langsung merengkuhku lagi. Tuhan, terima kasih. Mungkin inilah yang namanya takdir. Begitu mengejutkan. Meskipun hari esok tetap menjadi tanda tanya.
Aku sangat bahagia. Biarlah semua orang tahu, termasuk rembulan yang memberi penerang di malam gelap ini...


Saturday,
3rd of March 2012

Nama : Icha Zahra Octavianna
Twitter : @KENzeira

Tidak ada komentar:

Posting Komentar