Destiny?
© KENzeira
Rate
: T
-:-:-:-:-
Chapter 5 (END) : Sumpah Terakhir
Happy Reading
~oOo~
Bukankah
ini sangat menyakitkan?
Sekitar
setengah tahun yang lalu…
“Bodoh!
Kenapa kau mau mengikrarkan janji sehidup semati itu? Kenapa kau tidak
menggagalkan semuanya?! Bukankah kau bisa pergi kemanapun agar menghindari
pernikahan konyol ini?!” Seon Hee tak hentinya mencecar Yunho. Pria yang waktu
itu masih berusia 28 tahun terdiam mematung. Ini pilihan sulit.
“Kau
tidak mengerti…” akhirnya hanya itu yang keluar dari bibir hati milik Yunho.
“Tch!
Kau yang tidak mengerti. Kau itu cerdas, Jung Yunho! Kau bisa melakukan apapun
untuk menyelamatkan perusahaan ayahmu – bukan dengan cara menyanggupi
perjodohan ini!” Seon Hee makin kalap.
“Kalau
begitu, bagaimana kalau aku kembalikan pertanyaanmu. Kenapa tidak kau saja yang
pergi – kabur, untuk menghindari perjodohan ini? Bukankah kau bisa melakukan
itu?” cetus Yunho. Ternyata pria itu mulai jengah dengan segala cercaan yang
dilemparkan Seon Hee padanya. Dan tepat sasaran, wanita yang masih mengenakan
gaun pengantin itu langsung terdiam.
“Jangan
pernah berani menyentuhku!” kata Seon Hee ketus. Yunho mendecih.
“Jangan
bermimpi, aku tidak akan pernah menyentuhmu walau seujung jari! Bahkan bila
seribu tahun tinggal bersamamu, aku tidak akan menyentuhmu!” cetus Yunho yakin.
“Oh,
itu bagus! Aku yakin kau seorang gay, wajahmu menunjukkan itu.” Kata Seon Hee
asal. Sungguh, waktu itu wanita yang masih berusia 26 tahun itu hanya berkata
asal. Benar-benar asal.
“Ya,
aku memang gay.”
“MWO?”
“Kau
benar, aku memang seorang gay. Aku tidak bernafsu melihat perempuan.” Kalimat
penutup itu meluncur dengan lancar di mulut Yunho. Setelah itu Yunho pergi
meninggalkan kamar pengantin tersebut. Seon Hee hanya diam mematung.
‘Yunho
seorang gay? Apakah itu benar-benar bagus?’ batin Seon Hee. Dalam hati ia masih belum
mempercayai kalau Yunho adalah gay. Bagaimanapun juga, bisa saja pria itu hanya
menggertak.
Dan
semuanya berjalan begitu saja. Yunho yang setiap malam pulang ke apartment – yang dipersiapkan kedua
orang tua Seon Hee untuk tinggal berdua dengan Yunho, pria itu selalu mabuk.
Dan Yunho tak pernah pulang sendiri, ia selalu dipapah oleh laki-laki yang
setiap malamnya berbeda-beda. Melihat hal itu mau tak mau membuat Seon Hee
percaya kalau Yunho benar-benar gay.
~oOo~
Jung
Yunho melirik jam di tangannya. Sudah pukul tiga siang tapi Jaejoong masih
belum keluar juga. Yunho menggoyang-goyangkan kakinya pegal, sudah cukup lama
ia menunggu di depan gerbang sekolah.
“Aish,
kemana anak itu?!” Yunho menggerutu kesal. Padahal bel pulang sudah berbunyi
sejak satu jam yang lalu tapi kenapa Jaeoong belum keluar juga.
“Anda
sedang menunggu siapa, songsaenim?”
tanya satpam penjaga sekolah. Jujur saja, satpam itu bingung melihat salah satu
guru di Shin Ki High School mondar-mandir di depan gerbang sekolah. Seperti
sedang menunggu seseorang. Padahal biasanya Yunho selalu pulang lebih awal.
“Ah,
saya sedang menunggu Kim Jaejoong, siswa kelas sebelas. Dia harus les bersama
saya.” Jawab Yunho bohong. Les? Yang benar saja~!
“Sebaiknya
Anda cek saja ke kelasnya. Siapa tahu dia sudah pulang sebelum Anda menunggunya
di gerbang.” Usul satpam tersebut. Yunho tidak bodoh, ia sudah mengeceknya
tadi, tapi tidak ada Jaejoong di sana.
“Baiklah,”
Yunho
memutuskan untuk kembali mengecek kelas Jaejoong. Ia melangkahkan kaki
panjangnya menuju kelas laki-laki bermata besar itu. Yunho menghela nafas
panjang dan menghembuskannya perlahan saat tak menemukan Jaejoong di kelas.
“Apa
dia benar-benar sudah pulang?” tanya Yunho pada dirinya sendiri. Pria bermarga
Jung tersebut mengacak rambutnya frustasi. Kim Jaejoong tak lagi datang ke
rumahnya sejak dua hari yang lalu. Sebenarnya ada apa?
Yunho
melangkahkan kakinya dengan cepat, ia ingin pulang dan tidur. Ia lelah menunggu
remaja labil itu. Ia bersumpah akan menemukan Jaejoong besok, di kelasnya saat
pelajaran sedang berlangsung!
Tapi
rupanya dewi keberuntungan sedang berpihak pada Yunho. Ia tak sengaja menemukan
laki-laki berambut almond pirang
sedang menengadahkan kepalanya dengan tubuh bersandar pada tembok. Kim Jaejoong
belum pulang. Ia masih di sekolah, melamun sendirian. Ingin rasanya Yunho
berlari dan memeluk laki-laki itu.
“Joongie…”
sapa Yunho sambil menyentuh bahu Jaejoong. Yang disapa menoleh dengan wajah
kaget.
“Bagaimana
bisa kau masih di sini?” tanya Jaejoong. Yunho tersenyum kecil, kedua lengannya
kini memegang kedua bahu Jaejoong, supaya Yunho bisa langsung memeluk laki-laki
itu kapan saja ia mau.
“Aku
menunggumu. Kenapa kau masih di sini? Kau sendirian?” kata Yunho. Kalimat itu
terdengar sangat lembut di telinga Jaejoong. Dengan susah payah laki-laki
bermata doe besar itu memasang senyumnya.
“Aku
sedang memikirkan sesuatu.”
“Oh
ya? Apa itu? Memikirkanku ya?”
Jaejoong
mengagguk mantap. “Ya, aku terus memikirkanmu. Kau tahu tidak kenapa aku terus
memikirkanmu?”
“Entahlah,
kenapa memang?”
“Aku
pikir aku mencintaimu. Tapi–”
“Tapi
apa?” Yunho langsung menyela. Jaejoong menghela nafas dan membuang wajahnya ke
arah lain. Ia tak ingin menatap mata Yunho, ia terlalu takut untuk mengatakan
apa yang ingin dikatakannya.
“Tapi
ternyata aku tidak mencintaimu. Aku… aku dekat denganmu berdasarkan sumpah
konyolku. Itu saja. Kau pasti bahagia bukan, songsaenim? Aku tidak lagi mengganggu hidupmu.” Meski mengatakannya
dengan lembut, tapi kalimat itu terdengar sangat menyakitkan di telinga Yunho.
Apalagi saat Jaejoong memanggilnya songsaenim,
jujur saja saat ini Yunho lebih senang disebut guru jelek.
“Bagaimana
bisa? Ah, Joongie, kau pasti sedang berbohong padaku. Katakan kau sedang
berbohong!” ujar Yunho sambil menggoyang-goyangkan bahu Jaejoong. Laki-laki
berambut almond itu malah menepis
lengan Yunho di bahunya. Tentu saja hal itu membuat Yunho kaget.
“Untuk
apa aku berbohong? Bukankah kau juga tahu aku ingin menjadi kekasihmu karena
sumpah konyolku itu?” cetus Jaejoong, kemudian ia memasang senyum getir.
“Sebenarnya
apa yang ada di kepalamu? Kenapa kau berkata seperti itu disaat aku mulai
mencintaimu? Di mana kau simpan hatimu?! Astaga! Ini sulit dipercaya.” Kata
Yunho. Matanya mulai terasa perih, hatinya jauh lebih perih. Laki-laki bermarga
Kim di hadapan Yunho itu menelan ludahnya dengan susah payah. Sekarang
bagaimana?
“Aku
ingin pulang, songsaenim. Bisakah kau
menyingkir dari hadapanku?” kata Jaejoong ketus. Ia berusaha menyingkirkan tubuh
Yunho di hadapannya, tapi pria yang lebih tinggi darinya itu seperti batu –
sulit disingkirkan.
“Tidak.
Tidak akan kubiarkan kau pergi begitu saja.” Ujar Yunho dingin. Kim Jaejoong
mendorong dada Yunho sekuat mungkin, tapi ia gagal. Pria itu malah menahan
kedua bahunya dengan kedua tangannya tersebut. Punggung Jaejoong terasa sakit
ketika terbentur tembok di belakangnya. Tapi, sepertinya Yunho tak peduli.
“Kau!
Kau tak pernah jujur padaku! Kenapa kau tidak bilang dari awal kalau kau adalah
mantan suami kakakku?!” akhirnya amarah Jaejoong meledak juga. Laki-laki
bermarga Kim itu sudah cukup sabar menahan amarahnya, ia tak sanggup menahannya
lagi. Terlalu perih.
“Jae…
jadi, kau…”
“Aku
sudah tahu semuanya! Kenapa kau tidak mengaku saja?! Kau membuatku seperti
orang bodoh yang tidak tahu apa-apa.” Bentak Jaejoong. Astaga, disaat seperti
ini mata doe besar itu malah terasa perih. Ia ingin menangis.
“Mianhae, Boo Jae. Maafkan aku. Aku sama
sekali tak bermaksud tidak memberitahumu. Tapi, aku takut kau akan seperti
ini.” Lirih Yunho. Laki-laki di hadapannya tetap berusaha memberontak tapi
Yunho selalu menahannya. Ia tak ingin Jaejoong meninggalkannya begitu saja.
“Aku
membencimu, Jung Yunho! Lepaskan aku!” Jaejoong semakin kalap. Rasanya matanya
sudah terasa basah. Walau bagaimanapun ia tak ingin menangis di hadapan Yunho.
Itu memalukan.
“Tidak,
jangan katakan itu. Katakan kau juga mencintaiku!” kata Yunho tak kalah kalap.
Ini pertama kalinya seorang Jung Yunho seperti ini.
“Aku
membencimu! Aku takkan pernah memaafkanmu atas apa yang kau lakukan pada
kakakku! Aku membenci–”
Sebuah
ciuman kasar mendarat di bibir semerah cherry
itu. Jung Yunho tak tahu lagi harus bagaimana menghentikan cercaan yang di
alamatkan Jaejoong padanya. Ia tak ingin mendengar apapun yang menyakitkan
hatinya. Sudah cukup Jaejoong berkata bahwa ia membencinya, Yunho tak ingin
mendengar yang lebih menyakitkan dari itu.
“Yunhh…”
Jaejoong tak bisa membendung air matanya. Yunho menciumnya dengan kasar,
membuat hatinya semakin terasa perih. Yunho bisa membunuhnya kalau tidak melepaskan
ciumannya, Demi Tuhan Jaejoong butuh oksigen.
Akhirnya
Yunho melepaskan ciumannya.
“Kau
mau membunuh–”
Jung
Yunho mencium Jaejoong lagi dan lagi. Ia tak tahu harus bagaimana. Ia
benar-benar hilang kendali. Yunho tak ingin kehilangan Jaejoong tapi laki-laki
itu begitu keras kepala. Ia tak peduli tengah berada dimana kini.
Jika
sumpah Jaejoong yang mengatakan akan membuat siapa saja yang menolongnya
menjadi kekasihnya sudah tidak berlaku, maka bisakah sumpah Jaejoong yang
mengatakan bahwa ia tidak akan pernah memaafkan Yunho dan akan membuat Yunho
menderita juga tidak berlaku?
~oOo~
“Kau
tahu, Joongie? Yunho memang sejenis manusia yang menyebalkan. Kata-katanya
selalu kasar dan menyakitkan. Tapi, kali ini aku mengenal sisi lain dari
seorang Jung Yunho.” Kalimat itu meluncur dari bibir mungil milik Seon Hee.
Jaejoong
tetap bergeming dari kasurnya. Sang noona
mengusap rambut almond pirang adiknya
penuh sayang. Walau bagaimanapun, Jaejoong pasti tahu kebenarannya suatu saat nanti
jika waktu itu Seon Hee tak memberitahunya. Bukankah itu sama saja?
Seon
Hee menyibakkan selimut yang menutupi sebagian tubuh adiknya, isyarat agar
Jaejoong bangun dari posisi tidurnya. Tapi, rupanya sang adik sedang tak mau
menuruti perintah kakaknya. Ia membiarkan tubuhnya tetap terbaring meski
selimut itu sudah ditarik kakaknya. Sepasang mata doe besar nan indah itu
terbuka, tapi pandangannya kosong ke arah objek lain. Telinganya memang
mendengar penuturan sang kakak, tapi pikirannya melayang entah kemana.
Wanita
bermarga Kim tersebut menghembuskan nafasnya berat. Sejujurnya ia tidak tega
melihat Jaejoong terdiam memendam lukanya sendiri. Ia lebih suka jika Jaejoong
mengungkapkan kesedihannya dengan berteriak bahkan menangis daripada seperti
ini. Terdiam seperti ini terlihat lebih menyakitkan di mata Seon Hee.
“Dulu,
aku memang membencinya. Dia pria yang angkuh dan semaunya, benar-benar
menyebalkan. Dia pulang-pergi sesuka hatinya, mabuk bersama teman-temannya, dan
banyak hal lain yang lebih menyebalkan.” Tutur Seon Hee, ia tahu dalam diam
Jaejoong masih mendengar kalimatnya. “Aku memutuskan untuk bercerai, aku sama
sekali tak peduli dengan perusahaan ayahnya itu. Dan kau tahu apa yang Yunho
katakan padaku?”
Tak
ada jawaban.
“Dia
bilang, ‘aku sangat senang berpisah
denganmu. Ini seperti mimpi. Aku bahkan tak menyangka aku bisa sesenang ini
hanya karena berpisah denganmu.’ Dan aku benar-benar muak dengan kalimatnya
yang seolah-olah akulah yang menginginkan pernikahan konyol itu. Itulah klimaks
dari apa yang membuatku sampai membencinya.” Lanjutnya.
Tetap
tak ada jawaban.
“Dia
pernah bilang padaku, ‘aku tidak akan
pernah menyentuhmu walau seujung jari’, dan dia melakukannya dengan baik.
Dia tidak pernah menyentuhku, karena aku tahu dia seseorang yang memiliki
selera menyimpang. Aku yakin, sekalipun aku bertelanjang di hadapannya, Yunho
tak akan pernah mau menyentuhku, justru dia akan jijik padaku.”
Kali
ini Jaejoong sedikit menggerakkan punggungnya meski masih belum bersuara.
“Dan
perceraian itu berjalan sesuai dengan kemauanku. Kasar, semaunya, dan tak
mengahargaiku, itulah yang menjadikanku alasan untuk menceraikannya. Umma sangat sedih waktu itu, ia berulang
kali meminta maaf padaku. Dan appa,
dia murka hingga menarik kembali investasi yang sudah di berikannya pada
perusahaan Tuan Jung.”
Seon
Hee bisa melihat tangan Jaejoong yang meremas sprei kasurnya.
“Padahal
Yunho tak pernah berbuat kasar padaku, dia memang bertindak sesukanya dan
mengeluarkan kalimat-kalimat kasarnya, tapi ia tak pernah kasar padaku dalam
arti fisik. Setelah perceraian itu, perusahaan Tuan Jung mengalami deteriorasi
– kemerosotan, sampai akhirnya gulung tikar. Dan kau tahu, Joongie? Aku tidak
tahu apa yang ada dalam kepala Yunho, tapi dia mengaku pada orang tuanya bahwa
dia gay.”
Remasan
Jaejoong pada sprei kasurnya semakin menguat.
“Mendengar
hal itu tentu saja keluarganya marah besar dan mengusir Yunho dari rumah. Aku
pikir, Yunho sudah cukup menderita selama setahun terakhir ini. Dia berusaha
mencari pekerjaan yang layak, sampai akhirnya dia di terima menjadi guru
matematika. Aku akui, dia memang cerdas. Sampai suatu hari kau bertemu
dengannya, dan hanya kau yang tahu bagaimana kelanjutannya.”
Sayang,
Seon Hee tak melihat bahwa adiknya – Kim Jaejoong sedang menggigit bibir
bawahnya kuat-kuat.
“Beberapa
hari yang lalu aku bertemu dengan Yunho, dia memintaku untuk membiarkanmu tetap
bersamanya. Dia bahkan memohon. Itu pertama kalinya aku melihat wajah Yunho
yang seperti itu, seolah tanpa kau Joongie, dia tidak bisa hidup. Dia bahkan bilang
akan memperkenalkanmu pada keluarganya sekalipun keluarganya sudah tak mau lagi
berhubungan dengan dirinya. Dan yang terakhir yang dia katakan pada pertemuan
waktu itu adalah, Yunho bilang dia sungguh-sungguh mencintaimu. Yunho sangat
mencintaimu, Joongie.”
“Noona…” akhirnya Jaejoong beringsut
bangun dan memeluk kakaknya dengan erat. Seon Hee tak mampu membendung air
matanya, ia senang Jaejoong bereaksi atas kalimat-kalimatnya.
“Joongie,
sekalipun aku membencinya, kau tak boleh ikut membenci Yunho. Dia tak salah
apapun padamu, justru dia sangat membutuhkanmu. Dia takkan melukaimu, aku
percaya itu. Aku sebagai kakakmu – bukan sebagai mantan istrinya, maukah kau
memaafkannya? Jangan menyiksa dirimu sendiri seperti ini.” Tutur Seon Hee
direspon anggukan dari Jaejoong.
Air
mata Seon Hee memang mengalir, tapi ia tersenyum bahagia. Kim Jaejoong, adik
satu-satunya harus bahagia. Seon Hee semakin mempererat pelukannya.
.
.
.
‘Plukk’
Kim
Jaejoong membuang bungkus es krimnya di sembarangan tempat. Lidahnya mulai
menjilati es krim tersebut.
“Kenapa
kau tidak membeli dua?” tanya Junsu masih tetap memfokuskan mata kecilnya pada
layar televisi yang menampilkan adegan cakar-cakaran, sedangkan kedua tangannya
sibuk memencet-mencet tombil stick playstations.
Intinya Junsu sedang bermain playstations.
“Aku
membeli dua kok.” Jawab Jaejoong sambil memamerkan es krim satunya lagi dengan
tangannya yang tidak memegang stik es krim yang dijilatnya. Junsu mem-pause gamenya lalu melirik ke arah Jaejoong yang tengah duduk di
kasurnya.
“Kau
baik sekali~” puji Junsu lalu berjalan ke arah sepupunya dan hendak mengambil
es krim di tangan Jaejoong. Tapi, es krim tersebut malah ditarik kembali dan
disembunyikan di belakang punggung namja
berambut almond tersebut.
“Aku
memang membeli dua, tapi dua-duanya untukku!” cetus Jaejoong minta ditoyor.
Junsu mendengus sebal. Dengan langkah gontai ia kembali duduk dan melanjutkan
permainan cakar-cakarannya – enggak ding, permainan gulat.
“Kau
ini pelit sekali! Makan es krim tanpa berbagi padaku, seperti orang yang tidak
menemukan es krim selama tiga kali puasa tiga kali lebaran saja.” Gerutu Junsu
asal. Jaejoong malah cuek sambil terus menjilati es krimnya.
“Minta
saja pada Yoochun sana~” usulnya. Namja
pemilik suara bak lumba-lumba itu – Junsu, kembali mem-pause-kan playstationsnya
sehingga menampilkan karakter dengan lubang hidung besar yang tengah memukul
karakter lainnya yang kurus kering kurang makan.
“Usulmu
boleh juga. Ngomong-ngomong soal Yoochun, aku jadi teringat pacarmu itu.”
“Pacar?
Siapa?” tanya Jaejoong lalu kembali menjilati es krimnya yang mulai meleleh.
“Guru
matematika itu, Jung Yunho songsaenim.
Beberapa hari yang lalu ia menanyakan keberadaanmu padaku. Ternyata dia tahu ya
kalau aku dekat denganmu.”
“Dia
bukan pacarku. Aku memang pernah bercerita tentangmu padanya.” Ujar Jaejoong.
“Oh,
benarkah? Bukan pacar tapi ciuman? Aneh.” Celetuk Junsu.
“Posisinya
saat itu hanya aku yang ingin menjadi pacarnya, lagipula itu hanya obsesiku
karena sebuah sumpah konyol.”
“Aku
rasa bukan sekedar sumpah konyol. Akui saja kau menyukainya. Sayang sekali dia
tidak tertarik padamu, ya?”
“Dia
tertarik padaku!” tukas Jaejoong yakin. “Dia mana mungkin menciumku kalau dia
tidak tertarik padaku.” Lanjutnya.
“Jinjja? Kalau begitu, bagaimana
denganmu? Kulihat akhir-akhir ini kau sering melamun. Aku bahkan memergokimu
mengigau memanggil-manggil nama Yunho.”
“Mengigau?
Kapan aku mengigau?!” cetus Jaejoong tak terima. Jujur saja, ia memang pernah
ketiduran di rumah Junsu tapi ia takkan pernah mau mengakui bahwa dirinya
mengigaukan nama Yunho karena dia tidak mengingatnya. Tentu saja, mana ada
orang mengigau tapi ingat? Jaejoong minta ditoyor beneran nih.
“Waktu
kau tertidur di rumahku. Eh, kenapa wajahmu memerah, Joongie?” celetuk Junsu
ketika melihat perubahan wajah sepupunya.
“A-aniya! Siapa juga yang memerah!” Elak
Jaejoong.
Junsu
tertawa menggelegar membuat namja
bermata besar itu menutup telinganya. “Akui saja kau juga menyukainya! Wajahmu
sudah mengatakan itu, kau tidak pandai berbohong.”
~oOo~
…
..
Jung
Yunho menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal. Entah sudah berapa kali ia
mengganti posisi, tapi ia tetap tak menemukan kenyamanan. Sudah beberapa hari
ini ia sulit tidur, pikirannya terus saja melayang-layang pada potongan
kejadian ketika masih bersama Jaejoong. Ia bahkan sering ditegur guru lainnya
jika sedang melamun di ruang guru.
Sejak
pertemuannya dengan Jaejoong sepulang sekolah waktu itu, Yunho tak pernah bisa
tenang. Otak jeniusnya mendadak tak berfungsi apabila menyakut hubungannya
dengan siswanya itu – Kim Jaejoong. Remaja itu sudah mengubah hidup Yunho
sedemikian rupa. Yunho sudah meninggalkan kebiasaannya minum-minum,
kebiasaannya membeli makanan instan, kebiasaannya tidak merapikan lemari
pakaian, dan yang paling mengagetkan adalah Yunho baru sadar kalau ia sedang
belajar berkata lembut.
Tapi,
semua perubahan itu sia-sia kalau tak ada Jaejoongie di sisinya. Memangnya
untuk siapa Yunho berubah? Tentu saja untuk Jaejoong. Lalu untuk apa ia berubah
kalau Jaejoong kini tak lagi di sampingnya? Semuanya terasa sia-sia.
Meski
pikirannya sedang kacau, Yunho tak lagi minum-minum seperti biasanya. Ia lebih
senang berdiam diri di rumah dan melamun seharian. Ia sendiri bahkan merasa
sudah kehilangan kewarasannya. Jaejoong sangat berpengaruh dalam hidupnya.
Di
satu waktu Yunho bisa tersenyum, tapi ia juga bisa bersedih apabila mengingat namja itu. Dan Yunho semakin meyakini
kalau dirinya sudah gila karena sudah sengaja membiarkan rumahnya berantakan,
dengan harapan Jaejoong akan datang dengan keceriaannya dan membereskan
rumahnya.
“Kami-sama (Tuhan), bagaimana ini? Apa
aku terjun bebas saja dari atas gedung?” Yunho bermonolog sendiri. Pria itu
mengangkat wajahnya dari bantal, dengan gerakan cepat ia melempar bantal malang
tersebut ke sembarang arah.
“Aww!
Appo…”
Yunho
tertawa sendiri mendengar suara itu. Mirip dengan suara Joongie-nya. Mungkin
karena terlalu rindu, ia sampai-sampai dikelabui sendiri oleh pendengarannya.
‘BUAK!’
Pria
bermarga Jung terebut terkesiap kaget ketika bantal itu terlemar kembali ke
arahnya, tepat ke wajah tampannya. Ia jadi takut sendiri, bagaimana bisa bantal
bak boomerang?
“B-bagaimana
bisa kau…” Yunho tercekat ketika melihat cengiran jahil terpampang dengan jelas
di wajah itu. Wajah yang dirindukan Yunho.
“Kau
merindukanku, eoh?” tanya suara yang
amat dikenalnya itu. Yunho menabok pipinya sendiri takut kalau ia sedang
berkhayal, tapi orang itu masih di sana, di ambang pintu kamar, sangat nyata.
Kim Jaejoong…
“Joongie…”
“Kenapa
kau memandangiku seperti itu, guru jelek?”
Tanpa
aba-aba Yunho melangkah mendekati Jaejoong dan memeluknya dengan erat. Takut
kalau-kalau ini hanya khayalan semata. Tapi, tubuh itu benar-benar nyata,
benar-benar hangat.
“K-k-kau
membuatku sesaakh!!!” pekik Jaejoong.
.
.
.
“Kenapa
kau tidak mau menyingkir dari tubuhku, baka?!”
kata Jaejoong ketus. Saat ini Yunho dan Jaejoong tengah duduk di sofa dengan
televisi. Posisinya itu yang membuat Jaejoong protes, Yunho duduk di belakang
Jaejoong, kaki pria itu melebar karena Jaejoong duduk tepat di antara kedua
kaki panjang itu – dan oh, jangan lupakan kedua tangannya yang melingkar di
perut namja cantik tersebut. *ngerti
kan posisi yang dimaksud Author?*
“Aku
tidak mau~” kalimat itu terdengar sangat manja di telinga Jaejoong. Namja pemilik mata doe besar yang indah
itu tak berhenti berusaha melepaskan tangan Yunho yang melingkar di antara
perutnya.
“Ya!
Kau ini kenapa?!” cetus Jaejoong kesal. Kepala Yunho kini bersandar di bahunya
membuat ia merasa geli sekaligus merinding.
“Non posso vivere ti senza…” gumam Yunho.
“Apa
yang kau katakan?!” tanya Jaejoong, ia sedikit penasaran juga maksud perkataan
Yunho barusan. Entah bahasa apa itu.
“Aku
tak bisa hidup tanpamu, Boo Jae. Itu bahasa Italia, kenapa kau bodoh sekali?”
celetuk Yunho, lalu ia semakin mengeratkan tangannya di perut Jaejoong. Bibir
semerah cherry itu mengkerut lucu.
“Lucu
sekali,” katanya.
Sepasang
mata musang itu melirik ke arah wajah Joongie-nya yang ternyata sudah memerah.
“Aku sedang tidak melucu.” Ujar Yunho. “Aku serius mengatakannya. Aku
membutuhkanmu untuk melanjutkan hidupku. Tidakkah kau tahu kalau aku sedang
bersungguh-sungguh?” lanjutnya.
Jaejoong
tak menyahut. Ia terlalu sibuk mengatur detak jantungnya. Yunho menempelkan
bibirnya di leher seputih susu itu, hanya menempel. Tapi tetap saja membuat
pemiliknya geli.
“Kenapa
kau baru datang sekarang? Kau nyaris membuatku gila. Tapi dipikir-pikir, aku
memang sudah gila sih.” Celetuk Yunho ngelantur. “Aku sudah gila, ya aku sudah
gila sejak bertemu denganmu. Kau yang membuatku tergila-gila padamu.” Makin
ngelantur.
“Bisakah
kau singkirkan kepalamu di bahuku? Dan lagi, jangan menempel-nempel seperti
cicak pada dinding. Aku geli!” ujar Jaejoong sambil menyingkirkan kepala Yunho
di bahunya. Yunho manyun seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Tapi
kemudian ia tersenyum lagi dan kembali menyandarkan kepalanya di bahu
Jaejoongie-nya.
“Jangan
tinggalkan aku lagi, ne? Kalau
seperti itu lagi, aku akan menyeretmu secara paksa untuk datang ke rumah ini.”
Kata Yunho posesif.
“Ternyata
kau sungguh-sungguh menyukaiku, eoh?”
tanya Jaejoong, nadanya sedikit mengejek.
“Tidak,
tapi aku mencintaimu~”
Bulu
kuduk Jaejoong seolah berdiri mendengar suara Yunho yang terdengar manja dan
dibuat-buat itu. Sejujurnya akan lebih baik kalau Yunho berkata ketus, kalau
seperti ini justru terdengar sangat mengerikan. Ckckck
“Kenapa
kau tidak bertanya padaku?”
“Tanya
apa?” Yunho balik bertanya.
“Kenapa
aku datang kemari? Begitu.”
Yunho
mengangguk-nganggukkan kepalanya. “Baiklah, kenapa kau datang kemari?”
Jaejoong
malah tertawa kecil. Kenapa Yunho menjadi seperti bocah? Yunho diam saja
mendengar namja yang tengah dalam
pangkuannya tertawa. Ia tak ingin kehilangan momment indah ini.
“Aku
ingin bersumpah lagi. Ini yang terakhir.” Kata Jaejoong mantap. Sepasang mata
musang itu menatap wajah ‘kekasih’nya bingung. Ia belum mengerti maksud namja cantik ini.
“Sumpah?
Apa itu?” tanya pria bermarga Jung tersebut.
“Aku
bersumpah akan membuatmu jatuh cinta padaku dan menjadi takdirku selamanya.
Satu lagi, aku akan menghapuskan sumpah-sumpah konyolku yang dulu. Aku akan
menganggap sumpah-sumpah itu angin lalu.” Tutur Jaejoong, mata beningnya
menatap mata musang Yunho yang berada di bahunya.
“Takdir?”
Jaejoong
mengangguk mantap sambil tersenyum.
“Kau
tahu, Boo? Tanpa bersumpah pun, kau tetap takdirku.” Ujar Yunho yakin. Ia
mengeratkan pelukannya pada perut Jaejoong. “Mianhae, aku tidak berkata jujur waktu itu. Aku pikir jika kau
tidak tahu, itu akan lebih baik. aku tak bermaksud membuatmu seperti orang
bodoh yang tidak tahu apa-apa.” Lanjutnya. Namja
dalam pangkuan Yunho tersenyum kecil.
“Sudahlah,
bukankah itu sudah berlalu? Lebih baik sekarang kita jalani saja. Kau dan aku,
kita ditakdirkan bersama. Aku yakin itu.”
“Eh?
Sejak kapan kau jadi sok dewasa, Boo?”
“Sejak
orok! Kau ini, kenapa memanggilku Boo terus, guru jelek?!” cetus Jaejoong. Ia
memanyunkan bibirnya, pura-pura ngambek.
“Kau
juga, kenapa memanggilku guru jelek terus, Boo?” Yunho membalikkan pertanyaan
Jaejoong membuat namja itu tak bisa
menjawab.
“Itu…”
“Mulai
sekarang panggil aku chagiya, oke?”
pinta Yunho.
“Aniya, kenapa aku harus memanggilmu
seperti itu? Kau bukan kekasihku.”
Kalimat
itu sukses membuat Yunho manyun. “Aku tidak mau tahu, kau harus menjadi
kekasihku dan memanggilku chagiya.”
Jaejoong
tertawa kecil. “Arraseo, arraseo, chagiyaaa~”
Yunho
tersenyum mesum, tangannya ia pindahkan ke wajah Jaejoong agar namja itu menoleh ke kiri – ke arahnya.
Dan ciuman hangat itu berlangsung dengan lembut.
~oOo~
Semuanya
berjalan dengan mulus. Yunho benar-benar memperkenalkan Jaejoong pada orang
tuanya. Meski awalnya mereka menolak mentah-mentah, tapi hati kedua orang tua
Yunho luluh ketika melihat Jaejoong yang sangat baik pada mereka. Jaejoong
bahkan selalu menyempatkan waktunya untuk menengok sang ‘mertua’ yang kini
sibuk membangun kembali perusahaannya dari nol.
Dan
yang paling membahagiakan adalah, hubungan Yunho dengan kedua orang tuanya
membaik. Tak ada yang meminta Yunho menjadi seorang gay, karena memang seperti
itulah seharusnya hidupnya. Menjadi gay adalah garis hidupnya, dengan begitu ia
bisa bertemu dan bersama dengan Jaejoong. Kini Yunho sudah dipercayai untuk
bekerja sebagai pemimpin baru oleh ayahnya. Tapi, Yunho malah menolak dengan
alasan ia masih ingin menjadi guru untuk memata-matai aktivitas ‘kekasih’nya di
sekolah. Benar-benar kekanakkan.
Bagaimana
dengan keluarga Jaejoong? Seon Hee berhasil membujuk orang tuanya untuk
menuruti apa yang Jaejoong mau. Entah tak-tik apa yang dipakai kakaknya untuk
membuat sang umma dan appa memberi izin pada Jaejoong
berpacaran dengan Yunho.
Yang
lebih mengejutkan, Tuan Kim – ayah Jaejoong, bersikeras ingin kembali
menanamkan investasinya di perusahaan yang baru di bangun orang tua Yunho.
Entah kenapa Jaejoong merasa kalau ayahnya terlihat lebih labil darinya. Tapi,
apapun itu, Jaejoong bahagia kini.
Takdir?
Ya,
semuanya memang berjalan sesuai dengan rencana-Nya. Sesuai takdirnya.
.
.
.
Dan ‘Destiny?’ Pun akhirnya
~END~
~oOo~
…
..
Author Note
Arigatou, gomawo, thank you, molto
grazie, matur nuwun, tak terkira yang sebesar-besarnya untuk:
Piko Pikoh (I Love You, umma!),
Sholania Dinara, YunHolic, arriedonghae, nataliakim8624, Himawari Ezuki,
NaraYuuki, BlaueFEE, Ichigo Song, BooFishy, I0, J-Twice, SimviR, Jae milk,
RulesBreaker13, Shikawa, BooMilikBear, Sora-Aikawa, Akasia Cheonsa, JungJaeMa,
Lee Kibum, Eun Blingbling, jennychan, Jung YunJae, Shimmax, Ryukey, Js-ie,
Anjani, Shim Shia, dew’yellow, Elen Lee, Cho Min Gi, Asha lightyagamikun,
diitactorlove, ahh pokoknya semuanya deh xD HAHAHA~
Tanpa reviews kalian semua, fict
ini bukanlah apa-apa *membungkuk*
Mianhae, hanya ending seperti ini
yang terjangkau oleh imajinasiku, alurnya juga cepet pake banget wkwkwk Sorry
juga, tak ada YooSu momment apalagi Changmin XD dia nggak memiliki andil dalam
cerita ini, mianhaeee Changminnie~!!! Jangan manyun, okay? *ditendang*
And last but not least, terima
kasih sebesar-besarnya untuk kalian yang mantengin cerita ini dari awal sampe
akhir *terharu* Fict ini aku persembahkan untuk kalian semua, YunJae Shipper
dimanapun kalian berada…
Jangan lupa reviews terakhir untuk
chapter ini, ne? :3
Cheers,
KENzeira a.k.a SanSan
..24 Maret 2013..