Letter In A Beautiful Summer © KENzeira
Disclaimer:
The plot is MINE, characters belong to themselves, God, their parents, and
whatever. The plot of story is AU—Alternative Universe.
Warnings:
YeWook (Yesung x Ryeowook), typo(s), OOC, OC, and many more
Genre:
Hurt/Comfort and Family
Rating:
General (Semua Umur)
Enjoy read my story with clasp a some cup of tea,
milk, or coffee in your hand—because the words are 2.300 ^^
~oOo~
—Thursday, June 21, 2012.
Sesosok laki-laki tengah terduduk di bibir pantai. Sepasang
manik karamelnya terarah pada lautan sejauh mata memandang. Ia biarkan kedua
kakinya terus dibelai ombak. Pantai Haeundae menjadi tujuan utamanya untuk
liburan musim panas waktu itu. Sarat dengan kesibukan, perlahan orang-orang
yang mencari hiburan di pantai itu pergi ketika petang sudah nampak.
Namun, tidak bagi laki-laki itu. Tak ia perdulikan
getaran ponsel dalam saku celananya, ia tetap menikmati suasana pantai yang
terletak di Busan itu—seolah menghayati keindahannya.
Kim Ryeowook namanya, laki-laki dengan tinggi 173
sentimeter itu tetap dalam posisinya. Raganya memang di sana, akan tetapi tidak
dengan jiwanya. Jiwa laki-laki yang akrab dipanggil Wookie itu rupanya sedang
tersesat di masa lalu. Yeah, laki-laki itu sedang merenungkan apa yang terjadi
di masa yang menakutkan itu. Ia takut—sungguh, namun otaknya tetap memikirkan
itu.
Dikarenakan getaran ponselnya cukup mengganggu, akhirnya
dengan wajah ditekuk, Ryeowook meraih ponsel dalam saku celananya dan langsung
menekan tombol jawab—mengingat telepon dari sang ibu-lah yang membuat ponselnya
bergetar.
“Yeobose—“
“Yaa! Kemana saja kau, Kim Ryeowook?!”
“—yo,” Ryeowook
nyaris terperanjat dari duduknya ketika telinga kanannya yang malang harus
mendapat teriakan heroik gratis dari sang ibu, bahkan sebelum ia menyelesaikan
ucapan halo-nya. “Umma, kau mau
membuat telinga putramu tuli?” protesnya.
“Katakan pada umma,
di mana kau sekarang? Tidak tahukah kau kalau orang tuamu begitu khawatir?
Entah sudah satu juta kali lebih umma
meneleponmu, dan kau sama sekali tidak menjawabnya!” mengabaikan protes yang
diajukan putranya, Nyonya Kim gencar memberi sang anak kalimat-kalimat tentang
kemarahannya—juga kekhawatirannya.
“Aku di Haeundae, umma.”
“Kenapa kau ke sana sendiri, chagi? Kau bisa meminta umma
untuk menemanimu.” Rupanya kata-kata sang ibu mulai melembut sekarang mengingat
putranya sangat sensitif dengan bentakan.
“Mianhae, tapi
aku hanya ingin sendiri.”
Ryeowook bisa mendengar suara ibunya yang mendesah
kecewa. “Pulanglah secepatnya sebelum mentari benar-benar tenggelam. Setidaknya
kau akan sampai di rumah tidak terlalu malam. Aboeji sudah menyiapkan kado istimewa untuk ulang tahunmu.” Tutur
sang ibu.
“Baiklah,” hanya itu yang menjadi jawaban. Bunyi ‘plip’
mengakhiri sambungan telepon itu. Sebelum beranjak dari tempatnya, laki-laki
itu meraih sesuatu dalam saku celananya. Sebuah botol mini dengan ukuran satu
jengkal tangan.
Ryeowook memandang sejenak botol yang kini berada dalam
genggaman tangan kanannya. Dalam botol itu tersimpan satu kertas, satu surat
untuk seseorang. Dengan sekali sentakan, botol kecil itu ia lempar ke lautan.
Membiarkannya tenggelam, terbawa ombak, terjatuh dalam dasar laut—atau bahkan
hilang di segitiga bermuda. Ia membiarkan surat itu hilang, ia membiarkan surat
dalam botol kecil itu tak dibaca oleh sesosok laki-laki yang seharusnya
membacanya.
Laki-laki itu menarik sudut bibirnya membentuk sebuah
senyuman getir yang memilukan. “Aku akan kembali ke pantai ini tahun depan,
tetap bertepatan di hari kelahiranku. Aku akan tetap mengunjungi pantai ini,
sampai habis sisa umurku.” Gumamnya sebelum beranjak meninggalkan Pantai Haeundae—meninggalkan
berjuta kenangan di sana.
***
—Tuesday, September 4, 2012.
Ryeowook mengayuh sepedanya ketika ia melihat sesosok
laki-laki tengah berdiri di ambang gerbang sekolah. Ia melirik sekilas pada
laki-laki itu, wajahnya terlihat begitu kesal. Kenapa?
“Sedang menunggu siapa, hyung?” tanyanya basa-basi setelah ia menghentikan laju sepedanya
tepat di samping perempuan itu.
“Supirku tak bisa datang karena ban belakang mobilnya
kempes. Dan aku tidak tahu harus pulang dengan cara apa, aku baru saja pindah
tiga hari yang lalu.” Jawab laki-laki itu mencoba menjelaskan sebab ia berwajah
kesal.
“Ah, ya, aku tahu hyung
adalah siswa pindahan dari Busan. Memangnya di mana kau tinggal, hyung? Mungkin aku bisa membantu.”
Laki-laki yang kelasnya satu tingkat lebih tinggi dari
Ryeowook itu tampak berpikir. Lalu akhirnya ia memberitahu tempat tinggalnya
kepada namja yang baru dilihatnya
itu.
“Cukup jauh ternyata. Kalau saja aku tak memakai sepeda,
mungkin aku bisa memboncengmu, hyung.
Tapi kau tenang saja, aku akan mengantarmu sampai halte bis.” Ujar Ryeowook.
“Benarkah? Tapi biar aku saja yang membawa sepedanya,”
pintanya.
“Baiklah,”
Detik berikutnya, dua anak manusia itu terlihat
berboncengan di sepeda.
Kim Ryeowook masih bersekolah, ia baru saja duduk di
tingkat dua di Blossom Senior High School. Sejak kepindahannya ke Seoul, ia sudah
membiasakan diri menaiki sepeda—pulang maupun saat pergi ke sekolah. Jarak
antara rumahnya dan sekolah tak begitu jauh.
“Kamsahamnida!”
ujar laki-laki itu sambil membungkukkan badannya 90 derajat. Laki-laki itu
menegakkan kembali tubuhnya dan memberikan senyuman tulus pada namja di hadapannya setelah mereka
sampai di halte bis. Hanya anggukan yang menjadi jawaban dari Ryeowook.
“Tunggu!” sahut laki-laki itu saat Ryeowook sudah akan
kembali mengayuh sepedanya. Namja itu
menoleh lalu mengangkat sebelah alisnya—isyarat untuk mengingatkan tujuan
laki-laki itu memberhentikan tindakannya mengayuh sepeda.
Laki-laki yang saat itu memakai sepatu kets putih
tersebut melangkah mendekat ke arah Ryeowook. “Kita belum berkenalan. Aku Kim
Jongwoon, tapi teman-temanku terbiasa memanggilku Yesung, aku tingkat tiga.
Bagaimana denganmu?”
“Kim Ryeowook, tingkat dua. Salam kenal dan sampai jumpa
besok, hyung!” ujarnya bersemangat
dengan diakhiri senyum. Setelah mengatakan itu, ia kembali melanjutkan niat
sebelumnya—mengayuh sepeda.
Daun-daun berguguran. Musim gugur yang entah kenapa
terasa lebih menyenangkan.
***
—Wednesday, March 6, 2013.
Sesosok laki-laki tengah menggigil, namun ia tetap
melanjutkan langkah kakinya. Ia sudah tak sabar ingin sampai ke rumah. Musim
dingin membuat jalanan tertutup salju dan itu membuatnya tak bisa memakai
sepeda seperti biasa.
“Kenapa musim dingin selalu merepotkan?” keluhnya entah
pada siapa. Uap dingin keluar di antara sepasang membran mukosa miliknya yang
sedikit terbuka.
Puk!
Sebuah tangan halus dan lembut mendarat di puncak kepala
laki-laki itu. Sontak sang pemilik kepala menoleh ke belakang demi mendapati
siapa yang menaruh tangan di kepalanya.
“Kau kedinginan, huh? Wajahmu memerah, Wookie.” Kalimat
itu keluar dari bibir tipis namun sensual milik laki-laki bernama Yesung.
Tidakan laki-laki itu selanjutnya adalah mengusap—tidak, tetapi mengacak pelan
surai Ryeowook yang malang.
“Uh, hentikan, hyung.
Aku bukan anak kecil.” Protesnya. Laki-laki itu mengerucutkan bibirnya lucu dan
Yesung tidak tahan untuk tidak mencubit pipi namja tersebut.
“Tapi kau terlihat begitu menggemaskan, Ryeowook-ie~”
ujar Yesung seduktif. Ryeowook yang mendengar itu mendelik sebal yang justru
membuat Yesung tertawa nakal.
Dua orang yang menjadi akrab setelah pertemuan mereka di
musim gugur beberapa bulan yang lalu itu kini tengah melangkah beriringan.
Entah apa yang membuat pemuda tampan itu lebih menyukai naik bis dari pada
dijemput supirnya. Pernah suatu hari Ryeowook bertanya, dan jawabannya adalah
karena namja itu senang apabila
berdekatan dengan dirinya—mengingat setiap pulang sekolah mereka selalu
bersama.
Ryeowook merasa dirinya menghangat ketika Yesung
memberinya jaket tebal berbulu dengan warna biru tua. Ah, laki-laki itu selalu
melakukan apapun demi kenyamanan adik kelasnya—sekalipun dirinya sendiri
kedinginan sekarang.
“Hyung, aku tak
mau kau sakit karena memberikan jaketmu padaku.” Kata laki-laki dengan manik
karamel itu, lalu ia mencoba melepas kembali jaketnya namun segera ditahan oleh
tangan halus dan lembut milik sang kakak kelas.
“Aku lebih tidak ingin kau sakit, Wookie. Turuti saja
perintahku dan aku memerintahkanmu untuk memakai jaketku, arra?” tegasnya. Oh, Ryeowook kalah sekarang. Ia mengangguk sekilas
menuruti perintah laki-laki di sampingnya itu.
“Kau terlihat seperti umma.”
Celetuknya yang langsung dihadiahi jitakan penuh kasih sayang yang mendarat di
puncak kepalanya.
Tidak—sebenarnya Ryeowook tidak menilai Yesung seperti
ibunya yang cerewet dan pemaksa. Namun, sejujurnya kakak kelasnya itu dinilai
seperti Jeongwook. Kim Jeongwook, laki-laki yang paling ia sayangi di dataran
dunia melebihi rasa sayangnya terhadap sang ibu. Rasa sayang Ryeowook terhadap
Jeongwook begitu banyak.
Dan Kim Jongwoon mengingatkannya pada laki-laki bernama
Jeongwook tersebut. Laki-laki yang sudah enam tahun terakhir tidak pernah bertemu
dengannya lagi. Laki-laki yang seharusnya membaca setiap surat dalam botol
kecil yang ia lemparkan ke lautan tiap hari kelahirannya.
Dikarenakan Yesung, Kim Ryeowook perlahan-lahan merasakan
romansa tak asing seperti beberapa tahun lalu. Romansa sebuah kehangatan yang
nyaman dalam benaknya—juga menjalar ke seluruh persendiannya. Laki-laki itu
merasakan kembali romansa itu—romansa yang begitu ia rindukan.
Dan keesokan harinya Ryeowook dikejutkan oleh
pemberitahuan bahwa Yesung demam tinggi karena kedinginan.
***
—Sunday, June 21, 2005.
You
hug me while I need it.
Kim Ryeowook kecil tak hentinya menangis. Sepasang mata
bermanik dengan warna karamel itu tak hentinya mengeluarkan cairan liquid dari pelupuk matanya. Ayah dan
ibunya hanya tertawa melihat itu mengingat putra bungsunya menangis karena
terlalu bahagia. Di hari ulang tahunnya yang ke sepuluh ia mendapat kado yang
paling diinginkannya.
Sebuah mobil mainan yang dapat dikendalikan dengan remote control.
“Umma,
bagaimana ini? Kenapa air mataku tak bisa berhenti?” racaunya sambil
sesenggukan. Kakak laki-lakinya yang melihat itu ingin sekali tertawa, akan
tetapi ia menahannya. Ia tidak tega melihat adik kesayangannya menangis dengan
ingus di mana-mana.
Kakak laki-laki yang lima tahun lebih tua dari Ryeowook
itu mendekati adiknya. Lalu mengusap pelan puncak kepalanya sambil tersenyum
hangat.
“Di tahun berikutnya, berikutnya dan berikutnya,” ujar
sang kakak berlebihan, lalu ia melanjutkan. “Hyung akan memberi Wookie banyak hadiah yang lebih menarik dan
istimewa! Mobil mainan ini belum seberapa.”
Oh, Kim Ryeowook kecil yang menggemaskan semakin
tenggelam dalam tangisnya. Tangisan bahagia bercampur haru. Bukan sang ibu
ataupun sang ayah yang memerikannya kado mobil mainan itu, tetapi sang kakak
laki-lakinya.
Laki-laki itu tersenyum lalu meraih adik kesayangannya
untuk ia masukkan dalam pelukan hangat. Romansa kehangatan yang membuat
Ryeowook nyaman. Sang kakak tak melepas pelukannya sampai adiknya itu berhenti
menangis.
…
Namun rupanya Ryeowook tak menemukan sang kakak di tahun
berikutnya apalagi di tahun seterusnya. Ia tak lagi menemukan kado istimewa
yang selalu bersembunyi di bawah ranjangnya ketika usianya bertambah.
Thalasemia merenggut nyawa kakak laki-lakinya delapan bulan setelah hari ulang
tahunnya yang ke sepuluh.
Kim Jeongwook.
Apakah ia tak begitu tertarik pada dunia sampai ia tega
meninggalkannya—juga meninggalkan adik kesayangannya? Kim Jeongwook, tak
tahukah ia jika sejak kematiannya, sang adik tak pernah berhenti menagih
janjinya untuk memberikan kado yang lebih menarik dan istimewa lewat surat
dalam botol kecil itu? Tidakkah ia tahu hal itu?
Ryeowook berharap sang kakak tahu semua itu meski ia tak
membaca isi suratnya. Ryeowook mengutuk apa saja yang bisa membuat Thalasemia
sialan itu bersarang di tubuh kakak laki-lakinya. Namun, tak dapat dipungkiri
bahwa setiap usianya bertambah ia akan merasa bahagia. Karena itu berarti sisa
usianya hidup di dunia akan berkurang dan ia tak sabar untuk sesegera mungkin
menemui kakaknya.
Menyambutnya dengan senyuman hangat juga memeluknya di
surga sana.
Akan tetapi, entah kenapa keinginannya itu berubah
menjadi sebuah ketakutan. Mengingat jika ia mati nanti, ia takkan lagi menemukan
senyuman hangat dari kakak kelasnya—Yesung. Dan demi Tuhan, Ryeowook tak ingin
meninggalkan sosok Jeongwook yang menjelma sebagai Yesung. Ia tak ingin
meninggalkannya karena ia sangat kenal bagaimana rasanya ditinggalkan.
***
—Friday, June 21, 2013.
Seorang laki-laki tampan merangkul pundak laki-laki di
sampingnya. Di hadapannya terhampar lautan luas yang indah dan menakjubkan.
Semilir angin musim panas memainkan anak rambut keduanya. Sepasang mata mereka
ditujukan pada tumpahan air yang membentang luas itu—lautan biru di Haeundae,
Busan.
“Kau tahu, Wookie? Kakakmu ingin kau menjalani hari
seperti biasa, merayakan hari ulang tahun seperti seharusnya. Bukan mengirim
surat lewat botol dan melemparkannya ke lautan. Jika Kim Jeongwook melihat itu,
aku yakin ia akan bersedih di surga sana.” Tutur suara lembut dari sosok
laki-laki yang merangkul pundak Ryeowook.
“Ia melanggar janjinya untuk memberiku kado yang lebih
menarik dan istimewa, hyung.”
Ujarnya.
Kim
Jongwoon—nama laki-laki itu—awalnya tersentak ketika Ryeowook mengatakan bahwa
ada sosok mendiang kakak laki-lakinya dalam dirinya. Laki-laki yang lebih muda
satu tahun di bawahnya itu mengatakan bahwa dia sangat menyayangi Yesung
seperti ketika namja itu menyayangi
Jeongwook. Pada mulanya Yesung kecewa karena merasa jika adik kelasnya itu
dekat dengannya hanya karena ia memiliki sifat yang mirip dengan mendiang kakak
laki-lakinya.
Ia kecewa waktu itu. Hanya untuk waktu itu.
Tetapi melihat kesungguhan Ryeowook membuatnya sadar,
betapa ia merasa beruntung karena memiliki kesamaan dengan Kim Jeongwook. Dua
anak manusia itu berjanji akan menjadi kakak adik yang berhubungan baik—tak
perduli jika salah satu di antara mereka memiliki kekasih.
“Wookie, ia tak melanggar janjinya. Sekarang cobalah kau
lihat aku.” Pinta Yesung. Ryeowook yang memiliki tinggi badan yang lebih pendek
dengan laki-laki yang merangkulnya itu menyeret pandangannya dari lautan beralih
ke wajah Yesung.
“Hyung…”
“Apa yang kau lihat dariku, hm?”
Kedua manusia itu saling pandang kini. Tak lama setelah
itu Ryeowook menarik kedua ujung bibirnya, membentuk senyuman manis yang tulus.
“Aku mengerti sekarang.” Ujar laki-laki itu lalu
pandangannya kembali terarah pada lautan. Yesung, laki-laki yang kini berada di
sampingnya adalah kado paling istimewa, tak ada yang bisa menggantikannya.
Rupanya sang kakak mendengar keinginan Ryeowook untuk
memberinya kado istimewa di hari ulang tahunnya yang ke delapan belas. Lewat
tangan Tuhan, ia membuat Ryeowook mengenal Yesung. Romansa hangat dan nyaman
itu kembali bersarang dalam tubuhnya. Ryeowook merasa aneh kala ia berpikir ingin
bernapas lebih lama—mengingat dulu ia sempat ingin menemui kakaknya lebih cepat.
Ia ingin menikmati romansa ini lebih lama lagi.
“Aku mengerti sekarang…” laki-laki itu bergumam lagi.
“Aku mengerti…” lagi. Lalu bahunya berguncang, ia menahan isakannya. Betapa ia
selalu menangis jika terlalu bahagia.
Dan laki-laki di sampingnya merengkuh tubuh Ryeowook.
Memberikan pelukan hangat. Menikmati sisa usia mereka yang tidak tertebak—yang
setiap harinya terus berkurang.
Hari ulang tahun ke delapan belas yang mengharukan.
Semoga akan terus seperti itu di tahun berikutnya,
berikutnya, dan berikutnya.
Letter in a
beautiful summer.
Every
story has an ending, and you just have to believe that when you meet an ending,
it’s just because you’re going to meet a new start—Dil3ma’s Quote.
—END—
AN
Sebenarnya FF ini adalah FF
straight yang aku ikut lombakan dalam rangka ulang tahun Ryeowook. Tapi karena
akhirnya aku kalah #nangis aku ubah semua karakternya kecuali Ryeowook
tentunya. Nama kakak perempuannya—yang aku ubah menjadi laki-laki—adalah Kim
Hana dan nama Yesung yang sebenarnya adalah Choi Eunsae. Aku nggak check ulang,
jadi kalau menemukan dua nama itu, mian >.<
Oh, Happy Birthdays, oppa yang
manisss~
Regards,
—KENz—
Mon(ster)day, June 3, 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar